Novel-Novel Yang Pernah Kubaca

Berikut ini adalah novel-novel yang pernah saya baca:

0. Roro Mendut Dan Pranacitra. Well, ini sebenarnya bukan novel tapi cerpen. Saya masukin di nomor 0. Ini adalah kali pertama saya membaca cerpen "serius" (baca: orang dewasa). Waktu membaca itu saya masih duduk di bangku SD (tahun '80-an). Cerpennya ada di sebuah majalah. Saya sudah tidak ingat lagi apa yang membuat saya tertarik membacanya. Yang jelas saya membacanya sampai habis dalam satu waktu. Dan saya paham alur ceritanya. Jadi saya bisa menikmatinya. Saya sangat senang, puas, dan bangga bisa membaca cerpen yang ditujukan untuk orang-orang dewasa (tapi bukan cerpen porno).

1. Taring Putih karya Jack London. Novel terjemahan berukuran tipis ini mengisahkan kehidupan seekor anjing yang dinamakan Taring Putih oleh si pemilik. Saya sudah kurang ingat lagi jalan ceritanya. Bahkan bukunya pun entah di mana sekarang.

2. Petualangan Huckleberry Finn karya Mark Twain. Novel ini terjemahan. Ukurannya lebih tebal dari Taring Putih. Buku yang saya baca (dan miliki) sudah berwarna kuning dan covernya sudah rusak. Novel ini bercerita petualangan anak Amerika bernama Huckleberry Finn atau biasa disebut Huck Finn pada abad ke-19. Seingat saya ceritanya cukup seru dan lucu. Kisah khas anak-anak remaja yang sedang mencari jati diri. Huck Finn ini berkawan dengan seorang remaja juga bernama Tom Sawyer. Nah, Tom Sawyer ini ada novel tersendirinya juga dari pengarang yang sama, Mark Twain. Saya punya novel terjemahan Tom Sawyer, tapi belum pernah di baca.

3. Si Jamin Dan Si Johan karya Merari Siregar. Ini novel karya penulis dalam negeri. Penerbitnya Balai Pustaka. Diterbitkan waktu Indonesia masih di jajah Belanda, era tahun 1920-an. Novel tipis ini mengisahkan kehidupan kakak beradik Jamin dan Johan yang mengharukan. Inilah novel pertama (dan sampai sekarang masih satu-satunya) yang ceritanya mampu membuat saya terharu menitikkan air mata. Salah satu asyiknya novel ini adalah menceritakan latar Jakarta era '20-an.

4. Si Dul Anak Jakarta karya Aman Dt. Madjoindo. Mengisahkan seorang anak Betawi yang dipanggil Si Dul. Si Dul ini anak dari keluarga yang biasa-biasa saja. Tapi ia pemberani dan jago berkelahi. Paling takut sama emaknya. Kisahnya ada sedihnya dan ada pula kisah jenakanya. Latar belakang novel ini kira-kira Jakarta era tahun 1950-an. Novel ini boleh jadi tidak seterkenal filmnya apalagi sinetronnya. Ya, novel ini pernah difilmkan pada tahun '70-an dengan bintang utama Rano Karno (waktu itu masih ABG) sebagai si Dul dan Benyamin Sueb sebagai babe. Kemudian pada era '90-an kisah Si Dul ini diangkat ke layar gelas sebagai sinetron serial dengan bentuk adaptasi. Di sinetron ini si Dul dikisahkan sebagai mahasiswa. Bintangnya masih sama: Rano Karno sebagai Si Dul dan Benyamin Sueb sebagai babe. Sinetron ini cukup meledak di pasaran. Di buat sampai empat season.

5. Nayla karya Djenar Maesa Ayu. Novel ini mengisahkan tentang seorang wanita bernama Nayla yang sejak kecil mengalami kekerasan dalam rumah tangga: disiksa ibunya dan diperkosa. Dalam perjalanan hidupnya ia juga pernah menjadi lesbian. Bahasa yang dipergunakan dalam novel ini cukup eksplisit (vulgar).

6. Saman karya Ayu Utami. Novel ini mengisahkan seorang aktivis katolik yang dituduh komunis oleh pemerintah orde baru. Novel ini berlatar belakang sosial politik yang represif zaman rezim Soeharto, di mana seseorang yang kritis bisa dengan sangat mudah dicap komunis lalu jadi sah untuk dieliminasi dari panggung kehidupan.

7. Ali Dan Nino karya Kurban Said. Kurban Said adalah seorang sastrawan asal Azerbaijan. Novel ini mengisahkan percintaan antara dua manusia dengan dua budaya yang berbeda, Ali Khan Sirvanshir, seorang syi'ah warga Azerbaijan, dengan Nino Kipiani, seorang katolik warga Georgia. Mereka menikah tapi tetap dengan keimanan masing-masing. Kisah cinta mereka dilatarbelakangi kehidupan sosial politik awal abad ke-20, di mana rezim komunis mulai menguat di Eropa. Sangat menarik, karena menceritakan bagaimana mereka mengatasi benturan budaya dan banyak menceritakan sejarah pada masa itu. Novel ini pertama kali terbit di Azerbaijan pada tahun 1920-an. Pernah difilmkan.

8. Balthasar's Odyssey: Nama Tuhan Yang Keseratus karya Amin Maalouf. Mengisahkan perjalanan seorang pedagang buku dari Suriah keturunan Italia bernama Baldassare Embriaco untuk mencari sebuah buku penting yang memuat nama Tuhan yang keseratus (asmaul husna yang diketahui oleh ummat Muslim ada 99 nama Allah). Baldassare sendiri adalah seorang kristen. Dia melintasi benua Eropa dan Asia dan menempuh perjalanan selama dua tahun. Yang mengasyikkan adalah novel ini berlatar belakang dunia abad ke-17. Pada masa itu berkembang keyakinan bahwa pada tahun 1666 akan terjadi kiamat karena tahun itu memuat angka keramat 666 (angka setan). Banyak yang menduga akan datang malapetaka. Banyak menceritakan budaya masa itu. Unik. Menarik.

9. Samarkand karya Amin Maalouf. Ini mengisahkan perjalanan sebuah buku syair "Rubaiyat" karangan seorang cendekiawan muslim Umar Khayyam. Kisahnya merentang mulai dari abad ke-11 hingga abad ke-20. Dari era kekhalifahan hingga revolusi konstitusi Iran. Sebagai pencinta sejarah, novel ini adalah salah satu favorit saya. Banyak sekali mengisahkan budaya dan sejarah abad ke-11 hingga awal abad ke-20. Ada kisah cinta, ada petualangan, dan ada humor. Komplit.

10. Akira: Muslim Wa Tashiwa karya Helvy Tiana Rosa. Novel tipis ini tadinya merupakan cerbung di Majalah Ishlah yang terbit pada tahun 1990-an. Mengisahkan seorang mualaf dari Jepang bernama Akira. Lika-liku perjalanan hidupnya menjadi seorang muslim. Bagaimana ia menemui masalah dan cara mengatasinya.

11. Pingkan: Sehangat Mentari Musim Semi karya Muthmainnah. Novel ini mengisahkan seorang aktivis muslimah bernama Pingkan. Latar belakangnya adalah era reformasi tahun 1997 - 1998. Yang saya ingat dari novel ini cuma bagian akhir (kalau tidak salah) di mana Pingkan ikut demo mahasiswa menuntut turun rezim Soeharto lalu ia kena pentung aparat dan pingsan.

12. Namaku May Sarah karya Pipiet Senja. Saya sudah tidak ingat lagi kisah novel tipis ini.

13. Fatimah Chen Chen karya Motinggo Busye. Ini kisah seorang muslimah keturunan Tionghoa bernama Fatimah. Saya tidak ingat lagi apa ceritanya.

14. Da Vinci Code karya Dan Brown. Novel ini mengisahkan petualangan Robert Langdon dalam memecahkan kode rahasia di balik karya seni Leonardo Da Vinci. Ada banyak kisah sejarah terkait dunia kristen dan gerakan bawah tanah anti kristen. Novelnya menarik. Sudah pula difilmkan tapi cerita filmnya tidak sebaik novelnya.

15. Angel And Demon karya Dan Brown. Novel ini mengisahkan tokoh yang sama, Robert Langdon, dalam memecahkan kasus pembunuhan para kardinal yang diduga dilakukan oleh kelompok rahasia anti kristen, Illuminati. Agak kurang menarik sedikit dari Da Vinci Code. Novel ini menarik karena mengulas fakta (atau fiksi?) mengenai sedikit sejarah pertentangan gereja dgn intelektual. Sama seperti Da Vinci Code.

16. Daughter Of God karya Lewis Perdue. Ini novel mengenai perburuan benda-benda seni peninggalan Hitler. Ternyata novelnya garing banget. Saya berharap ada kisah-kisah sejarah di sana, ternyata untuk novel yang cukup tebal dan mengundang ekspektasi akan ada kisah-kisah atau fakta-fakta sejarah, isinya biasa-biasa saja.

17. The Rule Of Four karya Ian Caldwel dan Dustin Thomason. Novel ini mengisahkan petualangan sekelompok mahasiswa dalam mengungkap teka-teki di balik sebuah karya tulis era renaissance, "Hypnerotomachia Poliphili" yang diduga ditulis oleh Francesco Collona, seorang bangsawan pecinta barang-barang seni. Cukup menarik. Ada gambar-gambar cuplikan dari buku Hypnerotomachia yang memang buku itu benar-benar ada.

18. Jendela-Jendela, 19. Pintu, dan 20. Atap, trilogi karya Fira Basuki. Mengisahkan kehidupan June dan keluarganya. Novel ringan yang bercerita tentang keseharian yang tidak jauh berbeda dengan kita. Cukup menghibur.

21. Si Bongkok karya Parakitri. Ini novel berlatar belakang era akhir 1960-an dan awal 1970-an. Mengisahkan pergulatan hidup seorang anak muda bernama Gindo yang terlahir cacat: berbulu lebat dan bertubuh bongkok. Dia bersama beberapa kawannya hidup di sekitar Danau Toba. Menggambarkan pula budaya masyarakat di sekitar Danau Toba.

22. Di Kaki Bukit Cibalak karya Ahmad Tohari. Novel ini berlatar belakang era 1980-an di sebuah desa di kaki bukit Cibalak. Mengisahkan seorang pemuda desa sederhana yang jujur. Ia anti korupsi dan senang menolong orang lain. Sempat pula ia kontra dengan lurah desanya yang korup.

23. Para Priyayi karya Umar Kayam. Mengisahkan kehidupan keluarga Jawa yang ingin naik derajat dari orang biasa-biasa saja menjadi priyayi. Latar belakang era penjajahan Belanda dan Jepang. Emang dasar maestro, novel Umar Kayam ini sangat menarik. Saya seperti berada di tengah-tengah keluarga itu. Banyak menceritakan budaya Jawa.

24. Ms. B: Panggil Aku B, 25. Ms. B: Cool Cucumber, 26. Ms. B: Will You Marry Me?, 27. Ms. B: Jadi Mami, 28. Ms. B: Jangan Mati, serial Ms. B karya Fira Basuki. Novel tipis renyah mengisahkan kehidupan seorang wanita muda bernama Beauty Ayu Pangestu yang dipanggil B. Cukup ringan dan menghibur. Saya pernah berharap kisah ini difilmkan.

29. Lupus: Topi-topi centil karya Hilman. Saya sudah tidak ingat lagi ceritanya. Selain itu rasanya saya juga sudah membaca novel serial Lupus lainnya, tapi tidak ingat judulnya.

30. Lupus Kecil: Sunatan Massal karya Hilman. Ini mengisahkan Lupus masa kanak-kanak. Saya tidak ingat lagi ceritanya.

31. Iblis Menggugat Tuhan (The Madness Of God) karya Shawni. Ini novel kecil tapi isinya cukup berat. Sangat filosofis. Isinya mengenai pertahanan argumentasi tauhid dari tipu daya pemikiran atau retorika Iblis. Ini novel 2 in 1, karena ada dua kisah dalam satu buku. Novelnya kurang menghibur. Mungkin memang maksudnya bukan untuk hiburan.

32. The Jacatra Secret karya Rizky Ridyasmara. Novel ini amat sangat terinspirasi dari Da Vinci Code-nya Dan Brown. Bahkan kisah pembukanya juga ada kemiripan dengan Da Vinci Code. Yang menarik, novel ini memuat kisah sejarah Jakarta era penjajahan Belanda. Tapi, overall, novel ini cukup mengecewakan karena ceritanya terlalu enteng dan mengada-ada. Akhir ceritanya juga aneh dan amat sangat garing.

33. Quo Vadis karya Henry Sienkiewikcz. Novel ini pertama kali terbit di akhir abad ke-19. Yang saya punya adalah terbitan tahun 1980-an. Mengisahkan penganut kristen yang mempertahankan iman mereka di negeri Romawi era Kaisar Nero (sekitar abad 1 masehi). Cukup menarik terutama kisah sejarahnya.

34. Abadilah Cinta karya Andrei Aksana. Pada novel ini disisipkan pula sebuah CD berisi lagu-lagu soundtrack novelnya. Ceritanya sinetron banget. Bagi saya sama sekali enggak menarik.

35. Godfather karya Mario Puzzo. Ini novel mengenai kehidupan keluarga mafia Italia di Amerika yang dipimpin oleh Vito Corleone atau biasa dipanggil Don Corleone. Kadang ia dipanggil juga godfather oleh anak buahnya. Novel ini difilmkan oleh Francis Ford Coppola dan berhasil menjadi box office serta meraih oscar. Ceritanya (dan filmnya) OK banget.

Tambahan (kumpulan Cerpen):

a. Senyum Karyamin karya Ahmad Tohari. Karya-karya Ahmad Tohari senantiasa memuat kisah rakyat di pedesaan yang jujur dan polos. Kehidupan wong cilik. Salah satu cerpen di buku ini yaitu "Wangon Jatilawang" pernah disinetronkan dengan judul Sulam. Mengisahkan seorang cacat mental bernama Sulam yang kerap disantuni oleh seorang juragan warung nasi yang baik hati. Sulam dikisahkan tewas tertabrak truk. Cukup mengharukan.

b. Cemara karya Hamsad Rangkuti. Saya merasa kumpulan cerpen Hamsad ini banyak yang memuat "kode-kode" berisi kritikan terhadap rezim berkuasa saat itu (Soeharto). Kisah-kisahnya unik dan cukup membuat tersenyum.

c. Mereka Bilang Saya Monyet karya Djenar Maesa Ayu. Kisah-kisahnya cenderung mengangkat (dan menggugat) kehidupan sosio kultural masyarakat kita yang dianggap mengekang kebebasan.

Itulah novel-novel (dan kumpulan cerpen) yang pernah saya nikmati. Sepertinya masih ada yang lain tapi saya lupa. Bagaimana dengan anda? Apa saja novel-novel yang pernah anda baca?

Tomy Saleh. Kalibata. 3 Agustus 2010. 14:00WIB

Fokus, Kunci Eksistensi Diri

Suatu ketika saya berkumpul bersama beberapa orang teman yang masing-masingnya adalah orang-orang sederhana dan hebat. Mereka sederhana dalam arti mereka bukan dari golongan borjuis. Terlihat pula dari penampilan mereka yang bersahaja. Mereka hebat dalam arti mereka bukanlah orang yang menguasai semua hal, namun mereka adalah orang-orang yang memiliki keahlian di bidangnya (dan itu cuma satu saja). Di antara mereka ada penulis dan pemred sebuah majalah, ada sutradara, ada pesilat, ada ahli percetakan, ada pemusik, ada pelukis, ada fotografer, dan ada pula ahli editing film. Mereka dikenali dan diakui dengan keahlian di bidangnya itu. Mereka membentuk identitas mereka dengan itu. Definisi diri mereka, di mata saya secara sederhana, sudah cukup jelas yaitu orang-orang yang ahli di bidang tersebut. Itu sudah cukup menjelaskan siapa diri mereka.

Teman-teman saya itu adalah orang-orang yang fokus di bidangnya. Mereka mencari, menemukan, mempelajari, mengeksplorasi, mengembangkan, menggeluti, dan bahkan hidup dari bidang-bidang mereka itu. Sedemikian fokusnya hingga mereka dikenal dengan hal itu. Identitasnya melekat dengan bidangnya. Mereka eksis karena fokus di bidangnya.

Di dunia kita ini amat banyak orang-orang yang seperti itu: eksis karena fokus. Saya pikir, kehidupan di dunia ini jadi menarik dan berputar terus karena ada begitu banyak orang-orang yang fokus tadi. Orang-orang yang fokus (kemudian eksis) akan menjadi referensi bagi orang lain yang ingin memahami bidang yang difokusinya itu. Mereka jadi penggerak di bidangnya dan memberikan pengaruh bagi yang lain. Bidang-bidang itu satu sama lain saling terkait dan melengkapi atau bahkan bertabrakan (konflik). Terjalinlah sebuah harmoni. Hidup jadi tidak monoton. Penuh warna. Indah.

Fokus pada bidang yang kita pilih adalah suatu bentuk rasa syukur atas karunia yang telah diberikan Allah SWT. Kita diberikan karunia akal fikiran, panca indera, dan alam semesta yang membentang luas di sekeliling kita. Karunia harus dioptimalkan karena itu adalah amanah dariNYA. Jangan disia-siakan. Untuk itulah kita hadir di dunia ini. Orang-orang yang fokus akan mendalami dirinya dan memaksimalkan semua potensinya untuk menggarap bidang yang dipilihnya (atas dasar cinta). Hingga ia "jadi orang" di sana.

Atas alasan di atas, maka sepertinya setiap kita harus fokus. Dalami diri kita, cari potensi-potensi kita, pilih bidang-bidang yang kita cintai, dan mulailah kita fokus di sana. Tidak perlu memikirkan dampak materi dari hal tersebut, karena jika sudah masuk, maka materi akan datang dengan sendirinya dari arah yang tidak terduga. Ini adalah sebuah proses yang (nyaris) tidak pernah usai. Mari kita mulai.

Tomy Saleh. Kalibata. 25 Mei 2010. 09:52WIB

Anatomi Orang Sombong

Setiap kita hampir dapat dipastikan tidak suka dengan kesombongan. Tidak ada yang benar-benar tulus menyukai orang sombong. Orang-orang yang dekat dengan orang sombong boleh jadi adalah salah satu dari orang-orang ini: punya kepentingan dengan si sombong atau sosialisasi basa-basi. Sombong, kata Nabi Muhammad SAW, adalah menolak kebenaran dan merendahkan orang lain. Dalam ajaran Islam (dan banyak agama lainnya) kesombongan adalah akhlaq yang tercela. Berikut ini adalah sekilas gambaran ciri-ciri orang yang sombong:

1. Menolak kebenaran. Orang sombong selalu merasa dirinya tidak pernah salah. Ia merasa selalu benar. Jika kesalahannya dikoreksi atau terkoreksi, marahlah ia sambil menolak kebenaran tersebut. Terlebih lagi bila yang mengoreksi kesalahannya dan menyampaikan kebenaran kepadanya adalah orang yang tidak dia anggap dari sisi status sosial, level pendidikan, maupun lingkup pergaulan. Ia akan berpegang teguh pada kesalahannya dan mencoba menghiasinya dengan berbagai dalil pembenaran. Ia juga menolak nasehat.

2. Merendahkan orang lain. Pengertiannya adalah meremehkan reputasi, kepribadian, pendapat, masukan dan koreksi dari orang lain. Orang sombong selalu putar otak bagaimana caranya supaya ia selalu bisa di atas orang lain. Bukannya dengan prestasi yang tulus, ia malah berdiri di atas kepala orang lain (menginjak-injaknya). Itulah cara yang ia tempuh supaya lebih terlihat hebat di hadapan khalayak.

3. Suaranya lebih sering tinggi dalam obrolan dan kerap memotong pembicaraan untuk mengutarakan dan mengeksiskan pendapatnya. Yang dia inginkan adalah agar setiap orang yang terlibat obrolan dengannya harus diam, tidak mengutarakan ucapan pribadi, mendengarkan pendapatnya, dan menyetujui pendapatnya itu. Bahkan ini adalah juga salah satu trik (payah) untuk mengokohkan pendapatnya yang keliru supaya tampak benar. Ia bersuara tinggi juga untuk menutupi kebodohannya. Dia selalu cari cara atau dalil untuk membantah setiap pendapat orang lain setelah terlebih dahulu memotong pembicaraan orang lain tersebut. Sekalipun pendapat orang lain itu sama dengan pendapatnya, ia akan menambahi pendapatnya supaya selalu tampak beda dan khas serta tak jarang meremehkan pendapat orang lain yang sama itu.

4. Jarang menundukkan kepala. Dagunya lebih sering mengambil jarak yang jauh dengan dadanya dan berusaha sampai ke posisi hidung. Menundukkan kepala baginya adalah pertanda orang lemah dan bodoh. Sementara mengangkat dagunya adalah tanda hebat dan tidak bisa diremehkan. Orang yang tinggi kelas (sosial maupun intelektual) tidak menundukkan kepalanya, karena jika begitu tidak akan terlihat statusnya kelasnya itu dan orang lain tidak akan menganggapnya eksis. Tapi tidak mesti orang yang dagunya terangkat itu adalah orang yang sombong.

5. Tidak ada kultur melayani dalam kamus kehidupannya. Dialah yang harus dilayani. Orang lain harus melayaninya. Baginya, melayani orang lain adalah perbuatan yang rendah dan hina. Dia menganggap melayani orang lain hanyalah perbuatan orang rendah kelas. Tidak jauh beda dengan budak. Kalaupun ia melayani orang lain, maka itu hanya untuk kepentingan publisitas dan meraih keuntungan bagi dirinya seperti popularitas misalnya (ingin dikenal sebagai orang yang baik hati dan tulus).

6. Lidahnya amat sering mencela orang lain. Nyaris dalam setiap obrolan dengan orang lain ia senantiasa menyelipkan celaan terhadap orang lain, baik yang hadir dalam obrolan itu maupun yang in absentia. Jika orang lain itu ada dihadapannya, maka celaannya itu hadir dari mulutnya dibungkus sebagai canda. Kelemahan (terutama lagi kesalahan) orang lain dijadikan sebagai bahan celaan (dia menyebutnya sebagai canda). Dengan celaan-celaan itu, ia hendak merendahkan atau meremehkan orang lain (sebagaimana poin dua di atas) dengan membeberkan keburukan, kelemahan, dan kesalahan orang lain serta memberikan kesan bahwa dirinya jauh dari yang dicelanya itu dan berharap dirinya akan jadi mulia tanpa cacat di hadapan orang lain.

7. Pantang baginya untuk tidak tahu. Ia selalu sok paling tahu. Orang yang tidak tahu baginya adalah orang yang bodoh. Jika ia tidak tahu akan sebuah informasi, padahal informasi itu sedang diperbincangkan oleh orang lain, maka ia akan ikut nimbrung dan memberikan komentar-komentarnya atas informasi itu seolah-olah ia adalah yang paling tahu tentang informasi itu dan penerima kabar pertamanya (atau saksi langsung). Apalagi jika ia mengetahui informasi itu sedikit, maka mulut besarnya akan membuatnya ia tampak mengetahui seluruh informasi itu secara lengkap. Akan makin menjadi-jadi bila ia memang betul-betul mengetahui informasi itu secara lengkap. Ia menghindari mengucapkan kata-kata tidak tahu.

8. Pilihan katanya selalu membentuk kalimat yang menonjolkan dirinya. Kehebatannya tidak boleh luput dari publikasi. Setiap manusia harus tahu kehebatannya dan (diharapkannya) akan takjub serta memujinya seraya menundukkan kepala kepadanya.

9. Tak jarang barang-barangnya tergeletak di mana-mana. Ia bukannya lupa, tapi lebih berharap orang lain yang akan mengurus barang-barangnya itu. Mentalnya adalah mental boss.

10. Tak jarang kedua ujung bibirnya ditarik ke bawah. Mencibir adalah juga salah satu hobinya. Ini dalam rangka merendahkan pihak lain.

11. Jika meminjam barang orang lain ia nyaris selalu lupa atau jarang mengembalikannya. Sebaliknya jika orang lain meminjam darinya, ia selalu menagih dengan gigih.

12. Ia amat benci jika ada yang mencelanya balik. Orang lain dicelanya, lalu dibalas dengan celaan pula, maka ia akan marah bukan kepalang. Tidak fair adalah salah satu sikapnya. Dia senang mencela, tapi tidak senang jika dicela.

Demikianlah sedikit resume mengenai anatomi orang sombong. Itu ditulis berdasarkan pengalaman pribadi berinteraksi dengan orang sombong. Semoga kita semua dilindungi oleh Allah SWT dari kesombongan. Aamiin.

Tomy Saleh. Kalibata. 11 Mei 2010. 09:06WIB

Beri Kami Ruang!

Terkenang oleh saya masa kanak-kanak dulu. Saya menikmatinya di wilayah Kebon Jeruk, Jakarta Barat, pada era tahun '80-an. Kebon Jeruk, waktu itu, adalah daerah yang (masih lumayan) sejuk. Banyak pepohonan besar. Air tanahnya pun bagus dan segar. Hampir setiap pulang sekolah, di siang hari, hingga sore hari saya dan teman-teman bermain di lapangan. Rumah kontrakan kami dikepung oleh banyak tanah lapang. Kami bisa memilih di lapangan mana kami mau bermain. Sepak bola, layang-layang, galasin (atau gobak sodor), bola kasti, petak lari, petak kadal, petak umpet, lomba tujuh belasan, hingga nonton layar tancep, dilakukan di lapangan-lapangan itu. Saya berbahagia bisa menikmati masa-masa itu. Masa di mana kami berinteraksi secara langsung dengan teman-teman. Tidak hanya anak-anak, orang-orang dewasa pun juga demikian.

Seiring waktu, tanah-tanah lapang itu kini lenyap. Sebagai gantinya berdiri sejumlah bangunan rumah, baik rumah mewah maupun rumah petak kontrakan. Tanah-tanah lapang yg kecil ukurannya pun sudah ditumbuhi oleh bangunan-bangunan. Kebun yang cukup besar di dekat tempat tinggal saya dulu, yang sinar mentari seolah tak mencapai tanahnya karena rimbun dedaunan dari pohon-pohonnya, sudah tinggal setengah. Separuh kebun itu berganti sejumlah bangunan rumah. Pohon-pohon durian dan melinjo sudah dibabat. Gantinya adalah tembok dari bata dan semen. Di gang-gang kini berbaris rumah-rumah petak kontrakan yang (nyaris) kumuh. Dulunya di tepi gang-gang itu banyak tanah lapang. Ada yang dijadikan lapangan badminton, ada pula yang berupa halaman dari sebuah rumah. Bekas rumah kontrakan saya dulu kini dikepung rumah-rumah. Kini (cukup) sulit mencari anak-anak bermain layang-layang, teriakan polosnya, tawa lepasnya, keceriaan wajahnya di bawah terpaan mentari, dan drama persahabatan, yang semuanya terjadi di tanah lapang atau kebun.

Berkurangnya tanah lapang, bahkan kini (seolah) dikompensasi dengan "arena virtual". Ya, video game, internet, blackberry, SMS, iPad, dan lain-lain. Dunia digital kini menyedot keramaian nyata tanah lapang. Sisi negatif perkembangan teknologi digital adalah semakin tidak diperlukannya ruang dan tatap muka. Sisi positifnya di antaranya adalah: saya bisa menulis ini di blog. Orang-orang memang secara fisik ramai berkumpul di pusat-pusat game digital. Tapi mereka menyerahkan perhatian dan pikiran mereka ke layar monitor. Fisik mereka berdampingan satu sama lain, tapi "nyawa" mereka tersekap di lapangan bola virtual, arena balap mobil virtual, atau di arena pertarungan virtual. Berjam-jam mereka duduk di sana dengan perhatian tercurah ke alam virtual. Tidak peduli betapa sumpeknya ruangan tempat mereka tekun bervideo game itu.

Di satu sisi, ada seorang kawan yang memuji-muji kecerdasan orang lain yang memanfaatkan lahan kosong (di Jakarta) dengan membangun rumah-rumah kontrakan. Orang itu dipuji karena dengan memiliki rumah kontrakan, maka ia telah memiliki bisnis property yang menguntungkan dan tidak perlu repot mencari uang dengan bekerja. Cukup punya beberapa rumah kontrakan, maka si empunya kontrakan bisa ongkang-ongkang kaki sementara tiap bulan uang sewa mengalir ke kantongnya. Tapi saya jadi miris. Apakah tidak terbersit dalam fikiran untuk menanami lahan kosong itu dengan pepohonan besar? Tidakkah ia lihat di Jakarta sudah sedemikian padat dan sumpek? Tidak inginkah ia meyaksikan pemandangan hijau nan asri di tanahnya itu? Mengapa ia lebih senang dengan batu bata dan semen serta gemerincing uang? Di dekat tempat tinggal saya sekarang, di Rawa Belong, Jakarta Barat, masih ada secuil tanah kosong yang ditumbuhi beberapa pohon rindang. Tapi belakangan saya kecewa, karena si empunya tanah hendak membangun kontrakan di tanahnya. Saya termangu menyaksikan asap pembakaran sisa akar pohon besar yang ditebangnya. Sedih.

Ya, lagi-lagi uang. Menghilangnya tanah-tanah lapang disebabkan oleh ketatnya persaingan dalam mencari (dan menguasai) rupiah (atau keserakahan?). Semakin banyak uang yang dimiliki, maka semakin terjamin dapur mengepulkan asap. Kalau begitu, ini bukan masalah uang, tapi masalah isi perut! Tragis. Kearifan bisa dinego dengan alat tukar untuk pengisi perut. Ruang tidak penting. Rasa nyaman tidak utama. Yang penting perut kenyang. Pohon-pohon ditebang, sawah dan rawa diurug, dan hutan bakau dibabat habis, demi berdirinya tembok-tembok.

Pemandangan kita sekarang jadi sempit. Di rumah bertemu tembok, keluar rumah bertemu tembok lagi, di jalan bertemu asap knalpot dan padatnya kendaraan, di kantor bertemu dengan sekat-sekat cubicle. Kita hanya menyaksikan kepadatan. Di televisi pun mata kita dipadati dengan jargon-jargon hipnosis materialisme dan konsumerisme. Mata letih, otak lelah, dan rasa lesu. Kearifan pantas jadi buntu. Kita (sepertinya) sedang dipaksa menjadi manusia kota yang individualis dan hampa. Apakah nikmat hidup seperti ini?

Kita butuh ruang. Saya dan anda butuh tatap muka dengan sesama. Saya kadang memimpikan punya uang yang banyak, lalu saya akan beli sejumlah tanah dan gedung di Jakarta dan akan saya jadikan taman-taman dan hutan-hutan kota. Semoga mimpi saya ini juga dimimpikan oleh orang kaya raya betulan.

Kita membutuhkan ruang untuk bertatap muka, bercengkerama, tegur sapa, bercanda, ngobrol, dan berolah raga dalam suasana yang akrab, penuh kekeluargaan, nyaman, dan asri di bawah naungan pepohonan. Taman-taman seperti Taman Menteng atau Taman Suropati harus diperbanyak di seantero Indonesia. Saya bermimpi di setiap kelurahan ada taman seperti itu. Ide untuk menutup jalan protokol di Jakarta pada hari ahad tertentu adalah ide bagus. Rakyat butuh ruang untuk mengekspresikan diri dan bersosialisasi. Ruang-ruang terbuka yang sudah adapun harus juga dirawat dengan baik.

Atas nama kearifan, beri kami ruang!

Wallahua'lam bisshowab.

Tomy Saleh. Kalibata. 4 Mei 2010. 16:17WIB