Angkutan umum ibukota

Kalau tidak salah, sekitar tahun 2004 atau 2005 ada bus kota "baru" di jalanan ibu kota. Bus itu berbeda bentuk dengan bus kota yang selama ini menghiasi pemandangan warga kota. Bus itu sebenarnya cuma bus bekas yang diimpor dari Jepang. Walaupun bekas, tapi kondisi interior dan eksteriornya lumayan bagus. Interior bus itu lega. Kursinya ada dua lajur. Tiap kursi untuk satu orang. Agak ke belakang ada kursi untuk dua orang. dan paling belakang ada kursi untuk lima atau enam orang. Sehingga ruangannya terasa lega. Jarak antar kursi pun cukup lega. Bentuk kursi sepintas cukup mungil, tapi ternyata cukup nyaman untuk menampung body sebesar saya (175cm, 108kg). Pegangan tangan di langit-langit bus juga bagus. Selain batang besi sepanjang langit-langit bus, juga ada pegangan yang menggantung di besi tersebut. Pegangan itu berbentuk bulat terbuat dari bahan plastik. Intinya bus kota bekas tersebut merupakan bus idaman. Bahkan beberapa kali bus tersebut dijadikan "bintang" iklan beberapa produk di televisi.

Tapi kini kondisi bus tersebut telah di-"vermak". Entah karena bus itu memang barang second hand atau memang pengelola bus yang kurang terbiasa dengan barang bagus dan manusiawi. Eksterior bus terlihat kotor dan tidak terawat. Kursi-kursinya sudah dimodifikasi sedemikian rupa sehingga jumlahnya bertambah. Kursi yang tadinya hanya dua lajur dan masing-masing untuk satu orang kini ditempeli kursi lain di sebelahnya sehingga komposisi kursinya jadi dua-satu. Lorongnya jadi sempit. Kemudian karena kursinya di tambah, maka jarak antara kursi menjadi kecil. Orang-orang yang memiliki tinggi 170cm ke atas tidak bisa duduk dengan nyaman, karena lututnya harus ditekuk sedemikian rupa agar muat. Batang besi di langit-langit bus sudah lepas dan diikat dengan tali. Pegangan yang menggantung sudah tidak fixed lagi posisinya (semula fixed terikat di batang besi). Malah di pintu masuk tengah saya mendapati sudah ada tiang tambahan yang berdiri persis di tengah-tengah arah masuk. Gaya supir mengendarai bus kota berubah dari kalem menjadi ugal-ugalan.

Selain bus eks Jepang di atas, ada lagi yang lainnya. Bahkan lebih dulu ada. Bus kota yang sudah bertahun-tahun akrab dengan warga kota. Bus tersebut berkapasitas 50-an kursi, tapi pada jam-jam sibuk di hari kerja dipaksakan mengangkut lebih dari 100 penumpang. Bus sudah terisi penuh dan sebahagian penumpang ada yang bergelantungan di kedua pintu masuknya, namun kondektur bus kota masih mennganggap bus itu "kosong" dan masih cukup untuk mengangkut calon penumpang lainnya. Beberapa perusahaan menjalankan bus kota tersebut, seperti PPD (Perusahaan Pengangkutan Djakarta), Mayasari Bakti, dan Himpurna. Kondisi bus itu cukup memprihatinkan. Asap buang yang ditumbulkannya bisa membuat kabut hitam. Interior bus sangat kumuh. Kursinya kotor, penuh coretan, dan sudah berlubang di sana-sini. Ditambah lagi jarak antar kursi sangat rapat. Kaca jendelanya buram dan bahkan ada yang sudah retak atau sudah tidak ada kaca lagi. Langit-langitnya bobrok dan jika hujan sering bocor. Bila malam tiba, penerangan dalam bus remang-remang. Pegangan tangan berupa besi di sepanjang langit-langitnya sudah karatan. Sebagai pelengkapnya adalah mesin yang sering rusak sehingga bus terpaksa berhenti di tengah perjalanan dan menurunkan semua penumpangnya dengan memberikan dua opsi: mengembalikan ongkos (yang kadang-kadang tidak full) atau menunggu untuk naik bus berikutnya tanpa bayar (di-oper).

Lain bus kota lain pula metromini dan kopaja. Kedua bus berukuran tanggung itu sudah lama akrab dengan warga ibu kota. Entah saya yang semakin tinggi atau metromini/kopaja yang semakin mengecil, saya nyaris selalu menundukkan kepala saya bila saya sudah berdiri di dalamnya. Kepala saya terhalang oleh langit-langitnya. Pegangan batang besi di langit-langit terbuat dari besi karat. Jarak antar kursi sangat rapat dan tidak cocok untuk orang dengan tinggi 165cm ke atas, baik kurus maupun gemuk. Dan kedua bus ini sudah sangat legendaris dalam urusan ugal-ugalan. Tak jarang mereka mengalami kecelakaan (dan, hebatnya, supir nyaris selalu selamat lalu melarikan diri). Sama seperti bus kota, metromini dan kopaja juga suka mengoper penumpang, entah itu karena kerusakan mesin (yang masih bisa masuk akal dan dimaklumi) maupun tanpa sebab yang jelas misalnya karena ingin putar haluan atau ingin pulang (untuk yang ini sangat bikin dongkol hati).

Angkutan umum di ibukota juga dilengkapi dengan kendaraan minibus. Ada mikrolet, angkot, maupun omprengan. Mikrolet (meminjam istilah di komik Benny-Mice) adalah kendaraan umum yang dimodifikasi dari mobil Toyota Kijang. Warnanya biru telur asin. Walaupun kini sudah ada pula dari jenis mobil Suzuki Carry dan GrandMax. Tapi masih amat sangat jarang. Mikrolet umumnya adalah Toyota Kijang. Mikrolet relatif lebih aman dari ugal-ugalan. Ciri khas lain dari mikrolet adalah jumlah penumpang harus dalam komposisi empat - enam; empat penumpang di lajur kiri dan enam penumpang di lajur kanan. Plus 2 orang duduk di kursi kecil (semacam dingklik) yang diletakkan dekat pintu masuk. Plus 2 orang di depan, di samping supir. Jumlah itu sudah "standard' untuk sebuah mikrolet. Di tempat mangkal (misalnya di terminal atau di pasar), mikrolet berhenti menunggu jumlah penumpang yang menaikinya mencapai kuota "standard" tersebut. Sebelum mencapai jumlah tersebut mikrolet tidak akan bergerak. Terkadang jumlah itu begitu "saklek" diterapkan, tanpa memandang kondisi ukuran tubuh (baca: untuk yang bertubuh subur).

Angkot adalah singkatan dari angkutan perkotaan. Ciri khasnya adalah warnanya merah atau biru tua. Mobil yang menjadi "dasar" angkot adalah Suzuki Carry. Mobil itu berukuran lebih kecil dari Toyota Kijang, tapi supir angkot tetap ngotot bahwa kapasitas penumpangnya sama persis dengan kapasitas "standard" mikrolet. Ini sungguh bikin mangkel hati. Terutama untuk yang kebagian tempat duduk di depan di samping supir. Kapasitasnya sebenarnya hanya pas-pasan untuk satu orang, tapi dipaksakan untuk dua orang. Akibatnya sering supir mengalami kerepotan dalam mengoper kopling karena tongkat versneling terjepit atau terdesak paha penumpang. Apalagi jika si penumpang bertubuh besar. Angkot dan mikrolet sama saja. Yang beda hanya ukuran dan warna.

Omprengan adalah angkutan umum "tak resmi". Angkutan umum di Indonesia berpelat polisi warna kuning. Omprengan berpelat hitam; karena memang omprengan adalah mobil pribadi yang dijadikan angkutan umum. Omprengan ini beroperasi hingga larut malam. Di beberapa tempat sering bersitegang dengan mikrolet dan angkot karena dianggap mengambil jatah "rezeki" mereka. Omprengan melalui jalur atau trayek mikrolet dan angkot. Karena tak resmi, maka tak jarang pula omprengan digrebek oleh satgas DLLAJ atau Polantas.

Saya rasanya sudah malas menulis tentang angkutan umum lainnya seperti kereta, ojek, taksi, dan lain-lain. Menurut saya semuanya mengalami masalah yang sama saja. Jadi saya menghindari men-curhat-kan berulang kali hal yang sama.


Angkutan di ibukota masih jauh dari harapan kenyamanan dan keamanan. Masalah-masalah yang melingkupi angkutan ini, barangkali bisa dijadikan buku tebal untuk membahas dan menguraikannya. Setiap orang yang berangkat pagi hari untuk mulai beraktivitas baik itu bekerja, sekolah, maupun dagang akan langsung dihadapkan pada kondisi yang tidak nyaman dan tidak aman. Ini terjadi setiap hari. Wajar saja jika wajah mayoritas penduduk ibukota tegang dan (seolah) tidak ramah. Makin berbentuk menyeramkan jika di kantor atau di sekolah atau di pasar menemui masalah lagi. Sementara para pejabatnya duduk enak dan santai di dalam mobil dinas ber-AC yang setiap periode diganti dengan mobil terbaru. Masalah ini, sepanjang yang saya alami (kira-kira lebih dari dua puluh tahun), tidak pernah dituntaskan oleh sang pengambil kebijakan. Iri rasanya jika mendengar cerita teman-teman mengenai pengalaman mereka menaiki angkutan umum di Singapura, Malaysia, Eropa, dan Amerika.

Angkutan umum kita belum manusiawi. Itu merupakan cerminan dari budaya umum keseharian kita yang tidak terbiasa untuk memanusiakan manusia. Kita meremehkan kemanusiaan. Menurut saya itu tidak lain akibat dari riwayat panjang penindasan yang dilakukan para penguasa terhadap rakyatnya. Sementara rakyat juga kekurangan referensi dalam berperilaku. Yang disaksikan dan dialami setiap hari adalah penindasan dengan berbagai bentuknya. Maka wajar jika ke-tidak-manusiawi-an menjadi teladan keseharian. Hal itu merasuk ke semua sendi kehidupan kita. Contohnya seperti angkutan umum di atas. Ia telah menjadi budaya kita. Saya khawatir sekali dengan hal ini. Semoga Allah SWT membuka mata hati pemimpin dan rakyat, sehingga masing-masing pihak akan berpikir jernih. Semoga Allah SWT menurunkan rahmat dan berkahNya untuk Jakarta. Untuk Indonesia. Aamiin.

Tomy Saleh. Kalibata. 29 Januari 2009. 16:25WIB

Tidak ada komentar: