Mengapresiasi keikhlasan

Suatu ketika seorang muballigh diundang menyampaikan ceramah di suatu tempat. Setelah ceramah beliau diantar pulang oleh panitia. Sesampainya di rumah sang panitia menyerahkan amplop berisi uang insentif untuk beliau dan beliaupun menerimanya dengan baik. Sang panitia kemudian berkata, "Pak Ustad, mohon pengertiannya sedikit 'lah. Kami 'kan sudah mengantar Pak Ustad pulang, kalo bisa ada bahagian dari amplop tersebut untuk pengganti biaya transportasinya.". Sang muballigh sambil tersenyum kemudian membuka amplopnya dan mengambil uang sepantasnya sebagai pengganti transport dan menyerahkan kepada panitia tersebut. Ketika uang sudah berada di tangan, si panitia itu berkata lagi, "Pak Ustad ikhlas enggak nih? Kalo Pak Ustad enggak ikhlas, saya berat menerimanya". Sang muballigh menjawab, "Kenapa ditanya begitu? Ikhlas itu urusan hati saya dengan Allah. Anda terima saja uang tersebut.". Singkat cerita, akhirnya uang itu diambil juga oleh si panitia. Kisah ini terinspirasi dari kisah sebenarnya.

Saya setuju dengan perkataan Pak Ustadz di atas. Ikhlas adalah amalan hati. Yang bisa mengetahui secara persis hanya Allah SWT. Kita sebagai manusia tidak pernah benar-benar bisa menerka hati orang lain, apakah ikhlas atau tidak. Walaupun sudah sering kita dengar atau baca penjelasan mengenai ciri-ciri yang kasat mata dari hati yang ikhlas atau tidak ikhlas. Kita juga tidak bisa menilai bahwa orang yang beramal dengan diliput oleh media massa sebagai orang yang tidak ikhlas. Sebagaimana juga kita tidak bisa menilai orang yang beramal tanpa liputan sebagai orang yang ikhlas. Bagi saya ini benar-benar urusan privasi seseorang dengan Allah. Kita hanya bisa mendoakan semoga hati yang bersangkutan ikhlas.

Jika memakai klausul di atas, maka tidak patut rasanya kita bertanya mengenai keikhlasan seseorang. Kita hanya bisa menghimbau agar setiap kita mengikhlaskan hatinya lalu mendoakannya. Seorang teman saya pernah berkata, "Kalo kita ngasih ke orang trus dia nanya ke kita 'ikhlas gak ente?' jawab aja 'ane enggak ikhlas' trus ambil lagi pemberian kita. Udah tinggal terima aja, pake nanya-nanya segala keikhlasan hati orang...". Saya tersenyum mendengar kalimat teman saya itu. Mempertanyakan keikhlasan seseorang, menurut saya, adalah salah satu tanda tidak menghargai orang lain. Ikhlas atau tidak biarkanlah itu menjadi urusannya dengan Allah SWT.

Ikhlas itu sendiri, sebagaimana kita ketahui bersama, adalah sebuah kelapangan hati dalam beramal dengan tidak mengharap apapun dari sisi manusia (sekalipun hanya sekedar ucapan terima kasih) dan hanya berharap balasan ridho Allah SWT. Orang-orang yang hatinya ikhlas akan mengalami ketenangan dalam hidupnya. Dunia dan seisinya (harta benda, keindahan, keturunan, konflik, dan lain-lain) tidak menyibukkan hatinya. Dia sudah memiliki yang lebih dari itu semua: Allah SWT. Harapannya kepada Allah SWT sangat tinggi dan mampu merontokkan karat-karat cinta dunia dari hatinya. Dia beraktivitas hanya berharap ridho Allah SWT. Dia menolong sesama hanya mengharap ridho Allah SWT. Seluruh kegiatannya difokuskan pada satu hal: menggapa ridho dan cinta ilahi. Itulah yang paling penting bagi hidupnya. Banjir, tanah longsor, kekeringan, perang, gunung meletus, krisis ekonomi, huru hara politik, dan semua musibah lainnya mampu dilalui dengan santai dan tetap berpikir jernih. Semua masalah dunia, bagi orang ikhlas, kecil saja tampaknya. Yang besar, bahkan Maha Besar hanyalah Allah SWT. Jika kebanyakan orang pada akhirnya bergantung pada kemampuan diri sendiri atau orang lain, maka orang ikhlas menggantungkannya pada yang Maha Kuat, Allah SWT. DIA lah sebaik-baik dan sekokoh-kokoh tempat bergantung. Silahkan baca kembali surat Al Ikhlas.

Ikhlas memang perkara yang mudah secara teori, tapi sangat menantang untuk dipraktekkan setiap saat sampai ajal menjemput. Godaan ujub (sombong/berbangga-banggaan), popularitas dan materi selalu menyertai upaya mengikhlaskan hati. Maka itu dibuatlah rambu-rambu yang bisa membantu menjaga keikhlasan hati seperti: tidak menyebut-nyebut amal, beramal secara diam-diam/sembunyi-sembunyi, melupakan amal kebaikan kita sendiri, dan lain-lain. Ada pula ulama (saya lupa namanya) yang mengatakan, "jika engkau melihat dirimu ikhlas, maka engkau sudah tidak ikhlas.", sebuah kriteria yang amat berat. Tapi ini bukan perkara yang mustahil.

Saya hanya bisa menyerukan:
1. Mari kita terus menerus melatih keikhlasan hati kita.
2. Apresiasilah kebaikan orang lain sewajarnya dan tidak perlu mempertanyakan keikhlasannya.
3. Marilah kita perkaya wawasan kita mengenai keikhlasan (banyak baca, ngaji, dsb.)
4. Marilah kita terus berada dalam aktivitas amal saleh dan bersama orang-orang yang giat beramal saleh.

Ada kalimat bagus "Lupakanlah amal baikmu dan ingat terus dosamu". Amal baik kita harus kita lupakan agar kita terus menerus merasa menjadi orang yang belum beramal kebaikan dan termotivasi untuk terus menerus mengerjakannya. Dosa dan kejahatan yang pernah kita lakukan harus terus kita ingat-ingat agar muncul perasaan malu akan banyaknya dosa yang kita tabung sehingga kita akan mengurangi (bahkan menghentikan) perbuatan dosa.

Akhirnya saya berharap dan berdoa semoga kita termasuk dalam golongan orang-orang yang hatinya ikhlas. Wallahu a'lam bis shawab.

Tomy Saleh. Kalibata. 11 Februari 2009. 18:33WIB

1 komentar:

Anonim mengatakan...

Yup..
mareee blajar ikhlas slalu..
tfs