Sedih atau Gembira Dengan Berakhirnya Ramadhan?

Ramadhan adalah bulan penuh keberkahan. Setiap amal ibadah yang kita kerjakan akan memperoleh ganjaran kebaikan dari Allah berlipat ganda dibanding jika dilakukan di bulan selain ramadhan. Di bulan ini pula Allah SWT telah menutup pintu neraka dan membelenggu syetan, yang senantiasa membisikkan kejahatan kepada manusia. Tidak hanya itu, pada paruh ketiga Ramadhan khususnya di malam-malam ganjil (malam ke-21, 23, 25, 27, dan 29 Ramadhan) Allah menjanjikan satu malam di antara tanggal-tanggal itu adalah malam super istimewa: Lailatul Qodar. Di mana setiap ibadah yang dilakukan pada malam itu akan memiliki bobot nilai seolah-olah ibadah itu dilakukan selama 1000 bulan terus menerus. Belum lagi efek samping puasa yang menyehatkan tubuh (detox) dan menenangkan batin (karena berlatih menguasai hawa nafsu). Sedekah juga sangat ringan dilakukan oleh manusia di bulan ramadhan. Suasana solidaritas, kebersamaan, dan spirit berbagi sangat kental di ramadhan. Kaum miskin dan dhu’afa adalah “the most wanted persons”, karena begitu banyak orang yang ingin menyalurkan sedekah, zakat, dan infaqnya. Tak sanggup rasanya saya menuliskan berbagai keindahan lainnya, karena terlalu banyak. Subhanallah, alangkah indahnya nuansa Ramadhan.

Kita bisa menyaksikan dari sisi ini, betapa Allah SWT telah menyediakan timing yang tepat dan tools yang lengkap. Timing yang tepat karena betapa kehidupan kita sebelas bulan sebelum ramadhan begitu penuh dengan noda-noda dosa dan kelalaian. Sibuk dengan urusan duniawi. Akibatnya jiwa ini begitu letih, ringkih, dan merintih sakit. Pencapaian duniawi kita mungkin on the peak performance karena senantiasa dibangun, dikejar, diupayakan dengan segala daya dan upaya, tapi bagaimana dengan dimensi ukhrawi kita? Bagaimana dengan ruhaniyah kita? Bagaimana dengan hubungan kita kepada Allah SWT/habluminallah? Well, selama hari-hari sebelum ramadhan memang ada sholat, shaum sunnah, umroh, haji, dan lain-lain, tapi seolah sebagai selingan dari sebuah mainstream kehidupan yang kita tetapkan sendiri: duniawi. Padahal, sebagaimana kita tahu, kehidupan duniawi ini hanyalah sementara dan karenanya dimanfaatkan sebagai batu loncatan untuk kembali ke kampung akhirat. Nah, ketika sedang menjalani hiruk pikuk duniawi selama sebelas bulan itu, Allah SWT mendatangkan waktu khusus untuk kita kembali merenungkan hakikat diri kita. Merenungkan tiga pertanyaan utama: dari mana aku berasal? Untuk apa aku dilahirkan di dunia ini? Dan akan ke mana aku kelak setelah mati?. Ramadhan hadir sebagai sebuah terminal pemberhentian sejenak untuk beristirahat, memperbaiki diri, memperteguh komitmen dan janji, dan menambah perbekalan untuk kemudian kembali melanjutkan perjalanan. Ibarat pit stop di lintasan balap F1. Kita diberikan waktu sebulan penuh oleh Allah SWT untuk menata diri di ramadhan setelah sebelas bulan sebelumnya diri kita mengarungi lautan kehidupan yang keras dan ganas yang tak jarang berpotensi merusak tatanan diri kita. Jadi ramadhan adalah timing yang tepat.

Allah SWT juga memberikan tools yang lengkap karena yang hendak diperbaiki dan ditata adalah manusia yang memiliki kompleksitas permasalahan. Allah SWT menjanjikan ganjaran kebaikan yang berlipat-lipat ganda atas setiap amal ibadah yang kita kerjakan, mulai dari menyingkirkan duri di jalan, senyum kepada saudara, sedekah, hingga tahajjud. Tools berikutnya dari Allah SWT adalah : pintu neraka ditutup dan syetan dibelenggu. Sehingga selama sebulan ini kita terbebas dari godaan bisikan syetan dan hal yang sangat menakutkan (neraka). Puasa (sebagai ibadah khusus dan inti di ramadhan) telah dikatakan oleh Rasulullah SAW sebagai penyehat badan. Puasa juga sebagai sarana untuk melatih penguasaan hawa nafsu. I’tikaf dan lailatul qodar hadir sebagai tools pamungkas di penghujung ramadhan. Kesemua tools itu hadir sebagai sebuah motivasi bagi kita.

Well, timing dan tools sudah tersedia. Tinggal bagaimana diri kita memanfaatkan keduanya semaksimal mungkin meningkatkan kualitas diri kita di hapadan Allah SWT. Para sahabat Rasul adalah contoh manusia-manusia yang telah memanfaatkannya dengan sangat baik. Mereka bisa merasakan manfaatnya secara langsung. Pantaslah mereka itu mempersiapkan diri enam bulan sebelum ramadhan datang agar di ramadhan mereka bisa optimal. Dan pantaslah ketika ramadhan berakhir mereka semua bersedih hati, karena berpisah dengan nuansa keindahan. Mereka bersedih karena timing dan tools tersebut tidak akan mereka temui lagi selain ramadhan. Keistimewaan ramadhan yang berlalu itulah yang mereka sedihkan. Saya yakin ketika mereka menangis sedih seperti itu, maka Allah memasukkan mereka ke dalam golongan hambaNya yang bertaqwa. Karena mereka telah memanfaatkan timing dan tools ilahiyah dengan sempurna. Tidak sedikitpun mereka menyiakan kesempatan yang ada. Optimalisasi mereka begitu mantap dan luar biasa. Mereka tidak mau ruigi sedikitpun. Dan mereka bersedih hati ketika ramadhan usai. Pantaslah mereka keluar dari ramadhan dengan gelar taqwa.

Kontras dengan kondisi para sahabat Rasulullah SAW, sekarang ini justru diwacanakan kepada ummat bahwa usainya ramadhan adalah hari kemenangan. Selama satu bulan penuh manusia memasuki arena peperangan di ramadhan ini. Perang melawan hawa nafsu. Maka ketika ramadhan usai tandanya peperangan telah berakhir. Idul fitri adalah saatnya merayakan kemenangan atas peperangan melawan hawa nafsu. Maka kita saksikan manusia bersuka cita dengan berakhirnya ramadhan. Beduk ditabuh bertalu-talu, kembang api berpijaran di angkasa, dan mercon dibakar sehingga ledakannya memekakkan telinga. Tak ketinggalan konvoi kendaraan di jalan raya menyambut “hari kemenangan”. Televisi dan radio tak mau kalah mereka menyiapkan serangkaian acara perayaan kemenangan tersebut dengan lagu-lagu “kemenangan” dan lawakan yang membuat penontonnya tertawa terbahak-bahak sepenuh mulutnya. Sepekan sebelum “hari kemenangan” tiba, ummat sibuk mempersiapkan perayaan kemenangan. Baju, celana, kerudung, sepatu, sandal, dan perhiasan harus baru. Maka alih-alih menangis dalam malam-malam I’tikaf di masjid, ummat justru sibuk memadati mal, plaza, pertokoan, dan pasar untuk membeli berbagai perlengkapan perayaan kemenangan itu.

Seolah-olah ramadhan adalah sebuah penjara dan siksaan, sehingga ketika ramadhan usai, maka selesailah sudah masa tahanan dan siksaan. Kita saksikan sendiri betapa kondisi manusia kembali seperti sebelum ramadhan datang: kacau, kusut masai, dan tak terkendali. Berarti selama sebulan penuh kita hanya letih menahan lapar dan haus belaka, tanpa bisa menangkap hikmah apapun bagi perbaikan diri.

Tujuan puasa ramadhan adalah “la’alakum tattaquun” agar kalian bertaqwa. Silahkan lihat surat Al Baqarah ayat 183. Timing dan tools seperti yang disebutkan di atas adalah untuk membentuk ketaqwaan tersebut. Maka ketika ramadhan usai, maka itu artinya berakhirlah timing dan tools istimewa itu. Kita harus menunggu sebelas bulan lagi untuk bisa menikmati timing dan tools tersebut. Idul Fitri adalah hari besar kita, ummat Islam. Kita pun diperbolehkan untuk merayakannya dan menampakkan kegembiraan dan kebahagiaan. Para salafussholih mengisi ramadhan mereka dengan optimalisasi kesungguhan amal dan tetesan air mata penyesalan atas dosa. Bahkan mereka menangisi kepergian ramadhan. Oleh karenanya ketika Idul Fitri tiba, orang-orang seperti merekalah yang sesungguhnya layak untuk bersenang-senang menampakkan kegembiraan dan kebahagiaan tersebut. Itulah "hadiah" Allah atas amaliyah mereka.

Apakah kita sudah mengisi ramadhan kita dengan memanfaatkan timing dan tools di atas dengan tepat sehingga kita menjadi orang yang bertaqwa dan karenanya kita layak untuk bergembira?

Jadi, kita seharusnya sedih atau gembira dengan berakhirnya ramadhan?

Tomy Saleh. Kalibata. 24 Sept 2008. 12:05WIB. Bertepatan 24 Ramadhan 1429H.