Ocehan Asal Goblek Tentang Pemimpin

Asal goblek adalah frase Betawi yang berarti asal bicara, ceplas-ceplos, tidak pakai dipikir-pikir dulu, ucapan tanpa beban, dan pengertian-pengertian lain yang sejenis dengan itu. Ocehan asal goblek kali ini adalah ungkapan sok tahu yang berangkat dari kesebalan terhadap sikap sebahagian orang yang diberi amanah sebagai pemimpin (di manapun). Ocehan-ocehan itu termuat sebagai status di jejaring sosial facebook. Inilah dia ocehan asal goblek itu:

Kaum cerdik cendekia yang melegitimasi kebathilan, merancang kabut penutup kebenaran dan keadilan, serta menjilat telapak kaki penguasa zalim, demi keamanan, posisi 'terhormat', dan jaminan atas penguasaan secuil harta, adalah layak kita anugerahi "Bal'am Award". (29 November 2010) -note: Bal'am adalah nama ulama pendukung Fir'aun.

Menjadi ulama tidak cukup dengan sekadar well educated. Perlu juga jujur, kelincahan, kejelian, keberanian, dan ketegasan. Kalau tidak seperti itu, ulama-ulama pakar syari'ah itu sangat berpotensi menjadi bal'am. (30 November 2010)

Meminta khalayak untuk tsiqah (percaya) dan tho'at, tapi tidak menampakkan tanda-tanda kelayakan untuk di-tsiqoh-i dan di-tho'at-i adalah sebuah pembodohan, walau berbalut retorika muluk atau bertameng kebijakan tak bijak yg dipaksakan sekalipun. (2 Desember 2010)

Pejabat (eksekutif, legislatif, judikatif) yang semakin kaya setiap waktu (menumpuk kekayaan dikarenakan jabatannya itu atau dengan kata lain: KKN), sulit diharapkan memiliki frekuensi yang sama dengan rakyat. Wajar jika kebijakan atau ucapan atau tindakan mereka tidak pro kepada rakyat. Tidakconnect dengan rakyat. Mereka lebih sering keseleo lidah. (2 Desember 2010)

Wibawa dan kehormatan pemimpin, sejatinya dibangun dengan kejujuran, rendah hati, terbuka terhadap masukan, dan dekat dengan konstituen. Bukan dengan tipu-tipu, memperalat konstituen untuk kepentingan pribadi, dan sibuk melengkapi diri dengan atribut kemewahan. (3 Desember 2010)

Pemimpin yang makin lama dalam kepemimpinannya malah makin rakus harta benda, gila hormat, anti nasehat, memperluas permusuhan dan kebencian, dan semakin otoriter, adalah pemimpin yang tidak bijak. Ada benarnya juga kata-kata Imam Al Ghozali bahwa pemimpin yang berkuasa lebih dari sepuluh tahun akan cenderung sombong. Semoga kita tidak menjadi pemimpin seperti itu dan dijauhi dari dipimpin oleh orang seperti itu. (3 Desember 2010)

SANG PENCERAH adalah pemimpin yang membimbing ummat ke arah kebaikan. SANG PENCURHAT adalah pemimpin yang hobi mengeluh ke media massa. SANG PENGERUK adalah pemimpin yang mengeruk kekayaan pribadi dengan jalan memperdaya konstituennya. (3 Desember 2010) -note: Sang Pencerah adalah judul film yang mengisahkan kehidupan K.H. Ahmad Dahlan, pendiri ormas Islam Muhammadiyah.

Pemimpin seharusnya jangan cuma sibuk bangun jaringan dan visi bersama (yang itupun tak jarang cukup rawan dari interest pribadinya), tapi juga amat penting untuk membangun dan memperkokoh ikatan hati dengan rakyatnya. Ikatan hati ini jelas tidak bisa dibangun dengan uang dan tipu-tipu retorika. (4 Desember 2010)

Pemimpin tidak mungkin mengakomodir semua keinginan tapi juga jangan abaikan semua suara. (5 Desember 2010)

Yang mengerikan dari pemimpin yang pintar dan berwawasan luas tapi licik dan tidak jujur adalah kelihaian melegitimasi atau membenarkan kebiasaanya (terutama yang buruk-buruk) atau kesalahannya dengan berjuta dalil logika yang amat masuk akal massa awam dan lugu. (7 Desember 2010)

Pemimpin adalah manusia biasa yang tidak luput dari kesalahan, tapi kejujuran dan keikhlasan hati pemimpin tidak pernah salah. Semoga kita bisa jadi pemimpin yang jujur dan ikhlas. (7 Desember 2010)

Kepemimpinan yang zalim bisa langgeng tegak berdiri karena penyebab utamanya adalah massa awam dan lugu yang tidak terorganisir untuk melawan kezaliman. Mereka tidak sadar atau tidak berdaya atau apatis terhadap kezaliman pemimpin. (7 Desember 2010)

Pemimpin itu berasal dari rakyatnya. Tak elok ia bermewah-mewah jika ia berasal dari rakyat yang sederhana. Makin biadab jika ia melegitimasi kemewahannya dengan banding-bandingkan kemewahan pemimpin di negeri-negeri yang maju dan makmur padahal ia belum memajukan dan memakmurkan rakyat dan negerinya. (7 Desember 2010)

Pemimpin licik berupaya (memperdaya?) mengikat hati massa dengan uang bukan dengan berkhidmah pada mereka secara jujur dan sungguh-sungguh. Fondasi rapuh (uang) jangan harap bisa menopang bangunan kokoh (ikatan hati). (7 Desember 2010)

Pemimpin yang baik dan benar akan menyerukan hal-hal yang baik dan benar dengan cara yang baik dan benar ke konstituennya. Dia tidak sibuk berdalil logika untuk mengajak publik memaklumi pengumbaran hawa nafsunya. Misalnya: dia keranjingan mengoleksi kemewahan (padahal konstituennya kismin & madesu), maka dia buat dalil-dalil agar publik menjadi maklum bahkan mengikuti jejaknya. (8 Desember 2010) -note: kismin = miskin; madesu = masa depan suram

Keagungan pemimpin tidak dibentuk dari atributisasi dengan kemewahan atau dipagari oleh pengamanan yang tangguh (dan menyeramkan) atau dengan slogan-slogan bombastis, tapi dengan egaliterian dan kerja-kerja nyata untuk kesejahteraan dan kemakmuran bersama. (8 Desember 2010)

Tak jarang kita dapati sosok pemimpin yang merasa dirinya "Umar ibn Abdul Aziz", padahal fikiran, ucapan, dan tindakannya sangat "Hajjaj ibn Yusuf". (8 Desember 2010)

Pemimpin palsu itu niatnya palsu, omongannya palsu, idenya palsu, air matanya palsu, kerjaannya palsu, jargonnya palsu, marahnya palsu, senyumnya palsu, seruannya palsu, dan tawadhu'-nya palsu. (8 Desember 2010)

Pemimpin yang tidak mengakar di jiwa rakyatnya ibarat rumah berdinding gedek tanpa fondasi pula. (8 Desember 2010)

Pemimpin bijak adalah yang mampu memperkecil jumlah "musuh" dengan jalan merangkul mereka jadi kawan. Pemimpin yang tidak bijak adalah yang menambah rasa permusuhan terhadap dirinya. (8 Desember 2010)

Mahatma Gandhi adalah salah satu contoh pemimpin kontemporer yang jauh dari glamournyakemewahan, tapi ia sedemikian berwibawa, didengar, dan ditaati segenap rakyat India. Pemimpin picik justru mengira glamournya kemewahan akan meningkatkan citra wibawa dirinya dan karenanya ia mengira akan disegani, padahal rakyatnya melarat. (9 Desember 2010)

Pengikut yang jujur dan ikhlas tapi bodoh dan tidak kritis, akan mudah diperdaya oleh pemimpin yang pintar tapi culas. (9 Desember 2010)

Pemimpin yang bijak dan baik akan mencerdaskan pengikutnya. Pemimpin yang feodal dan licik akan memanfaatkan kebodohan pengikutnya. (10 Desember 2010)

Pemimpin boneka (planted leader) adalah pemimpin yang berhasil menguasai lembaga kepemimpinannya tapi gagal mengakar di hati konstituen atau rakyatnya. (10 Desember 2010)

Ada sementara pemimpin yang mencerca feodalisme, tapi ia selalu menunggu tangannya dicium, ia merindukan punggung-punggung yang membungkuk di hadapannya, dan ia harapkan setoran amplop gemuk berisi uang dari para pengikutnya (yang dari situ ia ukur kadar kualitas para pengikutnya itu). Inilah pemimpin muke gile...! (10 Desember 2010)

Pemimpin bijak senang dan membuka diri terhadap kritik konstruktif. Pemimpin zalim senang jika pengikutnya menjadi kambing congek dan terbuka terhadap semua puji-pujian, walau palsu sekalipun.(13 Desember 2010)

Jadi pemimpin itu berat juga. Di samping dia harus menjalankan visi kepemimpinannya dan nilai-nilai idealismenya, dia harus juga memperhatikan suara-suara di sekitarnya: mana-mana yang harus diserap, yang harus dijawab, dan harus diabaikan. (13 Desember 2010)

Kami tidak iri dengan hartamu, tuan. Tapi kenapa tuan bisa jadi kaya raya setelah jadi pemimpin kami? Kekayaan tuan melampaui gaji tuan sebagai pemimpin. Padahal sebelum ini kami tahu bagaimana keadaan tuan. Tuan bukanlah saudagar. Bukan pula anak atau menantu saudagar atau bangsawan kaya. Apa kini tuan juga jadi saudagar? Apa yang tuan perdagangkan? Rakyat? (15 Desember 2010)

Pemimpin bijak akan menyesuaikan diri dan tindakannya dengan peraturan atau kesepakatan bersama. Pemimpin bajingan akan menyesuaikan peraturan atau kesepakatan bersama dengan diri dan tindakannya (dengan cara mengobok-obok, mengubah-ubah, atau mengacak-acak peraturan atau kesepakatan bersama itu). (16 Desember 2010)

Pemimpin baik tidak malu akui salah jika memang salah dan lekas kembali pada kebenaran. Pemimpin 'ndableg tidak malu-malu untuk memaksakan pembenaran atas kesalahannya, kalau perlu dengan ubah peraturan. (17 Desember 2010)

Konstituen yang diikat dengan uang, loyalitasnya hanya sebatas supply uang si pemimpin ke mereka. Tak ada uang, konstituen melayang. Tapi jika diikat dengan sentuhan hati dan nilai-nilai, loyalitasnya akan mampu bertahan sampai maut datang. (20 Desember 2010)

Pada masyarakat doktrinal, pemimpin mereka (dianggap): selalu benar, tidak pernah salah, suri tauladan teragung, sabdanya tak boleh dibantah, haram dikritik, perintahnya hanya wajib dijalankantanpa dipertanyakan, selalu senior, paling tahu segala hal, paling pintar, paling jago, paling berpengalaman, dan perjuangan dan pengorbanannya paling hebat. (22 Desember 2010)

Ada orang-orang yang mengira kepemimpinan adalah kalau mereka sudah berhasil meraih posisi puncak formal dalam sebuah kumpulan. Karenanya mereka akan mengejar penuh nafsu dan mengupayakan berbagai hal (termasuk yang tricky dan politicking) untuk meraihnya. Ini sangat menyedihkan. Esensi kepemimpinan bukan soal posisi, tapi soal pengaruh. Menduduki posisi puncak tapi tidak bias bangun pengaruh ke konstituen, sama saja bohong. Pengaruh itu lebih ke hati, karena ia berangkat dari cinta dan kejujuran, sedangkan "pemimpin" yang seperti disebutkan di atas tidak memiliki cinta dan kejujuran. (28 Desember 2010)

Tomy Saleh. Kalibata. 29 Desember 2010. 08:00WIB

Tokoh Idola Dalam Sorotan

"Maka janganlah kamu mengikuti orang-orang yang mendustakan (ayat-ayat Allah)."
(QS. Al Qalam ayat 8)

Ada seorang pemuda, rambutnya gondrong, cuping telinganya ditempeli anting-anting, jari telunjuk dan jari tengahnya tangan kanannya menjepit sebatang rokok, dan gaya jalannya dibuat sedemikian rupa. Ketika ditanya "siapa sih tokoh idolamu?". Dia menjawab, "Penyanyi metal meen!!". Pantas!!

Adalagi seorang pemudi, rambutnya sangat pendek sehingga kuduknya terlihat. Memakai pakaian yang serba mini dan cukup 'kekecilan' alias ketat dan berlanggak-lenggok jalannya. "Tokoh fave saya Tony Braxton.", katanya.

Melihat kenyataan di atas kita bisa berkonklusi bahwa, betapa seorang tokoh idola itu bisa mewarnai life style seseorang yang mengidolakannya. Cukup pelik memang. Permasalahan ini, apabila ditilik dari terminologi Qur'ani, bukanlah masalah yang sepele. Apalagi kalau sudah mengintervensi 'aqidah dan akhlaq. Makna dari tokoh idola itu sendiri adalah seseorang yang dikagumi from the bottom of the heart. Sehingga cenderung untuk diteladani atau ditiru segala tingkahnya. Mulai dari ujung rambut sampai ujung kaki. Seseorang bisa menjadi idola bila memenuhi kriteria-kriteria tertentu yang non statis, seperti wajah tampan, kepribadian yang menarik, kemampuan yang luar biasa, kepandaian, dan lain-lainnya. Pokoknya yang mengundang kekaguman kita.

Lalu, mengapakah manusia itu, khususnya pemuda, cenderung untuk memiliki rasa kagum terhadap seseorang sehingga pola kehidupannya diwarnai oleh pola tingkah sang idola? Jawabnya: karena Allah menciptakan manusia itu dengan sederetan kekurangan-kekurangan. Dan untuk menutupi kekurangan tersebut manusia akan berusaha mencari manusia lain yang memiliki kelebihan yang tidak dimilikinya untuk kemudian mencontoh ataupun mempelajari kelebihan itu guna diterapkan dalam menutupi kekurangan-kekurangannya, sehingga ia merasa lengkap dan puas. Itulah sifat dasar setiap manusia (fitrah). Namun amat disayangkan, banyak manusia yang salah langkah dalam menyalurkan fitrahnya itu. Ada sebagian manusia yang merasa 'kekurangan' apabila dirinya belum ada 'kejelekan', misalnya seseorang yang mengidolakan penyanyi metal, maka orang ini akan merasa belum lengkap bila lengannya belum ditatoo dan kupingnya belum diberi anting-anting, sebagaimana sang idola. Dan ada pula manusia yang kurang apabila dirinya belum ada aqidah yang mantap, akhlak yang karimah, dan ibadah yang benar, dan dialah manusia yang cerdas.

Dari pernyataan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa sembarangan dalam meneladani seseorang tokoh yang diidolakan bisa berakibat fatal. Setidak-tidaknya ada tiga kemudhorotannya, yaitu:

1. Lunturnya aqidah
2. Hancurnya moral dan akhlaq
3. Pelan tapi pasti, keislaman kita bisa musnah

Cukup mengerikan dan memang bukan mengada-ada. Bayangkan, seorang pemuda Islam menjadi enggan mengaji hanya karena tokoh idolanya itu bukanlah seorang muslim sejati. Seorang muslimah enggan menutup auratnya hanya karena sang idolanya itu seorang pengumbar aurat alias suka memamerkan auratnya. Fenomena ini bukan isapan jempol semata, tapi memang nyata berdasarkan statistika. Ada fakta dan data. Sudah sedemikian parahkah? Sampai-sampai kita gadaikan keislaman kita? Sampai-sampai harga diri ummat Islam hancur?

Alhamdulillah, agama yang kita yakini dan kita amalkan ini (Islam), dalam substansinya sebagai diin yang syamil dan kamil, telah memberikan solusinya yang paten dalam menghadapi masalah ini. Menurut pandangan Islam, tokoh idola wajib memenuhi kriteria-kriteria sebagai berikut:

1. Dia adalah manusia pilihan Allah
Kriteria ini adalah kriteria yang paling fundamental. Manusia pilihan Allah adalah manusia yang dicintai, dikasihi, dirahmati, dan diridhoi olehNya dan sebaliknya manusia itu juga mencintai Allah dengan sepenuh hati melebihi kecintaan terhadap dirinya, keluarga, dunia dan isinya. Manusia ini adalah manusia yang sangat bermanfaat bagi lingkungannya. Sekarang, pantaskah kita mengidolakan orang-orang yang dikutuk dan dilaknat, macam orang-orang kafir? Ingatlah, "Seseorang itu bersama dengan orang yang dicintai di hari kiamat nanti.". Bila kita mencintai orang yang beriman, kita akan bersama mereka di hari kiamat nanti. Ingatlah, "Barangsiapa yang mengikuti suatu kaum, maka ia termasuk dari kaum itu.".

2. Memiliki kepribadian dan kemampuan yang Qur-ani
Kepribadian dan kemampuan merupakan salah satu penyebab seseorang menjadi tokoh idola. Kepribadian manusia itu bermacam-macam, begitu pula dengan kemampuan. Ada yang mampu berusaha tetapi tidak mampu bertawakkal, ada yang mampu mendapatkan tapi tidak mampu bersyukur dan ada pula yang mampu mencintai dan mentaati Allah. Kemampuan dan kepribadian yang pantas diidolakan hanyalah yang baik saja dan setiap yang baik itu harus dicocokkan, apakah selaras atau tidak dengan Al Qur-an.

3. Dikagumi dan dikenang sepanjang zaman
Biasanya seorang tokoh idola tenar, lambat laun akan hilang ketenaran setelah beberapa tahun atau dia wafat. Sesudah itu muncul yang lainnya. Tapi dalam Islam, seorang tokoh idola yang pantas diteladani, dikagumi, dan dikenang hingga tibanya hari kiamat.

Ternyata hanya ada satu orang, the one and the only, Nabi Muhammad SAW. Apakah beliau manusia pilihan Allah? Ya dan sangat jelas sekali bahwa beliau adalah kekasih Allah. Apakah beliau memiliki kepribadian dan kemampuan yang Qur-ani? Ya. Beliau adalah ibarat Al Qur-an yang berjalan. Beliau dikagumi oleh kawan atau lawan sepanjang sejarah. Lihatlah bagaimana Michael Hart memujinya dalam buku "100 Tokoh".

Sekarang marilah kita semua mulai mengidolakan, mencintai, dan meneladani Nabi Muhammad SAW. Orang-orang yang mengidolakan beliau bisa dideteksi dari tingkah lakunya yang senantiasa mencontoh Nabi Muhammad. Marilah kita meneladani Rasulullah dalam segala hal seperti kecintaan dan ketaatannya dalam menjalankan ajaran-ajaran Allah, keberanian dan keteguhannya dalam menghadapi berbagai cobaan hidup, kepandaiannya, pemikirannya, dan lain-lain. Semoga Allah memberkahi dan merahmati Nabi Muhammad SAW beserta para keluarga, para sahabat, dan para umatnya yang setia hingga akhir zaman.

Al haqqu mirrobbikum.

Tulisan ini pernah dimuat di buletin "Suara Dakwah 65" terbitan 9 Jumadil Awal 1415H / 14 Oktober 1994. Ini adalah tulisan pertama saya yang 'serius' dan published. Dibuat waktu saya masih kelas 3 SMA. Buletin itu sendiri beredar tiap hari Jum'at di SMA 65. Diterbitkan oleh seksi kerohanian Islam, OSIS SMAN 65, Kebon Jeruk, Jakarta Barat, di mana saya menjadi salah satu pengurusnya.

Memaknai Islam Kaffah: Catatan Atas Kolom Taufik Damas Di Situs JIL Berjudul “Islam Kaffah”

Di dalam situs JIL, ada sebuah kolom yang ditulis oleh Taufik Damas (TD). Judulnya “Islam Kaffah”. Tulisan itu dimuat tanggal 12 Oktober 2010 yang lalu. TD mengawali tulisan tersebut dengan menulis terjemahan Surat Al Baqarah ayat 208 sebagai berikut:

Hai orang-orang yang beriman, masuklah ke dalam as-silmi secara utuh, dan janganlah kalian turuti langkah-langkah setan. Sungguh setan itu musuh yang nyata bagi kalian.

Kemudian pada tiga paragraf berikutnya TD menuliskan pemahaman sekelompok ummat Islam terhadap ‘Islam Kaffah’ (atau ‘Islam utuh’, tulis TD) yang menurutnya “Tidak jelas betul makna utuh yang dimaksudkan karena keutuhan itu ternyata sangat bergantung pada pemahaman tertentu tentang Islam.”. Kemudian TD “menyimpulkan” sebagai berikut, “Puncak idealisasi Islam Kaffah adalah mendirikan sebuah negara yang berasaskan Islam karena, menurut logika mereka, tanpa negara Islam tidak dapat dijalankan secara utuh.

Setelah memberikan pembukaan itu, di bawah sub judul “Kata As Silmi”, TD mulai menuliskan apa itu makna Islam Kaffah menurut pemahamannya. Kata-kata As Silmi yang terdapat dalam Surat Al Baqarah ayat 208, menurut TD, memiliki makna yang beragam. Bukan hanya satu makna, sebagaimana yang dipahami oleh sekelompok ummat Islam (seperti diuraikannya pada paragraf-paragraf awal kolomnya). TD menawarkan makna-makna As Silmi yang lain seperti kepasrahan, proses perdamaian, ketundukan, dan simbol berbagai kebajikan. Kemudian TD menyimpulkan sebagai berikut, Intinya, tidak ada konsensus (ijma’ ) ulama bahwa tafsiran kataas-silmi adalah Islam. Ia memiliki interpretasi yang beragam dan setiap muslim dapat memilih interpretasi yang lebih sejalan dengan semangat zamanAkan lebih menarik jika kata as-silmi dalam ayat di atas dipahami sebagai proses perdamaian serta ketundukan pada nilai-nilai universal yang ada dalam setiap ajaran mana pun. Setiap orang beriman diajak untuk selalu menempuh proses perdamaian dan menjalankan nilai-nilai universal dalam rangka menciptakan kehidupan yang lebih beradab dan sejahtera..

TD kemudian menuliskan ‘skenario’ yang seharusnya terjadi jika ayat 208 pada Surat Al Baqarah tersebut ditafsirkan sebagai seruan untuk menjalankan Islam Kaffah, yaitu adanya pengakuan akan keragaman kekayaan pemikiran yang pernah ada dalam (dan mewarnai) sejarah Islam. Menurut TD, Islam tidak hanya bicara fikih, hadis, tasawuf, dan aqidah, tapi juga ilmu pengetahuan, kemanusiaan, filsafat, mistisisme, dan lain-lain. TD juga menyebutkan sejumlah tokoh cendekiawan muslim dari berbagai bidang ilmu pengetahuan yang menjadi pelopor di bidangnya masing-masing. TD lalu menyimpulkan, “Berbagai gagasan dan pemikiran yang pernah mereka tuangkan dalam karya-karya mereka menunjukkan kebebasan berpikir yang jauh lebih dahsyat dari apa yang dibayangkan oleh kelompok muslim yang mengkampanyekan Islam Kaffah di zaman sekarang ini. Alih-alih mengenal kekayaan khazanah pemikiran dalam Islam, kampanye Islam Kaffah justru terjerumus pada rigiditas dan simplifikasi yang tidak menggambarkan bahwa Islam pernah berada pada masa keemasannya.”. Menurut TD, kemajuan peradaban tidak akan terwujud hanya dengan mengandalkan “iman” (dalam tanda kutip) dan jargon-jargon yang tidak berdasar, melainkan harus dicapai dengan penguasaan terhadap ilmu pengetahuan.


Sebagai penutup TD mengajak kaum muslimin untuk berani memilih interpretasi (tafsir), terhadap Surat Al Baqarah ayat 208 itu, yang lebih moderen dan sesuai dengan semangat zaman serta mengajak untuk meninjau ulang jargon ‘Islam Kaffah’ karena telah terjerumus dalam rigiditas pemahaman terhadap Islam.

Memaknai Islam Kaffah

Imam As Syaukani menafsirkan ayat tersebut bahwasanya di dalam hati orang-orang ahlul kitab, munafik, dan musyrik pada hakikatnya masih tersimpan setitik saja keimanan. Melalui ayat tersebut, Allah SWT menyerukan agar semua orang yang beriman (baik itu yang sudah beriman penuh maupun yang masih sedikit keimanannya atau ragu) agar masuk Islam saja secara keseluruhan. Jangan ragu-ragu dan malu-malu.

Kata “As Silmi” bermakna kedamaian atau keselamatan. Ini adalah salah satu dari makna “Islam”. Orang beriman yang masuk ke dalam “Islam” secara totalitas, melaksanakan seluruh perintah Allah SWT dan menjauhi laranganNya, maka ia akan menemukan kedamaian di jiwanya. Ketenteraman yang hakiki di lubuk hati yang paling dalam. Orang yang imannya masih sedikit atau ragu-ragu atau masih terliputi kabut seperti para ahlul kitab, orang-orang musyrik, dan munafiq, adalah orang yang hatinya belum damai dan tenteram. Hati yang diliputi keraguan adalah hati yang belum damai. Maka Allah SWT menyerukan agar orang-orang seperti itu masuk ke dalam Islam secara total agar hatinya damai, oleh sebab rahmat dan ampunan dari Allah SWT dan juga karena ia akan mendapati bahwa ajaran Islam mencakup seluruh aspek kehidupan manusia. Tidak ada soal yang tak terjawab. Maka dengan inilah ia akan damai (As Silmi).

Ajaran Islam memiliki misi sebagai rahmatan lil ‘alamin, menjadi rahmat (kasih sayang) bagi alam semesta. Maka seluruh aspek ajaran Islam mengarah atau berdampak ke sana. Misalnya bisa kita lihat pada maqashid syari’ah (tujuan syari’ah) dalam Islam. Maqashid syari’ah ada lima, yaitu: memelihara keyakinan/agama, memelihara jiwa, memelihara keturunan, memelihara akal, dan memelihara harta. Di sinilah terkandung makna ‘As Silmi’.

Ada pula sebuah riwayat dari Ibnu Abi Hatim bahwasanya Ibnu Abbas menjelaskan ayat 208 surat Al Baqarah itu turun berkenaan dengan permintaan sekelompok ahli kitab (yang telah beriman) kepada Rasulullah SAW untuk memberi izin kepada mereka untuk tetap boleh memuliakan hari Sabtu (sebagaimana tradisi ahlul kitab) dan di malam hari tetap boleh beribadah sebagaimana cara Taurat. Maka Allah SWT memerintahkan agar setiap orang yang beriman agar masuk Islam secara kaffah. Menyeluruh. Totalitas. Tidak setengah-setengah. Tidak tanggung-tanggung. Mereka masih terbelah-belah keyakinannya antara beriman dan kembali kepada keyakinan semula. Hatinya tidak tenteram. Maka Allah SWT memerintahkan agar mereka masuk Islam secara total agar damai tentram jiwa mereka.

Jadi makna “As Silmi”, sejak awal turun ayat, telah dipahami sebagai “Islam” itu sendiri. Bukan sebuah kata yang maknanya hanya terhenti pada makna harfiah belaka. Dan Islam yang dipahami, bukanlah Islam yang parsial. Bukan Islam yang hanya menekankan pada aspek2 tertentu, melainkan Islam yang kaffah, total, menyeluruh, utuh. Dengan demikian gugurlah pendapat TD pada tulisannya yang mana dia menyebut bahwa makna utuh atau kaffah yang dimaksud oleh “sekelompok muslim” (yang TD pun tidak menjelaskan siapa yang dimaksud sebagai sekelompok muslim tersebut) tidaklah jelas. Padahal makna “Islam Kaffah” sudah sangat jelas. Islam kaffah adalah Islam secara keseluruhan mencakup seluruh aspek ajarannya. Ia mencakup aqidah, akhlaq, ibadah, syari’ah, fikih, pemikiran, kejiwaan, materi, pembangunan, pemerintahan, dan sebagainya. Khazanah dunia Islam tentang berbagai hal amat kaya.

TD juga menawarkan tafsiran “baru” mengenai ayat 208 tersebut: “Hai orang-orang yang beriman, masuklah dalam proses perdamaian (dan menjalankan nilai-nilai universal) secara utuh... “. Makna ini tidak saja menyimpang dari makna secara harfiah, tapi juga rancu. Proses perdamaian itu seperti apa? Nilai-nilai universal itu yang seperti apa? Apakah ajaran Islam itu tidak mengajarkan dan memberikan kedamaian bagi ummat manusia? Jika dimaknai seperti itu, seolah-olah orang-orang yang beriman itu sedang berperang oleh karenanya diajak untuk masuk dalam proses perdamaian. Padahal ayat itu tidak membicarakan mengenai peperangan. Nilai-nilai universal ini juga tidak jelas apa maksudnya. Jika kita diminta menjalankan nilai-nilai universal, maka apa referensinya? Dari mana sumber nilai-nilai universal tersebut? Jika yang dimaksud dengan nilai-nilai universal adalah seperti perdamaian, kerukunan, saling hormat, saling bantu, dan berkasih sayang, maka sesungguhnya Islam sudah mencakupi hal-hal itu semua. Berdasarkan apa pula tafsiran baru tersebut?

TD menyebutkan pula bahwa jika kita memakai tafsiran baru tersebut maka “sasaran dakwah” ayat tersebut menjadi lebih luas. Ayat itu diawali dengan kalimat “Wahai orang-orang yang beriman”. Maknanya, sasaran ayat itu ditujukan kepada orang-orang yang beriman saja. Seruan di ayat tersebut kurang cocok ditujukan kepada orang-orang yang tidak atau belum beriman. Bagi yang belum beriman, seruannya adalah mengajak supaya beriman terlebih dahulu. Setelah beriman, baru diajak lagi untuk lebih totalitas. Jadi memang sasaran ayat itu spesifik.

Di bagian lain dari tulisannya itu, TD juga mengandaikan sebuah “skenario” jika pemahaman Surat Al Baqarah ayat 208 adalah ajakan untuk menjalankan Islam secara utuh (bukan makna As Silmi sebagaimana yang ditawarkan sebelumnya). TD ‘meminta’ untuk turut mengakui ragam pemikiran yang pernah ada di dunia Islam, karena Islam tidak hanya bicara fikih, aqidah, hadis, tasawuf, tapi juga bicara tentang ilmu pengetahuan, kemanusiaan dan lain-lain. Jika di awal-awal TD mengkritisi pemahaman ‘Islam Kaffah’ versi ‘sekelompok muslim’ dan menawarkan tafsir baru, maka tulisan TD yang mengandaikan skenario tersebut menjadikannya tampak inkonsisten dalam berpendapat.

Pada paragraf berikutnya, TD mengkritisi kampanye Islam Kaffah yang menurutnya terjerumus pada rigiditas dan simplifikasi yang tidak menggambarkan bahwa Islam pernah berada pada masa keemasannya. Tidak dijelaskan oleh TD seperti apa bentuk kampanye Islam Kaffah itu dan siapa pihak-pihak yang mengkampanyekannya serta bagaimana metode kampanye tersebut. Lalu bagaimana TD bisa menyimpulkan? Apakah ini cuma khayalan TD saja? Jika ya, maka kesimpulannya itu berdiri di atas sebuah dugaan atau khayalan, karena ketiadaan sumbernya. Jelas ini sebuah kesimpulan yang jauh dari nilai-nilai ilmiah dan sulit diterima oleh akal sehat.

Pada paragraf sebelum paragraf akhir, TD menyebutkan bahwa kemajuan peradaban tidak akan terwujud dengan hanya mengandalkan iman dan jargon-jargon gigantis, tapi harus dengan penguasaan ilmu pengetahuan yang tumbuh dalam suasana kebebasan dan jauh dari klaim saling menyesatkan. Ini jelas pendapat yang keliru. Di dalam Al Qur-an dan juga Al Hadits, begitu banyak seruan keimanan dan seruan untuk menjadi ‘alim (berpengetahuan). Iman dan ilmu dijadikan satu paket bagi kaum muslimin. Iman tanpa ilmu tidak bisa tegak sempurna di dunia. Ilmu tanpa iman akan menghasilkan kekeringan rohani dan berpotensi ada anarki. Peradaban kaum muslimin ditopang oleh fondasi keimanan dan eksplorasi ilmu pengetahuan yang luar biasa. Inilah peradaban yang cemerlang yang akan membawa ketenteraman dan kedamaian. Inilah Islam Kaffah itu.

Di paragraf terakhir TD mengajak kaum muslimin agar lebih berani memilih interpretasi (terhadap Surat Al Baqarah ayat 208 tersebut) yang lebih moderen dan sesuai dengan semangat zaman. Ajakan TD ini cukup rancu. Yang dimaksud moderen itu seperti apa? Ukuran modernitas yang diserukannya itu seperti apa? Apa pula yang dimaksudkannya dengan semangat zaman? Penafsiran Al Qur-an haruslah berlandaskan pada ilmu pengetahuan (tata bahasa Arab, asbabun nuzul, hadits, dan lain-lain) bukan pada praduga. Persoalan pemahaman terhadap Al Qur-an bukanlah persoalan berani memilih tafsiran, tapi pada apa yang hendak dimaksud dan dicapai oleh pesan-pesan Al Qur-an itu dengan mengacu pada pemahaman Rasulullah SAW dan generasi sahabat. Karena generasi merekalah sebaik-baik rujukan atas pemahaman terhadap Al Qur-an (maksud dan tujuan ayat). Pada generasi mereka wahyu diturunkan bertahap dan ada Rasulullah SAW yang menjelaskan makna wahyu.

Marilah kita masuk ke dalam Islam secara kaffah (totalitas, utuh, menyeluruh, tanpa ragu). Marilah kita berislam secara komprehensif agar kita mendapatkan kedamaian dan menjadi rahmat bagi alam semesta.

Wallahu a’lam bisshowab.

Tomy Saleh. Kalibata. 3 Desember 2010. 17:57WIB

Referensi:

  1. Tafsir Al Azhar Juzu’ 2, Buya Hamka, Panjimas.
  2. Tafsir Fi Zhilalil Qur-an Jilid 1, Sayyid Quthub, Gema Insani.
  3. Website www.islamlib.com.
  4. Website www.halaqah-online.com
Tulisan ini diikutkan dalam sayembara menulis "Mengkritisi Islam Liberal" yang informasinya bisa di-klik pada link : http://de.tk/ufR9e

Amal Saleh Terstruktur: Syarat Rahmatan Lil ‘Alamin

Iman dan amal saleh sering disandingkan penyebutannya di dalam Al Qur-an. Ini bukan tanpa sengaja, melainkan sebagai sebuah isyarat bahwa iman itu harus sepadu padan dengan amal saleh. Iman identik dengan urusan hati. Sedangkan amal saleh adalah realisasi nilai-nilai keimanan yang diyakini. Iman tanpa amal saleh adalah iman yang palsu, sedangkan amal saleh tanpa iman adalah amal saleh yang keropos dan ditolak oleh Allah SWT (tidak mendapat credit point di sisi Allah SWT, sekalipun membawa maslahat bagi sesama). Iman adalah landasan amal saleh, dan amal saleh mengkonfirmasi (pengakuan) keimanan seseorang. Jadi iman dan amal saleh harus selalu sejalan beriringan.

Pemaknaan keimanan cenderung ajeg dan sudah mapan. Ini sesuai dengan 'watak'-nya sebagai fondasi atau landasan. Yang namanya fondasi itu pasti tetap. Fondasi bergerak, rubuhlah bangunan di atasnya. Sebaliknya, pemahaman tentang amal saleh seringkali dipersempit. Amal saleh lebih identik dengan (hanya) memberikan sedekah, melaksanakan shalat lima waktu, mengaji, ikut majelis taklim, menyingkirkan duri di jalan, kerja-kerja sosial, berpuasa, dan (paling top) melaksanakan ibadah haji. Padahal amal saleh jauh lebih luas lagi cakupannya. Tidak terhenti pada kegiatan-kegiatan tersebut.

Cukup menarik, mengamati pemikiran Hasan Al Banna (1906-1948, pendiri gerakan Islam "Ikhwanul Muslimin" di Mesir) mengenai amal saleh. Di dalam tulisannya yang berjudul "Risalah Ta'lim" beliau menguraikan dan merumuskan tahapan amal saleh yang lebih terstruktur, strategis, dan memiliki arah yang jelas dan tegas. Tahapan itu sebagai berikut:

1. Ishlahul Fardi, memperbaiki diri sendiri agar memiliki sepuluh karakter kepribadian yang saleh yaitu: aqidahnya lurus, ibadahnya benar, akhlaqnya solid, kuat (daya tahan) jasmaninya, cerdas berwawasan, mandiri secara ekonomi, rapi dalam setiap urusannya, mampu mengatur waktunya, bersungguh-sungguh dalam jiwanya, dan bermanfaat bagi sesamanya.

2. Takwinul baitil muslim, membina rumah tangga yang Islami.

3. Irsyadul mujtama', membimbing masyarakat.

4. Tahrirul wathan, memerdekakan negeri dari segala bentuk penjajahan.

5. Ishlahul hukumat, memperbaiki pemerintahan.

6. I'dadul qiyadah, mempersiapkan kepemimpinan.

7. Ustadziyatul 'alam, menjadi guru atau pembimbing atau referensi peradaban.

Berbagai amal saleh seperti kegiatan-kegiatan yang disebutkan di atas, jika menilik pemikiran Hasan Al Banna, justru masih baru pada level awal dalam tahapan amal saleh yaitu Ishlahul Fardi (memperbaiki diri sendiri). Amal saleh tersebut masih terbatas pada diri sendiri. Masih di wilayah privat.

Amal saleh adalah perbuatan baik berlandaskan keimanan yang dilakukan dengan cara yang baik dan mendatangkan dampak yang baik pula. Amal saleh yang dilakukan secara personal akan membawa dampak kebaikan yang nyata bagi diri pribadi. Agar amal saleh membawa kebaikan nyata yang lebih luas lagi, maka lingkaran amal saleh harus diperluas dari wilayah privat ke wilayah keluarga, masyarakat atau komunitas, negara, hingga wilayah peradaban dunia. Amal saleh harus jadi gerakan yang massif.

Pemikiran tentang amal saleh yang ditawarkan oleh Hasan Al Banna ini membuka cakrawala berpikir kita bahwa dibutuhkan energi yang besar, stok keilmuan yang mumpuni, sinergi, dan kesinambungan gerakan untuk mewujudkan amal saleh. Ini bukan lagi wilayah personal, tapi sudah mondial. Perlu strategi yang kreatif, tajam, dan lincah untuk mewujudkannya. Betapa tidak sederhananya amal saleh (dalam tatanan global), kalau begitu !

Konsepsi amal saleh seperti ini adalah sebuah keniscayaan untuk merealisasikan cita-cita besar misi Islam: rahmatan lil 'alamin. Allah SWT berfirman dalam surat Al Anbiya ayat 107 :

"Dan tiadalah kami mengutusmu melainkan untuk menjadi rahmat bagi alam semesta."

Rasulullah SAW diutus oleh Allah SWT membawa ajaran Islam dan menda'wahkannya agar mendatangkan (dan mengokohkan) rahmat bagi alam semesta. Diutusnya Rasulullah SAW dengan Islamnya dimaksudkan untuk memberi manfaat kebaikan yang sangat besar bagi seluruh manusia, di manapun juga, hingga akhir zaman. Inilah rahmatan lil 'alamin.

Rahmatan lil 'alamin ini cuma sekadar mission statement belaka jika tidak disokong oleh keimanan dan diwujudkan dengan perbuatan, yaitu amal saleh. Amal saleh yang mampu mewujudkan mission statement itu adalah amal saleh yang terstruktur, strategis, dan punya arah yang jelas. Jadi, misi rahmatan lil 'alamin ini bukan cuma sekadar perbuatan baik pribadi, tapi rangkaian perbuatan baik yang massif dan dirasakan oleh seluruh alam semesta.

Amal saleh dimulai dari diri sendiri hingga puncaknya: menjadi guru peradaban. Bangsa yang berperadaban tinggi adalah suatu bangsa yang bisa jadi pembimbing dan rujukan (referensi) bagi seluruh bangsa di dunia. Bangsa inilah yang akan memimpin peradaban manusia dan mewujudkan rahmatan lil 'alamin (kasih sayang atau kedamaian atau ketentraman bagi alam semesta). Untuk inilah Rasulullah SAW bersabda, "Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlaq manusia."

Mari kita mulai langkah pertama terlebih dahulu, lalu setahap demi setahap bersama-sama mewujudkan langkah-langkah berikutnya. Semoga kita semua mendapat rahmat dari Allah SWT.

Tomy Saleh. Kalibata. 1 Desember 2010. 10:46WIB