Pendidikan Yang Tidak Serius

Salah satu guru saya, Ustadz H. Abdul Aziz Matnur, Lc., pernah mengatakan bahwa bangsa ini masih main-main dengan urusan pendidikan. Belum serius. Beliau lalu membandingkan dengan kondisi di Mesir, negeri tempat beliau kuliah syariah (Al Azhar University). Di Mesir, kata beliau, kuliah jenjang sarjana (S1) itu adalah hal yang biasa. Bukan istimewa. Sudah seperti sekolah SMU di sini. Di sana "mainannya" adalah kuliah doktoral (S3). Bukupun seabreg-abreg. Bahkan saya ingat mendiang Cak Nur (Dr. Nurcholish Madjid) dalam salah satu acara debat di Masjid Amir Hamzah (tahun 1992 silam) pernah mengatakan bahwa dari segi intelektual kita kalah tertinggal dari Mesir. Di sana mungkin miskin secara ekonomi tapi kaya secara intelektual. Demikian Ust. Matnur dan mendiang Cak Nur.

Kemudian, pagi ini (kamis, 7 agustus 2008) saya menyimak berita di tv mengenai sebuah gedung SD negeri di daerah Pondok Kopi, Jakarta Timur, yang atapnya ambruk. Gambar yang ditayangkan oleh tv itu memperlihatkan kondisi sekolah yang sangat memprihatinkan. Salah satu guru yang diwawancarai menyatakan kesedihannya atas kondisi ini dan bahkan mereka (pengelola sekolah) sudah lama mengajukan surat permohonan untuk renovasi gedung sekolah ke pihak berwenang, tapi tidak pernah ada tanggapan. Gedung SD itu dibangun tahun 1977 lalu, sehingga cukup wajar jika ada permintaan renovasi. Sangat memalukan hal ini terjadi di Jakarta, daerah yang (katanya) paling diperhatikan, paling dibangun, dan (karenanya) paling maju di seantero Indonesia.

Berita ambruknya bangunan sekolah ini bukan cuma satu atau dua kali saya dengar. Tapi sudah sekian kali. Dan sekian kali pula pihak yang berwenang tidak melakukan tindakan preventif apapun, sehingga muncul kasus di atas. Apabila dikonfirmasi ke pihak yang berwenang, mereka selalu membantah bahwa hal itu tidak diperhatikan atau mereka menjawab tidak ada dana memadai untuk renovasi.

Itu baru bicara mengenasi fasilitas pendidikan. Belum lagi jika ditinjau dari segi kurikulum pendidikan kita yang belum mampu menjadi solusi bagi masalah rendahnya kualitas kompetensi manusia Indonesia. Plus biaya pendidikan yang mahal. Dada saya terasa sesak menyaksikan ini semua. Kesal, sedih, kaget, bingung bercampur aduk.

Pendidikan adalah hak mendasar setiap warga negara. Dengan pendidikan yang berkualitas (dari sisi kurikulum dan fasilitas), maka (insya Allah) akan mampu menghasilkan manusia dengan basis intelektual yang bagus. Jika manusia-manusia intelek ini memenuhi setiap sudut negeri, maka akan tercipta sebuah budaya intelek dalam kehidupan masyarakat. Masyarakat yang cerdas akan menjadi pilar sebuah negeri yang kokoh dan maju. Masyarakat yang cerdas akan mampu menjawab tantangan zaman, mengembangkan dirinya, dan hidup dengan penuh rasa syukur dalam kemakmuran.

Pendidikan adalah investasi untuk dipetik hasilnya di masa yang akan datang. Kondisi bangsa kita yang carut marut ini adalah hasil perbuatan manusia-manusianya yang merupakan hasil dari investasi pendidikan di masa lalu. Money politics, korupsi massal, kerusuhan, tawuran pelajar, birokrasi tidak efektif dan efisien, pornografi dan pornoaksi, kekerasan, dan bentuk-bentuk negatif lainnya yang selama ini menghiasi kehidupan keseharian kita adalah sebuah akibat dari buruknya pengelolaan pendidikan negeri ini.

Para pengambil keputusan (pemerintah pusat maupun daerah) seolah tidak mempedulikan pendidikan rakyatnya. Apakah faktor pendidikan ini dianggap kurang penting dibanding faktor ekonomi, politik, dan militer? Padahal jika aspek pendidikan diabaikan atau tidak digarap secara serius, siapa pula yang kelak akan memiliki kemampuan mengelola negeri ini di masa depan? Jika kebodohan merajalela, maka keburukan akan melanda. Jika keburukan melanda, maka kehidupan sebuah peradaban akan segera berakhir.

Saya ingat salah satu hadits Rasulullah SAW yang menyatakan bahwa Allah akan mencabut ilmu dari manusia dengan cara mewafatkan ulama (orang-orang yang berilmu), bukan dengan mencabut ilmu dari dada-dada manusia. Sehingga kelak yang akan tersisa hanyalah orang-orang yang bodoh. Maka manusia akan mengangat orang-orang bodoh sebagai pemimpin mereka. Jika hal ini terjadi maka dampaknya seperti sudah saya sebutkan di atas.

Saya juga ingat perkataan salah satu guru saya yang lain, DR. K.H. Muslih Abdul Karim, dalam salah satu ceramah beliau yaitu, "negara adil makmur cuma dua cirinya, sekolah gratis dan rumah sakit gratis.".

Apakah aspek lain (politik, ekonomi, militer, dan lain-lain) tidak penting? Tentu saja tidak begitu cara melihatnya. Pendidikan adalah aspek asasi yang harus mendapatkan perhatian khusus. Saya kutip perkataan seorang ulama, Prof. DR. Ali Abdul Halim Mahmud dalam bukunya "Wasa-ilut tarbiyyah 'indal ikhwanul muslimun" (edisi terjemahannya berjudul "Perangkat-perangkat Tarbiyah Ikhwanul Muslimin", Era Intermedia, Solo, 2002) : "Pendidikan bukan segala-galanya. Tapi segala-galanya bermula dari pendidikan." Sebuah kesimpulan yang cerdas dari seorang praktisi pendidikan.

Menurut saya, pada level pembuat kebijakan, langkah-langkah untuk menyelamatkan (ya, menyelamatkan. Karena pendidikan kita sangat kritis kondisinya) pendidikan adalah:
  1. Konsisten menyediakan anggaran pendidikan sesuai amanat UUD '45. Bagaimanapun sulitnya ekonomi bangsa, menurut saya anggaran pendidikan tidak boleh dipotong atau dikurangi.
  2. Menyediakan fasilitas pendidikan berupa gedung sekolah yang manusiawi dan berkualitas. Pengawasan ketat sangat diperlukan di sini.
  3. Memperbaiki kurikulum pendidikan sehingga bisa menghasilkan pribadi yang memiliki kompetensi kelas internasional.
  4. Menyediakan buku murah sebanyak-banyaknya.
  5. Memurahkan biaya pendidikan, kalau perlu digratiskan.
Semoga bangsa kita bisa menjadi manusia cerdas, berakhlakul karimah, dan mandiri, sehingga bisa membawa negeri ini keluar dari krisis multidimensi, menuju baldatun thayyibatun warabbun ghafur. Amin ya Rabbal 'alamin.

Wallahu a'lam bisshowab

Tomy Saleh. Kebon Jeruk. 9 Agustus 2008. 18:29WIB

Tidak ada komentar: