Pilihan Dan Konsekuensi

Saya mendapati fakta menarik dalam kehidupan saya, setelah saya amati sekian lama. Saya tinggal di sebuah rumah kontrakan di sebuah daerah permukiman di Jakarta Barat. Rumah itu terletak di salah satu sudut yang dikelilingi tembok tinggi rumah para tetangga. Cukup tersembunyi dan relatif jauh dari kebisingan. Tidak ada kendaraan umum yang melalui jalan di depan rumah. Jalan di depan rumah termasuk jalan permukiman yang tidak banyak dilalui kendaraan. Ujung jalan tersebut bertemu dengan jalan besar yang, belakangan ini, sering macet. Kendaraan umum berseliweran 24 jam di jalan besar tersebut. Setiap hendak bepergian, saya kerap melalui jalan besar tersebut, karena di jalan itulah ada kendaraan umum. Jarak dari rumah hingga jalan besar (melalui jalan permukiman tadi) kira-kira 300 m. Pada jarak 100 m dari rumah saya, jalan permukiman itu bercabang membentuk pertigaan; lurus akan mengarah ke jalan besar, belok kiri akan mengarah ke jalan permukiman lain. Di pertigaan inilah ada satu-satunya kendaraan umum yang melintas: mikrolet (angkutan umum dari modifikasi mobil minibus/MPV; umumnya Toyota Kijang, belakangan ini ada pula yang dari Isuzu Panther, Suzuki Carry, dan Daihatsu GrandMax). Salah satu rutenya adalah menuju ujung jalan yang bertemu jalan besar. Jarak dari pertigaan menuju jalan besar kira-kira 200 m. Untuk menuju jalan besar, saya mesti melalui pertigaan tersebut.

Jika saya MEMILIH naik mikrolet menuju jalan besar, maka KONSEKUENSINYA saya harus keluar uang Rp 2000, TAPI lebih cepat tiba di jalan besar dan lebih santai. Jika saya MEMILIH berjalan kaki menuju jalan besar itu, maka KONSEKUENSINYA saya harus mengeluarkan energi ekstra dan butuh waktu lebih lama untuk tiba di jalan raya (kira-kira 7 hingga 10 menit lebih lama dibanding naik kendaraan), TAPI hemat uang Rp 2000.

Dari jalan besar itu saya masih harus naik kendaraan umum lain untuk tiba di tujuan, katakanlah kantor. Saya harus naik mikrolet lain menuju perempatan jalan raya propinsi (ongkos: Rp 2500). Dari perempatan jalan raya propinsi itu saya masih harus naik bus kota menuju kantor (ongkos: Rp 2500). Bus kota itu akan berhenti di ujung jalan permukiman di kawasan Jakarta Selatan. Jarak ujung jalan menuju kantor kira-kira 200 m. Jika saya MEMILIH jalan kaki dari rumah menuju jalan besar lalu naik mikrolet menuju perempatan jalan raya propinsi dan naik bus kota menuju kantor, maka KONSEKUENSINYA, seperti di atas, saya harus keluar ekstra energi dan sedikit lebih lama, TAPI saya hanya perlu keluar uang Rp 5000 (sampai tiba di kantor), walaupun mungkin kondisi bus kota sudah penuh (karena perempatan tersebut hanyalah salah satu perhentian saja dari sekian perhentian sejak bus meluncur dari terminal)

Sebenarnya, mikrolet yang melintas di jalan permukiman dekat rumah saya itu bisa juga membawa saya menuju jalan raya propinsi untuk kemudian saya menyambung lagi naik bus kota menuju kantor. Saya hanya perlu membayar mikrolet itu Rp 2500. Rutenya adalah melewati jalan besar seperti saya sebut di atas lalu berkelok-kelok memasuki jalan permukiman lain hingga tiba di sebuah pasar di pinggir jalan raya propinsi. Tapi bus kota yang saya perlukan ada di seberang jalan raya propinsi itu. Maka saya harus menaiki tangga penyeberangan jalan lalu berjalan kaki lagi kira-kira 100 m menuju halte bus. Jika saya MEMILIH opsi ini (naik mikrolet hingga pasar) lalu saya naik bus kota menuju kantor (dengan ongkos bus Rp 2500), maka KONSEKUENSINYA saya harus keluar energi ekstra naik jembatan penyeberangan dan berjalan lagi 100 m menuju halte, TAPI saya hanya perlu keluar uang Rp 5000 (sampai di kantor) dan mendapati bus yang tidak terlalu padat (dibandingkan bila harus naik bus tersebut di perempatan jalan raya propinsi, sebagaimana saya sebut di atas).

Hal-hal di atas adalah dengan asumsi saya berangkat ke kantor jam 6 pagi. Jika saya berangkat jam 6:30 atau lebih dari itu, maka PILIHAN dan KONSEKUENSINYA akan berubah lagi. Dari pertigaan di jalan permukiman, saya harus naik mikrolet ke ujung jalan besar (ongkos: Rp 2000) lalu naik mikrolet lagi menuju perempatan jalan raya propinsi (ongkos: Rp 2500). Dari situ saya mungkin tidak akan memilih naik bus kota yang langsung menuju lokasi kantor, karena bus tersebut kemungkinan sudah penuh atau harus menunggu lebih lama lagi hingga bus berikutnya tiba karena saya sudah tertinggal jadwal bus pagi. Oleh sebab itu saya akan memilih naik bus lain hingga ke salah satu perempatan lain lalu menyambung lagi naik bus kecil menuju kantor. Masing-masing ongkosnya Rp 2000. Sehingga total saya harus keluar ongkos Rp 8500. Tapi saya bisa sedikit antisipasi datang terlambat ke kantor.

Kemudian saya berfikir bagaimana kalau saya MEMILIH pindah rumah ke pinggir jalan besar? Segera saya dapati KONSEKUENSI bahwa harga sewanya lebih mahal plus saya akan memperoleh suasana bisingnya jalan raya. Atau saya mungkin bisa MEMILIH pindah rumah ke dekat kantor? Tapi KONSEKUENSINYA belum tentu ada rumah dengan harga sewa yang sama dengan rumah yang sekarang saya tempati dan hampir dapat dipastikan saya harus keluar ongkos ekstra lagi, karena sebahagian besar aktivitas dan amanah saya (aktivitas luar kantor, seperti sosial) ada di Jakarta Barat.

Lalu ada opsi lain: membeli sepeda motor. KONSEKUENSINYA adalah saya akan 'terikat' dengan motor tersebut: harus mencucinya, tune up rutin, bayar pajak, dan lain-lain. Belum lagi ruang di rumah akan menjadi lebih sempit dengan kehadiran motor tersebut. Bagaimana dengan mobil? Biaya cicilan mobil yang paling murah sama dengan seluruh gaji bulanan saya tanpa tersisa sedikitpun untuk membiayai makan dan tagihan rutin. Plus tidak ada tempat untuk meletakkan mobil tersebut.

Saya sebenarnya bukan tipe orang yang suka curhat. Maksud saya menulis di atas adalah hendak menyampaikan bahwa setiap pilihan ada konsekuensinya. Kata orang, hidup itu adalah pilihan. Setiap kita menjalani kehidupannya masing-masing. Pola atau bentuk kehidupan tersebut sesuai dengan apa yang dipilihnya sebagai jalan hidup. Setiap pilihan itu memberikan konsekuensi dalam wujud yang khas. Kita dituntut untuk mempergunakan akal fikiran dan hati nurani yang sehat dalam menentukan pilihan karena hal ini terkait erat dengan kesiapan menanggung konsekuensinya. Setiap pilihan hendaklah "diterawang", diteliti dengan seksama, check and re-check, dan berkaca pada pengalaman (pribadi maupun orang lain). Sehingga setiap pilihan di pilih dengan bijaksana, ikhlas, sadar, paham, dan siap dengan konsekuensinya. Ketika menjalani pilihan tersebut pun dengan rasa senang, tenang, nyaman, dan penuh perhitungan dan perencanaan.

Mari kita simak firman Allah SWT dalam surat Asy Syams ayat 8 berikut ini:

"maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya,"

Allah SWT memberikan pilihan kepada kita: fasiq (jahat, munkar) dan taqwa. Setiap pilihan ada konsekuensinya. Jika memilih taqwa, maka konsekuensinya tertera di ayat berikutnya (ayat 9):

"sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu,"

Dan jika memilih fasiq, maka konsekuensinya ada di ayat selanjutnya (ayat 10):

"dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya."

Di surat dan ayat yang lain Allah SWT juga banyak memberikan pilihan beserta konsekuensinya kepada manusia. DiberikanNYA kita akal fikiran dan nurani untuk dipergunakan menimbang-nimbang dan memilih pilihan yang tepat. Tidak cukup hanya itu, Allah SWT memberikan pula sejumlah contoh kasusnya dalam kehidupan nyata (yaitu dari kisah-kisah kaum terdahulu) untuk dijadikan pelajaran bagi kita.

Pilihan-pilihan beserta konsekuensinya masing-masing akan turut menentukan bentuk dan kualitas hidup kita. Orang yang memilih banyak bersantai-santai di waktu muda, maka konsekuensinya ia akan bodoh dan miskin di waktu tuanya. Orang yang memilih banyak bekerja keras dan berbagi dengan sesama di waktu muda, maka konsekuensinya ia akan hidup damai dan makmur di hari tuanya. Orang yang memilih memperkaya diri sewaktu menjabat sebagai pemimpin, padahal rakyatnya ada yang kelaparan, maka konsekuensinya ia akan kehilangan kehormatan dirinya dan dikutuk Allah SWT. Orang yang memilih beribadah, jujur, tekun, dan berjuang di jalan Allah, maka konsekuensinya ia akan memperoleh salah satu dari dua: hidup mulia atau mati sebagai syuhada. Jadi, apa pilihan hidup anda? Tentukan dari sekarang dan JANGAN SALAH PILIH.

Semoga Allah SWT memasukkan kita ke dalam golongan orang yang memilih ridhoNYA. Aamiin.

Tomy Saleh. Kalibata. 30 Desember 2009. 13:06WIB

Kaget Dan Cermin Keimanan

Suatu ketika seseorang terpeleset dan refleks mengucapkan istighfar, "Astaghfirullah...!". Keterpelesetan itu mengagetkannya. Reaksi sesaat pertama tatkala kaget adalah fikiran kacau, tidak fokus, dan tidak bisa mengontrol gerak koordinasi tubuh. Tubuhpun limbung dan siap jatuh berdebam. Tapi, alhamdulillah, orang itu cuma terpeleset ringan dan gerak refleks tubuh turut membantu menstabilkan keseimbangan tubuh, sehingga tidak jatuh. Bersamaan dengan gerak refleks itu mulutnya (seolah refleks juga) memekikkan istighfar tadi. Orang itu bersyukur dua kali. Pertama ia tetap ingat Allah SWT (istighfar) dan ia tidak jatuh. Alhamdulillah.

Orang tersebut di atas bukanlah makhluk yang paling beriman dan bertaqwa. Pun juga bukan makhluk yang terbebas dari kesalahan dan dosa. Dia, sama seperi kebanyakan kita, hanyalah manusia biasa. Maksud saya menulis di atas bukan berati menyatakan orang tersebut lebih baik dari yang lainnya. Saya hanya sekedar berbagi pengamatan dan tahaduts ni'mat (menyebut-nyebut kenikmatan dari Allah). Saya pernah mendengar keutamaan untuk tahaduts ni'mat ini dalam rangka memuji kemahabaikan Allah SWT dan otomatis (insya Allah) mampu meningkatkan iman dan taqwa kita kepada Allah SWT. Pemandangan tersebut adalah nikmat dari Allah SWT. Kenapa nikmat? Karena di dalamnya ada hikmah yang bisa kita petik dan dijadikan pengalaman dan kekayaan jiwa kita. Setidaknya ada dua hikmah (kenikmatan), yaitu:

1. Mengingat Allah (istighfar tadi) kapan saja dan di mana saja
2. Pelajaran agar lebih hati-hati dalam melangkah

Berdasarkan pengamatan saya selama ini, tidak semua orang mengucapkan asma Allah ketika kaget. Kalimat favorit yang keluar ketika kaget, jika boleh saya rangkum, adalah sebagai berikut:

1. Aaaaaa (teriak)
2. Eh copot
3. Eh, (kata-kata jorok)
4. Eh, (nama salah satu hewan, biasanya monyet)

Kata-kata itu merupakan refleksi dari apa yang selalu menjadi kebiasaan dalam keseharian. Alam bawah sadar fikiran merekam kebiasaan mendengar, melihat, dan mengucapkan tersebut. Hal-hal tersebut sudah begitu menyatu dengan kehidupan. Sudah menjadi sebuah kelumrahan. Sehingga menjadi sebuah "budaya" tersendiri. Ketika kaget, maka fikiran alam bawah sadar itulah yang muncul tiba-tiba. Hal itu karena kebiasaan itu sudah demikian satu kesatuan dengan diri dan fikirannya.

Berangkat dari pemikiran di atas, maka saya menyimpulkan amat penting untuk menata telinga, mata, dan mulut kita. Perlu diciptakan sebuah filter yang akan menyeleksi semua yang masuk maupun yang keluar. Agar yang masuk maupun yang keluar hanyalah yang baik-baik saja. Allah SWT memerintahkan kita untuk selalu dzikir (ingat) kepadanya dalam semua keadaan, yaitu, keadaan duduk, berdiri, dan berbaring. Intinya: dzikir dalam semua kondisi. Dengan senantiasa ingat kepada Allah SWT, maka hal ini akan menjadi kebiasaan kita. Fikiran alam bawah sadar kita akan terisi dengan ingatan kepada Allah SWT. Apa manfaatnya? Mari kita baca surat Ar Ra'du ayat 28 berikut ini:

(Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram.

Hati yang sering berdzikir kepada Allah SWT, maka akan Allah isikan ketenangan di dalamnya. Allah jadikan ketenteraman di batinnya secara terus menerus. Tidak ada kegelisahan, waswas, takut, cemas, dan putus asa. Ini akan juga terpancar dari sorot mata dan air muka yang sedap dipandang. Jika hati tenteram, maka fikiran akan jernih. Hati yang tenang akan membuatnya mampu berfikir panjang. Ketika si pemilik hati yang cemerlang ini terkejut, maka secara otomatis terucaplah sesuatu yang senantiasa mengisi batinnya: asma Allah SWT, entah itu istighfar atau tasbih atau hamdalah dan lain-lain. Intinya adalah suatu ekspresi hamba yang hatinya selalu terpaut dengan Allah SWT. Mengingat asma Allah SWT telah menyatu dengan refleksnya. Mengingat asma Allah SWT telah mengalir di dalam setiap pembuluh darahnya. Tidak ada jeda waktu hidupnya yang hampa dari mengingat Allah SWT. Mulai dari bangun tidur hingga tidur lagi senantiasa dihiasi dengan dzikrullah. Orang yang seperti ini adalah orang yang Allah sebut dalam surat Al Anfal ayat 2 sebagai berikut:

Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang apabila disebut Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, bertambahlah iman mereka (karenanya) dan kepada Tuhanlah mereka bertawakkal.

Jadi, bagi kita seorang muslim, apa yang terucap ketika kaget bisa dijadikan cerminan seberapa dekat seseorang kepada Allah SWT. Semoga kita semua termasuk dalam golongan orang-orang seperti ayat di atas.

Tomy Saleh.Kalibata.28 Des 2009. 14:04WIB

Simbol Perjuangan: Sederhana Namun Menggentarkan

Saya teringat dua kalimat dari dua orang yang berbeda sebagai berikut: yang pertama adalah kalimat dari almarhum ayahanda saya, M.A.A. Saleh, "Orang kalo ditekan terus ya mau gak mau akan ngelawan. Semut aje diinjek ngegigit.". Yang kedua adalah kalimat dari dosen agama Islam saya di Politeknik UI, Drs. Hanif Saha Gafur, MA., "Kenapa ada penjajahan? Ya karena ada yang mau dijajah.". Pertanyaannya adalah kenapa tiba-tiba saya teringat perkataan kedua orang tersebut? Karena saya teringat bambu runcing, batu, rompi bom, dan sepatu. Ada apa pula dengan benda-benda itu? Bagi saya benda-benda itu adalah simbol-simbol perlawanan atas hegemoni rezim kesombongan kaum penjajah.

Lantas apa relevansinya membicarakan penjajahan saat ini? Bukankah era penjelajahan, ekspansi wilayah, kolonialisme, imperialisme, dan penjajahan sudah berlalu? Ternyata tidak. Penjajahan masih ada, baik itu secara budaya dan pemikiran maupun secara fisik. Palestina adalah contoh negeri yang sedang terjajah secara fisik dan (dengan sedih saya menyebut) Indonesia adalah negeri yang terjajah secara budaya dan pemikiran (juga ekonomi). Perkataan Syaikh Amjad Az Zahawi (seorang ulama dari timur tengah) puluhan tahun yang lalu menegaskan hal tersebut, "Dunia Islam kini tengah terbakar. Setiap kita berkewajiban menyiramkan air untuk memadamkan api yang bisa dipadamkan tanpa menunggu orang lain...".

Penjajah berperilaku diktatoriat. Keangkuhan dan penindasan dijadikan satu paket alat utama dalam memperkukuh eksistensi hawa nafsu kekuasaan dan mengeksploitasi sumber daya alam dan sumber daya manusia di tanah jajahan. Hasilnya adalah penderitaan sosial bagi seluruh masyarakat terjajah: akses kesejahteraan dibatasi bahkan ditutup, hak bersuara dan berfikir seolah dicabut, dan penyiksaan dan pembunuhan selalu mengintai setiap saat. Yang paling berbahaya adalah: sering pula muncul iklim ketakutan dan rendah diri. Tak jarang ketakutan dan rendah diri ini pula yang masih tetap lekat, sekalipun penjajahan fisik sudah menjadi sejarah.

Akan tetapi sunnatullah berlaku. Zaman dan tempat selalu melahirkan pahlawan-pahlawannya. Mereka hanyalah segelintir orang yang yakin, percaya diri, termotivasi, dan berani dalam menentang kezaliman kaum penjajah. Spirit daya juang mereka seolah memancarkan aura yang sangat kuat dan berpengaruh. Masyarakat terjajah menjadi punya energi untuk bergerak. Meskipun dalam bentuk yang selemah-lemahnya gerakan. Dan meskipun gerakan lemah itu pada akhirnya padam jua oleh kekuatan zalim penjajah. Tapi setidaknya mereka "mati seperti singa yang letih, bukan sebagai domba yang ketakutan" (catatan: kalimat ini saya pinjam dari buku "Love, Medicine, and Miracles" kaya Dr. Bernie Siegel). Pada akhirnya mereka yang turut bergerak bersama pahlawan adalah pahlawan jua itu sendiri.

Dalam kondisi terjajah, segalanya serba terkunci. Kemiskinan adalah arus utama kehidupan kaum terjajah. Bagi pahlawan, keterbatasan ini bukanlah halangan dalam menyatakan sikap perlawanan. Air adalah teladan mereka. Terhalang di kanan, maka air bergerak ke kiri. Terhalang di kiri, maka air bergerak ke kanan. Terhalang kanan dan kiri, maka ia akan diam sambil membendung diri dan akan meruntuhkan halangan dengan hebat atau ia akan meluap keluar dari belenggu tersebut.

Jika kaum terjajah adalah terbelenggu dan miskin, maka penjajah adalah bebas dan kaya raya. Selain kesombongan, mereka juga memiliki persenjataan yang lengkap, banyak, dan canggih serta siap merobohkan setiap punggung yang tegak di hadapannya. Dilematis segera tercipta: diam saja maka penderitaan semakin menghimpit dada tapi melawan sama saja dengan mati. Bagi pahlawan dilema itu berubah menjadi: diam saja berarti hidup dalam kehinaan, tapi melawan bisa mendatangkan salah satu dari dua hal yaitu menang penuh kemuliaan atau mati sebagai orang terhormat yang namanya mengharumkan bangsanya. Dengan demikian sudah tidak ada lagi hambatan. Perjuangan terus digelorakan. Harta dan nyawa dikorbankan. Demi kebebasan dan kemuliaan. Secara kasat mata jelas ada ketimpangan pertarungan antara pahlawan dari masyarakat terjajah dengan penjajahnya. Tapi secara mentalitas-spiritual, bagai Dawud muda bersemangat yang berketapel dengan Jalut dewasa gagah yang berpedang tangguh. Jika sudah seperti itu jangan lagi bicara rasionalitas. Akan kita masukkan ke dalam bab apa di buku sejarah: orang-orang yang pergi berperang tapi untuk mencari kematian terhormat atau kebebasan hidup mulia? Pepatah Arab mengatakan "'isy kariman au mut syahidan", hidup mulia atau mati syahid.

Belanda menjajah Indonesia tiga setengah abad lamanya. Secara tampak dan matematis, infanteri, artileri, dan kavaleri mereka jauh lebih hebat dari Indonesia. Kekuatan tempur mereka terbukti efektif dan ampuh dalam melanggengkan kediktatoran selama tiga setengah abad. Kondisi serba sulit dan terdesak membuat pejuang-pejuang bangsa Indonesia putar akal bagaimana cara melawan penjajah yang tampak digdaya itu. Perlawanan harus terus digelorakan sebagai tanda bahwa bangsa Indonesia tidak mati, tidak mudah begitu saja ditumpas, dan lebih mulia lagi adalah sebagai sebuah syarat kemenangan dan kemerdekaan. Pada akhirnya memang berlaku taqdir Allah SWT: Indonesia merdeka. Memang sungguh luar biasa effort para pejuang kita. Bagaimana mereka bisa berjuang mengusir penjajah yg kuat dan canggih itu? Salah satunya adalah dengan bambu runcing. Sebilah bambu yang ujungnya diraut hingga tajam. Bambu runcing ini menyerupai tombak, hanya saja tanpa mata tombak yang terbuat dari besi. Senjata tajam terbatas. Senjata api hanya segelintir orang yang memilikinya. Tapi semangat juang sudah sedemikian membara. Ancaman sakitnya tertembus peluru sudah tidak ampuh lagi untuk menyurutkan langkah. Sebilah bambu pun jadi alat perjuangan.

Bambu versus senapan. Akal sehat dan matematis untuk sementara dikesampingkan. Setiap orang merasa harus berbuat sesuatu bagi bangsanya yang sedang terjajah. Setiap orang ingin terlibat dalam perjuangan. Setiap orang ingin menjadi pahlawan, walaupun kemudian terlupakan. Walaupun kondisinya serba terbatas. Maka muncullah: bambu runcing. Senjata itu segera saja menjadi populer bahkan melegenda. Bambu runcing begitu lekat dan identik dengan perjuangan bangsa Indonesia dalam mengusir penjajah Belanda dan meraih kemerdekaannya. Ia telah menjadi bagian tak terpisahkan dalam epik sejarah bangsa Indonesia. Puluhan tahun setelah merdeka, bambu runcing masih tetap dikenang. Minimal jadi hiasan gapura atau lukisan di dinding atau pelengkap pertunjukan drama bertema perjuangan bangsa.

Bambu runcing menjadi simbol perjuangan melawan kezaliman. Simbol perlawanan orang-orang lemah yang tertindas. Simbol pernyataan sikap bahwa "kami tidak sudi jadi budak penjajah". Ini sungguh luar biasa. Melawan kekuatan besar yang terencana dan didukung sumber daya dahsyat dengan sesuatu yang lemah dan tidak berimbang. Besi dilawan dengan kayu. Senapan dilawan dengan bambu runcing. Bambu runcing dianggap mewakili jiwa dan perasaan bangsa Indonesia. Selain ia banyak tumbuh di tanah tropis yang terberkati ini, ia juga merupakan tumpuan dalam keterbatasan menghadapi salakan bedil kompeni. Di ujung bambu runcing itu ada mimpi, cita-cita, kebencian, semangat, dan doa sekaligus. Bambu itu menjadi bambu yang berat. Ia simbol yang mempersatukan orang-orang yang senasib sepenanggungan. Bambu runcing mampu menggetarkan orang-orang yang menggertak dengan bedil mereka. Tentu saja bambu runcing hanyalah salah satu saja dari alat perjuangan. Dan tentu saja kita harus melakukan sunnatullah lain dalam berjuang seperti perjuangan diplomatik dan perjuangan bersenjata dengan senjata moderen. Tapi bambu runcing menempati urutan teratas dalam kenangan sejarah peperangan fisik melawan penjajah. Bambu runcing adalah simbol perjuangan.

Seringkali yang menjadi simbol perjuangan orang-orang lemah yang sedang terjajah adalah sesuatu yang berangkat dari kondisi mereka sendiri. Jika di Indonesia dahulu ada bambu runcing maka nun di negeri seberang yang jauh Palestina ada batu. Palestina adalah negeri yang oleh Al Qur-an disebut sebagai "...barakna haulahum...", diberkati (lihat QS Al Isra ayat 1). Secara fisik, kita akan mendapati ayat ini seperti kontradiktif. Faktanya, negeri Palestina tidak pernah sepi dari konflik berdarah dengan penjajahnya: israel. Konflik ini sudah berlangsung berpuluh-puluh tahun. Rumah-rumah digusur atau dibom, puing-puing gedung terserak di mana-mana, bau mesiu bercampur bau darah memenuhi udaranya, desingan peluru dan letupan bom mengisi telinga, perekonomian hancur, dan fasilitas sosial porak poranda. Di mana letak keberkahannya? Apakah ayat tersebut sudah tidak relevan lagi? Na'udzubillahi min dzalik. Allah SWT adalah Maha Benar. Dalam kondisi seperti itu, justru keberkahan melimpahi tanah Palestina. Ia hadir dalam bentuk ketabahan, kesabaran, istiqomah, semangat juang, semangat belajar, semangat kebersamaan, banyaknya jumlah syuhada, serta banyaknya generasi yang siap menjadi bagian dari kafilah syuhada. Itulah Palestina, dari sisi tinjauan ayat pertama surat Al Isra di dalam Al Qur-an.

Setelah berperang hebat tahun 1948 dan berlanjut tahun 1967, bangsa Arab berhasil dipecundangi oleh israel. Palestina jatuh sepenuhnya dalam okupasi israel. israel mendirikan sebuah negeri militer. Palestina dijajah. Kekalahan telak dalam dua pertempuran besar yang menentukan itu (1948 dan 1967) membuat mental bangsa Arab menjadi lemah. Semangat juang mulai melemah. Perjuangan tetap ada tapi dilakukan secara sporadis dan tidak terarah dengan baik. Ini masih lebih baik daripada sekedar diam saja. Dua puluh tahun setelah kekalahan kedua (dalam perang enam hari tahun 1967) tiba-tiba saja dunia Arab dan internasional dikejutkan oleh sebuah gerakan kecil dari sekelompok pejuang Palestina. Mereka adalah anak-anak muda yang bosan dengan generasi tua (PLO) dan benci dengan penjajah israel. Mereka adalah anak-anak muda yang lahir dalam kondisi Palestina sudah terjajah. Generasi yang lahir setelah era kekalahan kedua itu. Perjuangan sporadis "kaum tua" terasa tidak memuaskan mereka dan sama sekali kurang efektif. Sementara masyarakat Palestina terus hidup dalam iklim penjajahan yang mencekik leher. Ditambah pula dengan kondisi psikis yang mulai melemah. Maka harus ada gelora baru dalam perjuangan. Harus ada deklarasi perjuangan baru yang lebih segar dan terarah. Perjuangan yang digerakkan langsung dari dalam negeri Palestina sendiri, dengan anak-anak muda Palestina yang cerdas dan bersemangat, dan dengan sumber daya yang ada. Jika PLO memiliki artileri yang walaupun moderen, tapi tidak bisa menggetarkan israel, maka anak-anak muda (yang berhimpun dalam wadah HAMAS) ini tampil dengan senjata yang mengejutkan: batu! Ya: batu.

Di negeri yang terjajah dengan sumber daya terbatas, sementara perjuangan menegakkan harga diri dan mengusir penjajahan harus terus digelorakan, maka tiada kata lain harus berjuang sekarang juga, tepat dari titik di mana tubuh berada, dan dengan sumber daya yang ada disekitarnya. Dalam kondisi seperti itu, yang tersedia cukup banyak hanyalah bebatuan, baik itu batu alam maupun bekas-bekas puing rumah mereka yang dihancurkan israel. Anak-anak muda idealis itu tampil dengan batu mereka melawan penjajah israel yang bersenjata lengkap, mulai dari senapan, pistol, tank, roket, peluru karet dan tajam, gas air mata dan bahkan helikopter pemburu, serta tentara sadis yang terlatih. Tentara israel yang terbiasa menindas rakyat Palestina yang biasanya minim perlawanan, tiba-tiba terkejut dengan perlawanan ini. Mereka tidak menyangka bahwa rakyat Palestina akan melawan.

Tank lawan batu. Ini betul-betul “Dawud versus Jalut” versi abad dua puluh. Di setiap batu yang terlontar itu ada harga diri dan deklarasi rasa muak. Sementara diujung peluru israel hanya ada topeng kegagahan. Di balik topeng itu tersembunyi wajah busuk penakut. Batu-batu itu telah menelanjangi topeng kegagahan tersebut. Benar-benar batu yang diberkahi. Tentara-tentara pecundang itu sama sekali tidak siap menghadapi wajah-wajah yang pipinya merona merah dan matanya memperlihatkan sorot kebeliaan. Mereka tidak menghadapi orang-orang yang gagah bersenjata lengkap. Yang ada di depan mereka adalah anak-anak muda yang marah dan memegang batu dan ketapel. Allah SWT berfirman dalam surat Al Anfal “…bukan kamu yang melontar ketika kamu melontar, melainkan Allah yang melontar…”. Seolah-olah ayat tersebut menemukan konteks yang tepat dengan kondisi di atas. Batu-batu yang terlontar itu bukan dilontarkan oleh anak-anak muda, tapi dilontarkan oleh Tuhannya anak-anak muda itu. Inilah batu yang berbobot.

Batu telah menjadi simbol perjuangan bangsa Palestina. Lontaran batu-batu harapan itu telah turut membangkitkan harga diri dan mentalitas bangsa Palestina. Melalui batu-batu itu mereka bersuara lantang, “Wahai warga dunia, kami masih ada ! Kami masih melawan ! Kami akan menang !”.

Sesudah batu menggetarkan israel, maka bertahun-tahun kemudian dunia kembali diguncang oleh sesuatu yang dahsyat dan heroik dalam konteks perjuangan sebuah negeri terjajah. Tidak cukup dengan batu, kini muncul rompi bom. Seorang pejuang mengenakan rompi berisi bahan peledak berat, lalu berjalan masuk ke daerah target dan … bum …! Peledak itu meledak dan menhancurkan yang ada disekitarnya termasuk yang mengenakan rompi. Ledakan itu sungguh tak terduga. Dalam kondisi biasa-biasa saja dan masing-masing sedang sibuk dengan urusannya, tiba-tiba muncul ledakkan yang menggetarkan tanah dan hati. Yang tewas mungkin hanya belasan atau puluhan orang saja, tapi yang ketakutan adalah seluruh negeri militer penjajah tersebut. Inilah ledakan yang sesungguhnya.

Bom manusia dan bom bunuh diri adalah istilah media massa untuk menyebut peristiwa tersebut dalam rangka membentuk opini yang menyesatkan. Bagi para pejuang, itu adalah bom syahid. Bom ini bukanlah sebuah bentuk depresi atau ketertekanan mentalitas karena perjuangan belum menunjukkan hasil yang gemilang. Bom syahid ini adalah sebuah bentuk variasi dalam perjuangan bangsa yang sedang terjajah di mana tidak ada persenjataan lain yang efektif serta tertutupnya akses luar untuk memperoleh bantuan militer.

Rompi bom adalah sebuah senjata yang sederhana. Dia hanya berupa bahan peledak yang dirakit sedemikian rupa yang dililitkan dirompi atau tubuh. Kenapa harus dikenakan manusia? Memangnya siapa lagi yang harus melakukan itu kalau bukan manusia? Dengan dikenakan oleh manusia justru tidak akan menimbulkan kecurigaan dan meminimalkan kewaspadaan musuh. Ini adalah taktik dan strategi biasa dalam peperangan. Rompi bom itu menjadi simbol perjuangan yang sederhana dalam melawan penjajahan. Efek ketakutan yang ditimbulkan oleh bom itu jauh lebih dahsyat ketimbang daya ledaknya sendiri.

Jika lontaran batu telah membuat tentara israel kocar-kacir, maka rompi bom telah menggetarkan seantero negeri militer penjajah israel tersebut. Ketakutan massal tercipta. Kondisi paranoid menjadi hal yang umum. Kerusakan yang ditimbulkan oleh rompi bom adalah kerusakan psikis. Rompi bom telah berhasil membawa era baru perjuangan bersenjata bangsa Palestina. Ini semakin menunjukkan eksistensi bangsa Palestina bahwa mereka tidak bisa lagi dipandang remeh dan dijajah seenaknya. Semua itu berangkat dari hal yang sederhana saja: batu dan rompi (bom).

Kemudian muncul lagi simbol perjuangan baru yang juga sederhana: sepatu. Apa lagi ini? Kali ini situasinya ada di negeri Iraq yang dijajah oleh amerika serikat. Negeri yang dulu pernah menjadi pusat peradaban dan pemerintahan kekhalifahan Islam dunia, kini menjadi negeri yang porak poranda. Lepas dari rezim diktator Shoddam Hussain yang kejam, Iraq masuk ke era kolonialisme baru di bawah penjajahan amerika. Rakyat Iraq belum tersenyum dengan penuh.

Iraq belum berbahagia pada era Shoddam, kini harus merasakan penjajahan amerika yang sering menistakan keyakinan bangsa Iraq: Islam. Bangsa Iraq yang miskin harus menarik urat melawan penjajahan. Penjajah yang dihadapi ini adalah penjajah yang didukung oleh dana yang besar dan peralatan berteknologi canggih. Sementara bangsa Iraq, sebagaimana kondisi bangsa terjajah lainnya, kurang didukung oleh persenjataan yang canggih. Namun hal itu tidak memadamkan api semangat juang. Mereka akan melawan dengan semua yang mereka miliki. Termasuk sepatu.

Adalah seorang wartawan Iraq bernama Muntazir Az Zaidi yang pertama kali, secara mengejutkan, melemparkan sepatunya ke arah presiden negeri penjajah, george w. bush dalam sebuah cara jumpa pers (15 Desember 2008). Dunia dibuat terkejut. Simbol perjuangan kembali hadir dalam kancah perjuangan bangsa-bangsa terjajah. Simbol sepatu adalah simbol penghinaan. Maknanya adalah perbuatan dan ucapan seorang george w. bush adalah perbuatan dan ucapan seorang yang hina dina. Bukan perbuatan orang yang beradab, melainkan perbuatan manusia barbar. Wajar saja jika ada warga Iraq yang mencoba bersuara melaan hegemoni kesombongan tersebut. Harus ada yang menghinakan dan merendahkan amerika. Maka terlontarlah sepatu tersebut. Sekejap, seluruh dunia mendukung perjuangan ini. Sepatu menjadi simbol penghinaan dan mengolok-olok negeri panjajah amerika.

Allah SWT berfirman dalam surat Al Baqarah ayat 249, “…Berapa banyak terjadi golongan yang sedikit dapat mengalahkan golongan yang banyak dengan izin Allah. dan Allah beserta orang-orang yang sabar.”. Di ayat ini Allah SWT mengajarkan tentang kesabaran dan kebesaran hati dalam perjuangan. Kuantitas bukanlah hal yang utama. Kualitas harus selalu dijadikan nomor satu. Kecil, tapi sabar, tawakkal, konsisten, disiplin, dan berkualitas tentu akan mampu mengalahkan kelompok yang lebih besar. Bambu runcing, batu, rompi, dan sepatu adalah jawaban dari Allah SWT atas sulitnya menandingi kekuatan musuh secara kuantitas dan matematis. Tidak ada yang mustahil di sisi Allah SWT. Wallahu a’lam bis shawwab.

Tomy Saleh. Kalibata. 3 Juli 2009. 14:44WIB

Mengapresiasi keikhlasan

Suatu ketika seorang muballigh diundang menyampaikan ceramah di suatu tempat. Setelah ceramah beliau diantar pulang oleh panitia. Sesampainya di rumah sang panitia menyerahkan amplop berisi uang insentif untuk beliau dan beliaupun menerimanya dengan baik. Sang panitia kemudian berkata, "Pak Ustad, mohon pengertiannya sedikit 'lah. Kami 'kan sudah mengantar Pak Ustad pulang, kalo bisa ada bahagian dari amplop tersebut untuk pengganti biaya transportasinya.". Sang muballigh sambil tersenyum kemudian membuka amplopnya dan mengambil uang sepantasnya sebagai pengganti transport dan menyerahkan kepada panitia tersebut. Ketika uang sudah berada di tangan, si panitia itu berkata lagi, "Pak Ustad ikhlas enggak nih? Kalo Pak Ustad enggak ikhlas, saya berat menerimanya". Sang muballigh menjawab, "Kenapa ditanya begitu? Ikhlas itu urusan hati saya dengan Allah. Anda terima saja uang tersebut.". Singkat cerita, akhirnya uang itu diambil juga oleh si panitia. Kisah ini terinspirasi dari kisah sebenarnya.

Saya setuju dengan perkataan Pak Ustadz di atas. Ikhlas adalah amalan hati. Yang bisa mengetahui secara persis hanya Allah SWT. Kita sebagai manusia tidak pernah benar-benar bisa menerka hati orang lain, apakah ikhlas atau tidak. Walaupun sudah sering kita dengar atau baca penjelasan mengenai ciri-ciri yang kasat mata dari hati yang ikhlas atau tidak ikhlas. Kita juga tidak bisa menilai bahwa orang yang beramal dengan diliput oleh media massa sebagai orang yang tidak ikhlas. Sebagaimana juga kita tidak bisa menilai orang yang beramal tanpa liputan sebagai orang yang ikhlas. Bagi saya ini benar-benar urusan privasi seseorang dengan Allah. Kita hanya bisa mendoakan semoga hati yang bersangkutan ikhlas.

Jika memakai klausul di atas, maka tidak patut rasanya kita bertanya mengenai keikhlasan seseorang. Kita hanya bisa menghimbau agar setiap kita mengikhlaskan hatinya lalu mendoakannya. Seorang teman saya pernah berkata, "Kalo kita ngasih ke orang trus dia nanya ke kita 'ikhlas gak ente?' jawab aja 'ane enggak ikhlas' trus ambil lagi pemberian kita. Udah tinggal terima aja, pake nanya-nanya segala keikhlasan hati orang...". Saya tersenyum mendengar kalimat teman saya itu. Mempertanyakan keikhlasan seseorang, menurut saya, adalah salah satu tanda tidak menghargai orang lain. Ikhlas atau tidak biarkanlah itu menjadi urusannya dengan Allah SWT.

Ikhlas itu sendiri, sebagaimana kita ketahui bersama, adalah sebuah kelapangan hati dalam beramal dengan tidak mengharap apapun dari sisi manusia (sekalipun hanya sekedar ucapan terima kasih) dan hanya berharap balasan ridho Allah SWT. Orang-orang yang hatinya ikhlas akan mengalami ketenangan dalam hidupnya. Dunia dan seisinya (harta benda, keindahan, keturunan, konflik, dan lain-lain) tidak menyibukkan hatinya. Dia sudah memiliki yang lebih dari itu semua: Allah SWT. Harapannya kepada Allah SWT sangat tinggi dan mampu merontokkan karat-karat cinta dunia dari hatinya. Dia beraktivitas hanya berharap ridho Allah SWT. Dia menolong sesama hanya mengharap ridho Allah SWT. Seluruh kegiatannya difokuskan pada satu hal: menggapa ridho dan cinta ilahi. Itulah yang paling penting bagi hidupnya. Banjir, tanah longsor, kekeringan, perang, gunung meletus, krisis ekonomi, huru hara politik, dan semua musibah lainnya mampu dilalui dengan santai dan tetap berpikir jernih. Semua masalah dunia, bagi orang ikhlas, kecil saja tampaknya. Yang besar, bahkan Maha Besar hanyalah Allah SWT. Jika kebanyakan orang pada akhirnya bergantung pada kemampuan diri sendiri atau orang lain, maka orang ikhlas menggantungkannya pada yang Maha Kuat, Allah SWT. DIA lah sebaik-baik dan sekokoh-kokoh tempat bergantung. Silahkan baca kembali surat Al Ikhlas.

Ikhlas memang perkara yang mudah secara teori, tapi sangat menantang untuk dipraktekkan setiap saat sampai ajal menjemput. Godaan ujub (sombong/berbangga-banggaan), popularitas dan materi selalu menyertai upaya mengikhlaskan hati. Maka itu dibuatlah rambu-rambu yang bisa membantu menjaga keikhlasan hati seperti: tidak menyebut-nyebut amal, beramal secara diam-diam/sembunyi-sembunyi, melupakan amal kebaikan kita sendiri, dan lain-lain. Ada pula ulama (saya lupa namanya) yang mengatakan, "jika engkau melihat dirimu ikhlas, maka engkau sudah tidak ikhlas.", sebuah kriteria yang amat berat. Tapi ini bukan perkara yang mustahil.

Saya hanya bisa menyerukan:
1. Mari kita terus menerus melatih keikhlasan hati kita.
2. Apresiasilah kebaikan orang lain sewajarnya dan tidak perlu mempertanyakan keikhlasannya.
3. Marilah kita perkaya wawasan kita mengenai keikhlasan (banyak baca, ngaji, dsb.)
4. Marilah kita terus berada dalam aktivitas amal saleh dan bersama orang-orang yang giat beramal saleh.

Ada kalimat bagus "Lupakanlah amal baikmu dan ingat terus dosamu". Amal baik kita harus kita lupakan agar kita terus menerus merasa menjadi orang yang belum beramal kebaikan dan termotivasi untuk terus menerus mengerjakannya. Dosa dan kejahatan yang pernah kita lakukan harus terus kita ingat-ingat agar muncul perasaan malu akan banyaknya dosa yang kita tabung sehingga kita akan mengurangi (bahkan menghentikan) perbuatan dosa.

Akhirnya saya berharap dan berdoa semoga kita termasuk dalam golongan orang-orang yang hatinya ikhlas. Wallahu a'lam bis shawab.

Tomy Saleh. Kalibata. 11 Februari 2009. 18:33WIB

Angkutan umum ibukota

Kalau tidak salah, sekitar tahun 2004 atau 2005 ada bus kota "baru" di jalanan ibu kota. Bus itu berbeda bentuk dengan bus kota yang selama ini menghiasi pemandangan warga kota. Bus itu sebenarnya cuma bus bekas yang diimpor dari Jepang. Walaupun bekas, tapi kondisi interior dan eksteriornya lumayan bagus. Interior bus itu lega. Kursinya ada dua lajur. Tiap kursi untuk satu orang. Agak ke belakang ada kursi untuk dua orang. dan paling belakang ada kursi untuk lima atau enam orang. Sehingga ruangannya terasa lega. Jarak antar kursi pun cukup lega. Bentuk kursi sepintas cukup mungil, tapi ternyata cukup nyaman untuk menampung body sebesar saya (175cm, 108kg). Pegangan tangan di langit-langit bus juga bagus. Selain batang besi sepanjang langit-langit bus, juga ada pegangan yang menggantung di besi tersebut. Pegangan itu berbentuk bulat terbuat dari bahan plastik. Intinya bus kota bekas tersebut merupakan bus idaman. Bahkan beberapa kali bus tersebut dijadikan "bintang" iklan beberapa produk di televisi.

Tapi kini kondisi bus tersebut telah di-"vermak". Entah karena bus itu memang barang second hand atau memang pengelola bus yang kurang terbiasa dengan barang bagus dan manusiawi. Eksterior bus terlihat kotor dan tidak terawat. Kursi-kursinya sudah dimodifikasi sedemikian rupa sehingga jumlahnya bertambah. Kursi yang tadinya hanya dua lajur dan masing-masing untuk satu orang kini ditempeli kursi lain di sebelahnya sehingga komposisi kursinya jadi dua-satu. Lorongnya jadi sempit. Kemudian karena kursinya di tambah, maka jarak antara kursi menjadi kecil. Orang-orang yang memiliki tinggi 170cm ke atas tidak bisa duduk dengan nyaman, karena lututnya harus ditekuk sedemikian rupa agar muat. Batang besi di langit-langit bus sudah lepas dan diikat dengan tali. Pegangan yang menggantung sudah tidak fixed lagi posisinya (semula fixed terikat di batang besi). Malah di pintu masuk tengah saya mendapati sudah ada tiang tambahan yang berdiri persis di tengah-tengah arah masuk. Gaya supir mengendarai bus kota berubah dari kalem menjadi ugal-ugalan.

Selain bus eks Jepang di atas, ada lagi yang lainnya. Bahkan lebih dulu ada. Bus kota yang sudah bertahun-tahun akrab dengan warga kota. Bus tersebut berkapasitas 50-an kursi, tapi pada jam-jam sibuk di hari kerja dipaksakan mengangkut lebih dari 100 penumpang. Bus sudah terisi penuh dan sebahagian penumpang ada yang bergelantungan di kedua pintu masuknya, namun kondektur bus kota masih mennganggap bus itu "kosong" dan masih cukup untuk mengangkut calon penumpang lainnya. Beberapa perusahaan menjalankan bus kota tersebut, seperti PPD (Perusahaan Pengangkutan Djakarta), Mayasari Bakti, dan Himpurna. Kondisi bus itu cukup memprihatinkan. Asap buang yang ditumbulkannya bisa membuat kabut hitam. Interior bus sangat kumuh. Kursinya kotor, penuh coretan, dan sudah berlubang di sana-sini. Ditambah lagi jarak antar kursi sangat rapat. Kaca jendelanya buram dan bahkan ada yang sudah retak atau sudah tidak ada kaca lagi. Langit-langitnya bobrok dan jika hujan sering bocor. Bila malam tiba, penerangan dalam bus remang-remang. Pegangan tangan berupa besi di sepanjang langit-langitnya sudah karatan. Sebagai pelengkapnya adalah mesin yang sering rusak sehingga bus terpaksa berhenti di tengah perjalanan dan menurunkan semua penumpangnya dengan memberikan dua opsi: mengembalikan ongkos (yang kadang-kadang tidak full) atau menunggu untuk naik bus berikutnya tanpa bayar (di-oper).

Lain bus kota lain pula metromini dan kopaja. Kedua bus berukuran tanggung itu sudah lama akrab dengan warga ibu kota. Entah saya yang semakin tinggi atau metromini/kopaja yang semakin mengecil, saya nyaris selalu menundukkan kepala saya bila saya sudah berdiri di dalamnya. Kepala saya terhalang oleh langit-langitnya. Pegangan batang besi di langit-langit terbuat dari besi karat. Jarak antar kursi sangat rapat dan tidak cocok untuk orang dengan tinggi 165cm ke atas, baik kurus maupun gemuk. Dan kedua bus ini sudah sangat legendaris dalam urusan ugal-ugalan. Tak jarang mereka mengalami kecelakaan (dan, hebatnya, supir nyaris selalu selamat lalu melarikan diri). Sama seperti bus kota, metromini dan kopaja juga suka mengoper penumpang, entah itu karena kerusakan mesin (yang masih bisa masuk akal dan dimaklumi) maupun tanpa sebab yang jelas misalnya karena ingin putar haluan atau ingin pulang (untuk yang ini sangat bikin dongkol hati).

Angkutan umum di ibukota juga dilengkapi dengan kendaraan minibus. Ada mikrolet, angkot, maupun omprengan. Mikrolet (meminjam istilah di komik Benny-Mice) adalah kendaraan umum yang dimodifikasi dari mobil Toyota Kijang. Warnanya biru telur asin. Walaupun kini sudah ada pula dari jenis mobil Suzuki Carry dan GrandMax. Tapi masih amat sangat jarang. Mikrolet umumnya adalah Toyota Kijang. Mikrolet relatif lebih aman dari ugal-ugalan. Ciri khas lain dari mikrolet adalah jumlah penumpang harus dalam komposisi empat - enam; empat penumpang di lajur kiri dan enam penumpang di lajur kanan. Plus 2 orang duduk di kursi kecil (semacam dingklik) yang diletakkan dekat pintu masuk. Plus 2 orang di depan, di samping supir. Jumlah itu sudah "standard' untuk sebuah mikrolet. Di tempat mangkal (misalnya di terminal atau di pasar), mikrolet berhenti menunggu jumlah penumpang yang menaikinya mencapai kuota "standard" tersebut. Sebelum mencapai jumlah tersebut mikrolet tidak akan bergerak. Terkadang jumlah itu begitu "saklek" diterapkan, tanpa memandang kondisi ukuran tubuh (baca: untuk yang bertubuh subur).

Angkot adalah singkatan dari angkutan perkotaan. Ciri khasnya adalah warnanya merah atau biru tua. Mobil yang menjadi "dasar" angkot adalah Suzuki Carry. Mobil itu berukuran lebih kecil dari Toyota Kijang, tapi supir angkot tetap ngotot bahwa kapasitas penumpangnya sama persis dengan kapasitas "standard" mikrolet. Ini sungguh bikin mangkel hati. Terutama untuk yang kebagian tempat duduk di depan di samping supir. Kapasitasnya sebenarnya hanya pas-pasan untuk satu orang, tapi dipaksakan untuk dua orang. Akibatnya sering supir mengalami kerepotan dalam mengoper kopling karena tongkat versneling terjepit atau terdesak paha penumpang. Apalagi jika si penumpang bertubuh besar. Angkot dan mikrolet sama saja. Yang beda hanya ukuran dan warna.

Omprengan adalah angkutan umum "tak resmi". Angkutan umum di Indonesia berpelat polisi warna kuning. Omprengan berpelat hitam; karena memang omprengan adalah mobil pribadi yang dijadikan angkutan umum. Omprengan ini beroperasi hingga larut malam. Di beberapa tempat sering bersitegang dengan mikrolet dan angkot karena dianggap mengambil jatah "rezeki" mereka. Omprengan melalui jalur atau trayek mikrolet dan angkot. Karena tak resmi, maka tak jarang pula omprengan digrebek oleh satgas DLLAJ atau Polantas.

Saya rasanya sudah malas menulis tentang angkutan umum lainnya seperti kereta, ojek, taksi, dan lain-lain. Menurut saya semuanya mengalami masalah yang sama saja. Jadi saya menghindari men-curhat-kan berulang kali hal yang sama.


Angkutan di ibukota masih jauh dari harapan kenyamanan dan keamanan. Masalah-masalah yang melingkupi angkutan ini, barangkali bisa dijadikan buku tebal untuk membahas dan menguraikannya. Setiap orang yang berangkat pagi hari untuk mulai beraktivitas baik itu bekerja, sekolah, maupun dagang akan langsung dihadapkan pada kondisi yang tidak nyaman dan tidak aman. Ini terjadi setiap hari. Wajar saja jika wajah mayoritas penduduk ibukota tegang dan (seolah) tidak ramah. Makin berbentuk menyeramkan jika di kantor atau di sekolah atau di pasar menemui masalah lagi. Sementara para pejabatnya duduk enak dan santai di dalam mobil dinas ber-AC yang setiap periode diganti dengan mobil terbaru. Masalah ini, sepanjang yang saya alami (kira-kira lebih dari dua puluh tahun), tidak pernah dituntaskan oleh sang pengambil kebijakan. Iri rasanya jika mendengar cerita teman-teman mengenai pengalaman mereka menaiki angkutan umum di Singapura, Malaysia, Eropa, dan Amerika.

Angkutan umum kita belum manusiawi. Itu merupakan cerminan dari budaya umum keseharian kita yang tidak terbiasa untuk memanusiakan manusia. Kita meremehkan kemanusiaan. Menurut saya itu tidak lain akibat dari riwayat panjang penindasan yang dilakukan para penguasa terhadap rakyatnya. Sementara rakyat juga kekurangan referensi dalam berperilaku. Yang disaksikan dan dialami setiap hari adalah penindasan dengan berbagai bentuknya. Maka wajar jika ke-tidak-manusiawi-an menjadi teladan keseharian. Hal itu merasuk ke semua sendi kehidupan kita. Contohnya seperti angkutan umum di atas. Ia telah menjadi budaya kita. Saya khawatir sekali dengan hal ini. Semoga Allah SWT membuka mata hati pemimpin dan rakyat, sehingga masing-masing pihak akan berpikir jernih. Semoga Allah SWT menurunkan rahmat dan berkahNya untuk Jakarta. Untuk Indonesia. Aamiin.

Tomy Saleh. Kalibata. 29 Januari 2009. 16:25WIB