Wakil Rakyat Yang Benar-benar Mewakili Rakyat

Untukmu yang duduk sambil diskusi
Untukmu yang biasa bersafari
Di sana di gedung DPR

Wakil rakyat kumpulan orang hebat
Bukan kumpulan teman teman dekat
Apalagi sanak famili

Di hati dan lidahmu kami berharap
Suara kami tolong dengar lalu sampaikan
Jangan ragu jangan takut karang menghadang
Bicaralah yang lantang jangan hanya diam

Di kantong safarimu kami titipkan
Masa depan kami dan negeri ini
Dari Sabang sampai Merauke

Saudara dipilih bukan di lotere
Meski kami tak kenal siapa saudara
Kami tak sudi memilih para juara
Juara diam juara he eh juara hahaha

Wakil rakyat seharusnya merakyat
Jangan tidur waktu sidang soal rakyat
Wakil rakyat bukan paduan suara
Hanya tahu nyanyian lagu “setuju”

Surat Buat Wakil Rakyat, Iwan Fals

Lagu di atas dirilis tahun 1987. Masa itu adalah masa jaya rezim Soeharto. Ekonomi tumbuh dengan baik, tapi aspirasi politik dibungkam. Kritik terhadap penguasa bisa dianggap perbuatan perbuatan melanggar hukum. Para anggota DPR, yang seharusnya mewakili aspirasi politik rakyat justru lupa akan tugasnya ini. Mereka malah asyik dengan kepentingan pribadi dan partainya masing-masing. Maka terkenallah pemeo 4 D bagi anggota DPR, yaitu Datang, Duduk, Diam, dan Duit. Mereka, para anggota DPR itu, cuma perlu datang ke senayan, lalu duduk dengan manis tanpa bersuara (diam), dan setelahnya mereka akan terima duit. Tanpa kerja keras, tapi dapat fasilitas banyak dan uang yang melimpah. Wajar jika banyak orang yang menginginkan "profesi" ini. Lagu Iwan Fals di atas cukup pas sebagai sebuah kritik terbuka bagi para wakil rakyat itu, agar mereka mau kembali ke "jalan yang lurus", yaitu memperjuangkan aspirasi rakyat.

Di negeri ini, menjadi pejabat publik dipandang sebagai sebuah takrim (prestise, pemuliaan). Dalam pandangan rakyat kebanyakan, citra pejabat adalah orang yang memiliki posisi penting, diberikan berbagai fasilitas, diberikan hak berkuasa, di-service dengan pelayanan kelas satu, dan mendapatkan gaji tetap (plus tunjangan plus komisi plus insentif plus hadiah plus lain-lain). Jika ia berjalan, orang-orang akan memberinya jalan. Dia tidak perlu menenteng tasnya, karena sudah ada orang yang membawakan tasnya. Rumahnya bagus dengan perabotan lux yang semuanya diperoleh secara cuma-cuma dari instansinya. Datang ke kantor bisa semaunya dan demikian pula pulangnya. Pakaiannya selalu baru. Sepatunya selalu mengkilap. Orang-orang akan melaksanakan perintahnya dan memenuhi permintaannya. Tanda tangannya sangat ditunggu-tunggu dan bernilai mahal. Jika ada yang menolaknya atau menyanggahnya, maka dia akan melakukan apapun agar si penolak dan si penyanggah itu mengalami suatu keburukan. Citra seperti itulah yang melekat dalam benak rakyat kebanyakan. Sebuah citra yang hampir mirip dengan citra seorang raja.

Mengapa bisa seperti itu? Pada hakikatnya hal ini tidak lebih dari sebuah mentalitas kaum terjajah. Ada sebuah relasi sejarah. Coba kita lihat sejarah sejenak. Waktu negeri ini masih dalam masa penjajahan Belanda, penduduk asli adalah warga negara kelas sepuluh. Belanda memperlakukan politik diskriminasi atas dasar ras dan warna kulit terhadap rakyat yang dijajahnya. Warga Belanda hidup dengan fasilitas nomor wahid, sementara rakyat Indonesia hidup seadanya dan semampunya. Penjajah Belanda juga membangun sebuah opini ke rakyat Indonesia bahwa bangsa Eropa adalah bangsa yang terhormat, kaya, paling baik rasnya, paling hebat budayanya, paling indah bahasanya, paling nikmat makanan dan minumannya, dan lain-lain.

Mereka menanamkan opini itu sambil menginjak-injak hak asasi rakyat Indonesia. Mereka tunjukkan kekuatannya dengan jalan kekerasan (teror, intimidasi, pembunuhan, penculikan, pemblokiran, perampasan, dan penghinaan). Sehingga citra yang mereka opinikan seolah makin terasa kebenarannya di dalam alam pikiran manusia Indonesia. Bagi mereka yang bermental lemah, justru akan mengidamkan kehidupan dengan budaya penjajah. Ada sebuah impian terpendam dan sebuah cita-cita agar kelak bisa hidup selayaknya kaum penjajah itu. Bisa makan dan minum enak, bisa naik mobil, punya banyak uang, diperlakukan terhormat, punya kekuasaan, punya akses politik dan budaya yang bagus, plesiran dengan kapal laut yang megah dan mewah, dan lain-lain. Impian itu tertanam dalam benak orang-orang terjajah bermental lemah. Berangan-angan bisa hidup a la meneer dan mufrow Belanda sering hinggap dalam dada.

Orang-orang pribumi yang menginginkan kehidupan seperti itu, tidak perlu menjadi orang Belanda. Cukup dengan menjadi ambtenaar atau pegawai pemerintahan penjajah Belanda, maka sudah bisa mencicipi hidup dalam budaya Eropa. Bahkan para ambtenaar ini seolah "naik kelas" strata sosialnya. Mereka sering disebut sebagai kaum priyayi. Kedudukan mereka dalam masyarakat (dianggap) lebih tinggi kelasnya dibanding rakyat biasa, namun masih di bawah "kelas" ras Eropa. Mereka punya kekuasaan karena mereka adalah perpanjangan tangan kaum penjajah yang (merasa) memiliki kekuasaan atas tanah jajahannya. Mereka menerima perintah dari penjajah dan oleh karenanya mereka juga diupah sekian gulden oleh si penjajah. Hidup kesehariannya didikte oleh penjajah. Karena mereka bersedia untuk setia dengan penjajah, maka mereka mendapatkan fasilitas yang lebih baik daripada kebanyakan rakyat Indonesia.

Setelah Indonesia merdeka (bahkan setelah reformasi), rupanya opini ini masih tertanam hingga kini (63 tahun kemudian). Menjadi pejabat berarti adalah menjadi "raja". Perintahnya harus diikuti. Permintaannya harus dipenuhi. Semua harus melayaninya. Paradigma payah ini adalah salah satu penyebab bangsa Indonesia masih belum bisa menjadi bangsa yang maju dan makmur. Mentalitas terjajah masih membelenggu sebahagian pejabat publik kita. Bayang-bayang kehidupan nikmat a la penjajah Belanda masih melekat di dalam pikirannya. Padahal kehidupan nikmat itu dibangun atas penderitaan seluruh rakyat Indonesia. Tidak terlintas sedikitpun dalam benak pejabat publik tipe tersebut bahwa untuk hidup nikmat itu perlu dibangun dengan kerja keras yang halal, bukan dengan merugikan orang lain dan lingkungan. Bagi mereka persetan dengan semua, yang penting dirinya bisa hidup enak dan nikmat, bagaimanapun caranya. Cara pandang ini juga melekat pada sebahagian anggota DPR baik pusat maupun daerah. Para anggota dewan yang terhormat itu yang seyogyanya menjadi wakil bagi rakyatnya dalam rangka menyampaikan dan memperjuangkan aspirasinya, malah memandang dan mencitrakan diri mereka sebagai "raja" yang berhak atas fasilitas dan kenikmatan hidup.

Maka semuanya bisa kita lihat. Para wakil rakyat itu (seolah-olah) adalah masyarakat kelas satu. Makan enak, tidur nyaman, rumah mewah, mobil bagus, dan uang berlimpah. Yang berbahaya adalah: hal ini sudah dianggap lumrah oleh sebahagian rakyat Indonesia. Tak heran banyak orang-orang yang ingin menjadi anggota legislatif karena ingin menikmati hidup seperti tersebut di atas. Wajar saja jika terjadi kasus-kasus politik uang maupun pilkada berdarah di mana-mana.

Bagaimana seharusnya kita memandang hal ini? Dalam budaya Islam, sayyidul qoumi khadimuhu, yang namanya pemimpin (di dalamnya termasuk pejabat dan wakil rakyat) itu adalah pelayan bagi kaumnya. Pejabat adalah orang-orang yang memiliki kekuatan moral dan intelektual, sehingga dipandang layak untuk melayani kaumnya. Bukan sebaliknya. Citra wakil rakyat yang buruk di era orde baru haruslah diubah semasa era reformasi ini. Rakyat sudah sangat lelah dengan segala kelemahan dan penderitaannya. Para wakilnya haruslah orang-orang yang kuat hati dan kuat fikir agar mampu membawa aspirasi. Setidaknya para wakil rakyat mestilah seperti berikut ini:

  1. Menjadi wakil rakyat haruslah dipandang sebagai sebuah taklif (pembebanan), karena di punggungnya diletakkan suara hati nurani rakyat untuk diperjuangkan dan dikembalikan hak-haknya. Jika pola pikir ini yang tertanam di benak para wakil rakyat, insya Allah tidak akan kita temui wakil rakyat yang merasa sebagai raja dengan semua fasilitas mewahnya. Para wakil rakyat itu akan benar-benar bekerja untuk kemakmuran bersama rakyatnya. Tugas ini dipandang sebagai sebuah amanah berat, bukan anugerah nikmat.
  2. Menjadi wakil rakyat berarti harus mampu memahami situasi dan kondisi rakyat. Harus ada "penyamaan frekuensi" dengan rakyat sehingga bahasa rakyat akan mudah ditangkap dan dipahami lalu diperjuangkan olehnya. Ketika rakyat menangis, maka ia akan ikut menangis bukan malah tertawa. Ketika rakyat lapar, maka ia akan turut lapar bukan malah bersendawa kekeyangan. Ketika rakyat berdesakan naik bus kota, maka ia akan turut merasa sesak, bukan malah minta fasilitas mobil mewah.
  3. Menjadi wakil rakyat harus mampu menahan dirinya untuk tidak tampil sebagai seorang raja. Sekalipun dia berasal dari keluarga kaya raya dan memiliki harta banyak dari jalan yang halal, maka ketika diamanahkan sebagai pejabat publik, hendaklah ia mampu menahan gaya hidup mewahnya itu. Semata-mata agar ia bisa tampil sejajar dan sama dengan rata-rata gaya hidup rakyatnya. Menjaga perasaan rakyat adalah perkara yang sangat penting. Kita bisa melihat bagaimana kehidupan khulafaur rasyidin (Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, dan Umar bin Abdul Aziz, semoga Allah meridhoi mereka) setelah mereka menjadi pejabat publik. Mereka semua mampu menahan diri untuk tidak bermewah-mewah sekalipun mereka mampu untuk itu dengan jalan yang halal. Tengok pula H. Muhammad Natsir (semoga Allah merahmatinya), yang ketika menjabat sebagai perdana menteri Indonesia, hidup dalam kesederhanaan. Saya kurang setuju dengan pendapat yang mengatakan bahwa pejabat publik hidup mewah itu sah-sah saja, selama hartanya itu didapat dengan jalan yang halal. Persoalannya bukanlah halal atau haram, tapi layak atau tidak? Pantas atau tidak? Sekali lagi, ini semata-mata untuk menjaga perasaan rakyat dan supaya ada kesamaan "frekuensi" dengan rakyat. Jika "frekuensi" wakil rakyat sudah sama dengan rakyat, maka ia akan memiliki kemampuan untuk membaca kebutuhan rakyat, sehingga bisa diperjuangkan dengan sungguh-sungguh. Lain halnya jika wakil rakyat dan rakyat hidup di alam yang berbeda. Wakil rakyat akan senantiasa memikirkan keuntungan apa yang akan didapatnya. Tidak lagi ada pikiran untuk memperjuangkan nasib rakyat. Bagaimana mungkin dia bisa mampu memperjuangkan nasib rakyat, jika ia tidak tahu seperti apa rasanya kehidupan rakyat?
  4. Menjadi wakil rakyat harus siap dengan kritik dan pertanyaan dari rakyat. Ibaratnya, menjadi wakil rakyat adalah berdiri telanjang di atas panggung dan semua mata tertuju kepadanya. Setiap jengkal tubuh akan terlihat, termasuk cacatnya. Seolah-olah nyaris tidak ada hak privasi. Ini semua adalah sebuah bentuk konsekuensi menjadi wakil rakyat. Pertanyaan dan kritik yang diajukan juga sangat beragam. Mulai dari yang biasa sampai yang paling tajam dan meledak-ledak. Mentalitas haruslah kokoh. Ingatlah bagaimana kisah khalifah Umar bin Khaththab yang suatu ketika rakyatnya bertanya dari mana ia bisa memakai pakaian baru? Pakaian baru pun dipertanyakan asal-usulnya. Bagaimana mungkin bisa ada pihak-pihak yang mengatakan bahwa tidak perlu mempertanyakan harta benda milik orang lain, sementara sejarah para sahabat Rasul SAW mencontohkan hal ini sebagai sebuah bentuk kontrol rakyat terhadap wakil rakyatnya?
  5. Menjadi wakil rakyat haruslah menjadi manusia pembelajar. Manusia yang selalu belajar setiap detik dari siapa saja dan di mana saja. Wawasannya harus selalu diperbaharui. Akses informasinya haruslah luas dan lancar. Wakil rakyat seharusnya adalah orang yang haus akan ilmu pengetahuan. Ilmu dan wawasan adalah landasan dalam setiap kata dan tindakannya. Dengan bekalan ilmu dan wawasan ini akan sangat membantunya dalam menangkap aspirasi dan membantu memecahkan problem rakyat.

Wakil rakyat seperti itulah yang insya Allah akan mampu membawa kebaikan bagi bangsa ini. Dengan demikian ia akan menjadi perantara turunnya rahmat dan berkah dari langit. Wakil rakyat seperti itulah yang kelak akan mendapat naungan di hari di mana tidak ada naungan lagi kecuali naungan dari Allah SWT. Semoga para wakil rakyat kita bisa seperti itu. Amin ya Rabbal 'alamin.

Wallahu a'lam bishshawab.

Tomy Saleh. Kalibata. 15 Agustus 2008. 11:25WIB

Tidak ada komentar: