Teh Pagi Di Tanah Berkat

Mentari pagi memberikan cahaya cerahnya

Tanah berkat benderang karenanya

Orang-orang menikmati teh pagi hari

Mempercakapkan masa depan dengan berbinar-binar


Sementara di sekitar mereka berdesingan suara peluru, dentuman meriam, dan ledakan bom manusia

Berterbangan pula di udaranya asap mesiu, gas air mata, dan debu puing reruntuhan rumah mereka

Jalanan pun becek oleh ludah, keringat, air mata, dan darah

Satu anak mereka tampil gagah perkasa mengawal tanah berkat dan dilenyapkan

Jutaan anak lagi berbaris di belakangnya menunggu giliran


Kematian, kesedihan, darah, air mata, tekanan, luka, derita, pilu, dan bahagia

Itu adalah musik pengiring peradaban

Teman minum teh pagi hari di tanah berkat


TomySaleh.Tebet.14Maret2006.8:28wib

(Selamat kepada HAMAS yang telah memperoleh kepercayaan rakyat Palestina, semoga Allah berkahi dan beri kekuatan)

Screen Saver Duniawi

Teman saya, Ima, mengirimkan email yang berisi joke. Berikut ini joke-nya (aselinya berbahasa Inggris) :

Suatu ketika Bill Gates wafat dan dipanggil menghadap Tuhan. Kemudian terjadi dialog,
Tuhan : "Sebenarnya Aku ingin memasukkan engkau ke neraka. . . Hmmm. . . tapi karena engkau telah berjasa bagi banyak manusia dengan menciptakan windows 95, maka engkau Aku berikan pilihan, mau surga atau neraka?"
Bill Gates : "Terima kasih. Tapi sebelum memutuskan, bolehkah saya melihat-lihat dulu seperti apa kondisinya?"
Tuhan : "Silahkan"
Bill Gates pun berjalan ke neraka. Dia melihat suasana pantai yang menyenangkan. Wanita-wanita cantik berlarian ke sana kemari bermain-main. Anak-anak kecil bermain pasir. Orang-orang banyak yang berjemur. Kios-kios makanan dan minuman berjejer rapi di pantai. Alunan musik reggae juga sayup-sayup terdengar. Ombaknya juga tidak terlalu besar dan cuaca cerah.
Bill Gates : "Betapa menyenangkannya jika saya tinggal di neraka. Tapi saya mau melihat surga dulu."
Maka Bill Gates berjalan ke surga. Dia melihat suasana pegunungan yang sejuk dan tidak seramai neraka. Di mana-mana pemandangan pepohonan hijau. Ditingkahi bunyi burung. Beberapa orang terlihat duduk santai sambil bermain harpa.
Bill Gates : "Hmmm. . , surga kok membosankan. Tuhan, kalau begitu saya ingin masuk neraka saja."
Tuhan : "Baiklah."
Setahun kemudian Tuhan datang ke neraka untuk menengok kondisi Bill Gates. Rupanya Bill Gates sedang disiksa di tengah kobaran api. Para malaikat sedang mencambukinya dengan cambuk api. Melihat Tuhan datang, Bill Gates menghampiri.
Bill Gates : "Mengapa Engkau berbohong? Mana suasana pantai yang semula aku lihat sebagai neraka itu?"
Tuhan : "Oh, itu cuma screen saver kok. . ."

* * * * *

Kehidupan dunia dengan segala macam kenikmatan kemewahannya bisa menjadi sebuah tipu daya belaka. Allah SWT berfirman,

Ketahuilah bahwa sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah antara kamu serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu. (QS. Al Hadiid ayat 20)

Allah SWT menciptakan manusia. Lalu manusia itu diminta bersaksi bahwa Allah SWT adalah Tuhannya. Firman Allah SWT,

Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah Aku ini Tuhanmu ?" Mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi". (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)". (QS. Al A'raaf ayat 172)

Maka setiap manusia yang lahir dari rahim ibunya adalah fitrah. Pada hakikatnya saya, anda, kita semua sudah bersaksi bahwa Allah SWT adalah Tuhan kita. Allah hamparkan dunia beserta isinya dalam rangka memenuhi kebutuhan kita karena memang demikianlah fitrah penciptaan manusia. Tetapi pemenuhan kebutuhan itu adalah dalam rangka diri kita siap menuju ke haribaan Allah SWT. Kita tidak boleh berhenti pada mengelola dunia dalam rangka memenuhi kebutuhan belaka, karena semuanya itu hanyalah sarana dalam rangka memperkokoh kita untuk siap kembali kepada Allah SWT. Hakikatnya kita adalah milik Allah SWT yang sudah Allah bayar di muka dengan janjiNya berupa surgaNya kelak (dan Dia Maha Menepati Janji). Maka dari itu kita harus menjaga hak milik Allah SWT ini. Firman Allah SWT,

Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin, diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. Mereka berperang pada jalan Allah, lalu mereka membunuh atau terbunuh. (Itu telah menjadi) janji yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil dan Al Qur'an. Dan siapakah yang lebih menepati janjinya (selain) daripada Allah? Maka bergembiralah dengan jual beli yang telah kamu lakukan itu, dan itulah kemenangan yang besar. (QS. At Taubah ayat 111)

Jika demikian maka jelaslah bahwa dunia ini memang hanya tempat persinggahan sementara. Bisa pula diibaratkan sebagai camp pelatihan yang menggembleng diri menjadi insan bertaqwa dan kelak ketika datang ajal, maka kita meninggalkan camp pelatihan itu dengan mantap dan siap menghadap Allah SWT. Firman Allah SWT,

Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam. (QS. Ali Imron ayat 102)

Akan tetapi semuanya memang tidak mudah. Dunia justru telah menjadikan manusia lalai dari tujuan semula. Manusia lupa akan tugas utamanya. Dunia justru dijadikan sebagai tempat pelabuhan terakhir. Mengapa ini bisa terjadi? Karena dunia menawarkan keindahan dan kenikmatan yang luar biasa. Godaannya begitu dahsyat sehingga mampu mengguncang jiwa dan menutup mata hati. Allah SWT berfirman,

Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia dan di sisi Allahlah tempat kembali yang baik (surga). Katakanlah, 'Inginkah aku kabarkan kepadamu apa yang lebih baik dari yang demikian itu?' Untuk orang-orang yang bertaqwa (kepada Allah), pada sisi Tuhan mereka ada surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya. Dan (mereka dikaruniai) istri-istri yang disucikan serta keridhaan Allah. Dan Allah Maha Melihat akan hamba-hamba-Nya. (QS. Ali Imran ayat 14-15)

Manusia yang lalai itu menjadikan dunia sebagai ukuran dalam kehidupannya. Mereka saling berbangga-bangga dan munafasah (berlomba-lomba dalam kerangka menuruti hawa nafsu) dalam menumpuk harta benda. Semakin banyak dan mewah hartanya maka dianggap semakin mulia manusia itu. Penghormatan dan pujian pun mengalir ke hadapannya yang akan membuatnya semakin menepuk dada.

Rumah megah, mobil mewah, perhiasan mahal, pakaian bagus, dan simpanan yang seolah tidak habis tujuh turunan, dijadikan topik pembicaraan sehari-hari. Mereka saling berbangga bila bisa memiliki itu semua dan semakin bertambah kebanggaannya itu bila apa-apa yang dimilikinya itu jauh lebih mahal dan lebih banyak dari yang lainnya. Kesombongan telah meliputi dirinya.

Proses yang halal tidak lagi menjadi satu-satunya jalan dalam memenuhi kebutuhan (hawa nafsu) mereka. Apapun akan dilakukan (halal, haram, dan syubhat) demi mencapai peringkat yang tinggi di sisi manusia. Korupsi menjadi hal yang lumrah, karena itulah salah satu jalan super cepat untuk meraih kenikmatan duniawi. Menjadi pelacur dan gigolo adalah sah-sah saja, karena dengan begitu akan mendapatkan uang banyak dan birahi tersalurkan. Pemilik media massa tidak ragu-ragu untuk menampilkan seks dan kekerasan kepada publik penyimak media, karena kedua hal itulah yang paling mendatangkan keuntungan. Miras, rokok, dan narkoba merajalela hingga menjangkau pelosok daerah dan merangkul anak-anak. Atas nama keuntungan maksimal, menyumbangkan pajak yang besar, mendatangkan devisa bagi negara (dan pengelola negaranya; lewat aksi suap menyuap), dan menyediakan lapangan pekerjaan yang massif bagi rakyat, maka semua kerusakan dan kebejatan menjadi sah dan halal. Segala dampak negatif yang tampak tidak dipedulikan lagi dan bahkan justru diberi alasan-alasan pembenaran. Firman Allah SWT,

Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar). (QS. Ar Ruum ayat 41)

Pengarahan-pengarahan ilahiyah sudah begitu jelas. Peringatan-peringatan sudah disampaikan. Tapi racun dunia sudah merasuk begitu dalam ke jiwa manusia lalai. Kompetisi duniawi justru semakin meriah dan keras. Ingatlah akan firman Allah SWT berikut,

Maka tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kamipun membukakan semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka; sehingga apabila mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong, maka ketika itu mereka terdiam berputus asa. (QS. Al An'aam ayat 44)

Jadi, ketika mereka begitu asyik dengan dunia maka Allah akan siksa mereka secara tiba-tiba dan mereka kaget lalu diam dalam keputusasaan. Tidak menyangka bahwa semua kenikmatan dunia yang mereka kecap telah menipu mereka.

Ya, kenikmatan dunia seolah-olah seperti screen saver monitor komputer. Sekali geser mouse, maka hilanglah screen saver itu. Selagi hayat masih dikandung badan, marilah kita kembali kepada kehidupan yang berasaskan firman Allah SWT dan sunnah RasulNya. Semoga kita semua bahagia di dunia dan di akhirat.

Wallahu a'lam bishshawab.

Tomy Saleh. Kalibata. 15 Agustus 2008. 17:23WIB.

Wakil Rakyat Yang Benar-benar Mewakili Rakyat

Untukmu yang duduk sambil diskusi
Untukmu yang biasa bersafari
Di sana di gedung DPR

Wakil rakyat kumpulan orang hebat
Bukan kumpulan teman teman dekat
Apalagi sanak famili

Di hati dan lidahmu kami berharap
Suara kami tolong dengar lalu sampaikan
Jangan ragu jangan takut karang menghadang
Bicaralah yang lantang jangan hanya diam

Di kantong safarimu kami titipkan
Masa depan kami dan negeri ini
Dari Sabang sampai Merauke

Saudara dipilih bukan di lotere
Meski kami tak kenal siapa saudara
Kami tak sudi memilih para juara
Juara diam juara he eh juara hahaha

Wakil rakyat seharusnya merakyat
Jangan tidur waktu sidang soal rakyat
Wakil rakyat bukan paduan suara
Hanya tahu nyanyian lagu “setuju”

Surat Buat Wakil Rakyat, Iwan Fals

Lagu di atas dirilis tahun 1987. Masa itu adalah masa jaya rezim Soeharto. Ekonomi tumbuh dengan baik, tapi aspirasi politik dibungkam. Kritik terhadap penguasa bisa dianggap perbuatan perbuatan melanggar hukum. Para anggota DPR, yang seharusnya mewakili aspirasi politik rakyat justru lupa akan tugasnya ini. Mereka malah asyik dengan kepentingan pribadi dan partainya masing-masing. Maka terkenallah pemeo 4 D bagi anggota DPR, yaitu Datang, Duduk, Diam, dan Duit. Mereka, para anggota DPR itu, cuma perlu datang ke senayan, lalu duduk dengan manis tanpa bersuara (diam), dan setelahnya mereka akan terima duit. Tanpa kerja keras, tapi dapat fasilitas banyak dan uang yang melimpah. Wajar jika banyak orang yang menginginkan "profesi" ini. Lagu Iwan Fals di atas cukup pas sebagai sebuah kritik terbuka bagi para wakil rakyat itu, agar mereka mau kembali ke "jalan yang lurus", yaitu memperjuangkan aspirasi rakyat.

Di negeri ini, menjadi pejabat publik dipandang sebagai sebuah takrim (prestise, pemuliaan). Dalam pandangan rakyat kebanyakan, citra pejabat adalah orang yang memiliki posisi penting, diberikan berbagai fasilitas, diberikan hak berkuasa, di-service dengan pelayanan kelas satu, dan mendapatkan gaji tetap (plus tunjangan plus komisi plus insentif plus hadiah plus lain-lain). Jika ia berjalan, orang-orang akan memberinya jalan. Dia tidak perlu menenteng tasnya, karena sudah ada orang yang membawakan tasnya. Rumahnya bagus dengan perabotan lux yang semuanya diperoleh secara cuma-cuma dari instansinya. Datang ke kantor bisa semaunya dan demikian pula pulangnya. Pakaiannya selalu baru. Sepatunya selalu mengkilap. Orang-orang akan melaksanakan perintahnya dan memenuhi permintaannya. Tanda tangannya sangat ditunggu-tunggu dan bernilai mahal. Jika ada yang menolaknya atau menyanggahnya, maka dia akan melakukan apapun agar si penolak dan si penyanggah itu mengalami suatu keburukan. Citra seperti itulah yang melekat dalam benak rakyat kebanyakan. Sebuah citra yang hampir mirip dengan citra seorang raja.

Mengapa bisa seperti itu? Pada hakikatnya hal ini tidak lebih dari sebuah mentalitas kaum terjajah. Ada sebuah relasi sejarah. Coba kita lihat sejarah sejenak. Waktu negeri ini masih dalam masa penjajahan Belanda, penduduk asli adalah warga negara kelas sepuluh. Belanda memperlakukan politik diskriminasi atas dasar ras dan warna kulit terhadap rakyat yang dijajahnya. Warga Belanda hidup dengan fasilitas nomor wahid, sementara rakyat Indonesia hidup seadanya dan semampunya. Penjajah Belanda juga membangun sebuah opini ke rakyat Indonesia bahwa bangsa Eropa adalah bangsa yang terhormat, kaya, paling baik rasnya, paling hebat budayanya, paling indah bahasanya, paling nikmat makanan dan minumannya, dan lain-lain.

Mereka menanamkan opini itu sambil menginjak-injak hak asasi rakyat Indonesia. Mereka tunjukkan kekuatannya dengan jalan kekerasan (teror, intimidasi, pembunuhan, penculikan, pemblokiran, perampasan, dan penghinaan). Sehingga citra yang mereka opinikan seolah makin terasa kebenarannya di dalam alam pikiran manusia Indonesia. Bagi mereka yang bermental lemah, justru akan mengidamkan kehidupan dengan budaya penjajah. Ada sebuah impian terpendam dan sebuah cita-cita agar kelak bisa hidup selayaknya kaum penjajah itu. Bisa makan dan minum enak, bisa naik mobil, punya banyak uang, diperlakukan terhormat, punya kekuasaan, punya akses politik dan budaya yang bagus, plesiran dengan kapal laut yang megah dan mewah, dan lain-lain. Impian itu tertanam dalam benak orang-orang terjajah bermental lemah. Berangan-angan bisa hidup a la meneer dan mufrow Belanda sering hinggap dalam dada.

Orang-orang pribumi yang menginginkan kehidupan seperti itu, tidak perlu menjadi orang Belanda. Cukup dengan menjadi ambtenaar atau pegawai pemerintahan penjajah Belanda, maka sudah bisa mencicipi hidup dalam budaya Eropa. Bahkan para ambtenaar ini seolah "naik kelas" strata sosialnya. Mereka sering disebut sebagai kaum priyayi. Kedudukan mereka dalam masyarakat (dianggap) lebih tinggi kelasnya dibanding rakyat biasa, namun masih di bawah "kelas" ras Eropa. Mereka punya kekuasaan karena mereka adalah perpanjangan tangan kaum penjajah yang (merasa) memiliki kekuasaan atas tanah jajahannya. Mereka menerima perintah dari penjajah dan oleh karenanya mereka juga diupah sekian gulden oleh si penjajah. Hidup kesehariannya didikte oleh penjajah. Karena mereka bersedia untuk setia dengan penjajah, maka mereka mendapatkan fasilitas yang lebih baik daripada kebanyakan rakyat Indonesia.

Setelah Indonesia merdeka (bahkan setelah reformasi), rupanya opini ini masih tertanam hingga kini (63 tahun kemudian). Menjadi pejabat berarti adalah menjadi "raja". Perintahnya harus diikuti. Permintaannya harus dipenuhi. Semua harus melayaninya. Paradigma payah ini adalah salah satu penyebab bangsa Indonesia masih belum bisa menjadi bangsa yang maju dan makmur. Mentalitas terjajah masih membelenggu sebahagian pejabat publik kita. Bayang-bayang kehidupan nikmat a la penjajah Belanda masih melekat di dalam pikirannya. Padahal kehidupan nikmat itu dibangun atas penderitaan seluruh rakyat Indonesia. Tidak terlintas sedikitpun dalam benak pejabat publik tipe tersebut bahwa untuk hidup nikmat itu perlu dibangun dengan kerja keras yang halal, bukan dengan merugikan orang lain dan lingkungan. Bagi mereka persetan dengan semua, yang penting dirinya bisa hidup enak dan nikmat, bagaimanapun caranya. Cara pandang ini juga melekat pada sebahagian anggota DPR baik pusat maupun daerah. Para anggota dewan yang terhormat itu yang seyogyanya menjadi wakil bagi rakyatnya dalam rangka menyampaikan dan memperjuangkan aspirasinya, malah memandang dan mencitrakan diri mereka sebagai "raja" yang berhak atas fasilitas dan kenikmatan hidup.

Maka semuanya bisa kita lihat. Para wakil rakyat itu (seolah-olah) adalah masyarakat kelas satu. Makan enak, tidur nyaman, rumah mewah, mobil bagus, dan uang berlimpah. Yang berbahaya adalah: hal ini sudah dianggap lumrah oleh sebahagian rakyat Indonesia. Tak heran banyak orang-orang yang ingin menjadi anggota legislatif karena ingin menikmati hidup seperti tersebut di atas. Wajar saja jika terjadi kasus-kasus politik uang maupun pilkada berdarah di mana-mana.

Bagaimana seharusnya kita memandang hal ini? Dalam budaya Islam, sayyidul qoumi khadimuhu, yang namanya pemimpin (di dalamnya termasuk pejabat dan wakil rakyat) itu adalah pelayan bagi kaumnya. Pejabat adalah orang-orang yang memiliki kekuatan moral dan intelektual, sehingga dipandang layak untuk melayani kaumnya. Bukan sebaliknya. Citra wakil rakyat yang buruk di era orde baru haruslah diubah semasa era reformasi ini. Rakyat sudah sangat lelah dengan segala kelemahan dan penderitaannya. Para wakilnya haruslah orang-orang yang kuat hati dan kuat fikir agar mampu membawa aspirasi. Setidaknya para wakil rakyat mestilah seperti berikut ini:

  1. Menjadi wakil rakyat haruslah dipandang sebagai sebuah taklif (pembebanan), karena di punggungnya diletakkan suara hati nurani rakyat untuk diperjuangkan dan dikembalikan hak-haknya. Jika pola pikir ini yang tertanam di benak para wakil rakyat, insya Allah tidak akan kita temui wakil rakyat yang merasa sebagai raja dengan semua fasilitas mewahnya. Para wakil rakyat itu akan benar-benar bekerja untuk kemakmuran bersama rakyatnya. Tugas ini dipandang sebagai sebuah amanah berat, bukan anugerah nikmat.
  2. Menjadi wakil rakyat berarti harus mampu memahami situasi dan kondisi rakyat. Harus ada "penyamaan frekuensi" dengan rakyat sehingga bahasa rakyat akan mudah ditangkap dan dipahami lalu diperjuangkan olehnya. Ketika rakyat menangis, maka ia akan ikut menangis bukan malah tertawa. Ketika rakyat lapar, maka ia akan turut lapar bukan malah bersendawa kekeyangan. Ketika rakyat berdesakan naik bus kota, maka ia akan turut merasa sesak, bukan malah minta fasilitas mobil mewah.
  3. Menjadi wakil rakyat harus mampu menahan dirinya untuk tidak tampil sebagai seorang raja. Sekalipun dia berasal dari keluarga kaya raya dan memiliki harta banyak dari jalan yang halal, maka ketika diamanahkan sebagai pejabat publik, hendaklah ia mampu menahan gaya hidup mewahnya itu. Semata-mata agar ia bisa tampil sejajar dan sama dengan rata-rata gaya hidup rakyatnya. Menjaga perasaan rakyat adalah perkara yang sangat penting. Kita bisa melihat bagaimana kehidupan khulafaur rasyidin (Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, dan Umar bin Abdul Aziz, semoga Allah meridhoi mereka) setelah mereka menjadi pejabat publik. Mereka semua mampu menahan diri untuk tidak bermewah-mewah sekalipun mereka mampu untuk itu dengan jalan yang halal. Tengok pula H. Muhammad Natsir (semoga Allah merahmatinya), yang ketika menjabat sebagai perdana menteri Indonesia, hidup dalam kesederhanaan. Saya kurang setuju dengan pendapat yang mengatakan bahwa pejabat publik hidup mewah itu sah-sah saja, selama hartanya itu didapat dengan jalan yang halal. Persoalannya bukanlah halal atau haram, tapi layak atau tidak? Pantas atau tidak? Sekali lagi, ini semata-mata untuk menjaga perasaan rakyat dan supaya ada kesamaan "frekuensi" dengan rakyat. Jika "frekuensi" wakil rakyat sudah sama dengan rakyat, maka ia akan memiliki kemampuan untuk membaca kebutuhan rakyat, sehingga bisa diperjuangkan dengan sungguh-sungguh. Lain halnya jika wakil rakyat dan rakyat hidup di alam yang berbeda. Wakil rakyat akan senantiasa memikirkan keuntungan apa yang akan didapatnya. Tidak lagi ada pikiran untuk memperjuangkan nasib rakyat. Bagaimana mungkin dia bisa mampu memperjuangkan nasib rakyat, jika ia tidak tahu seperti apa rasanya kehidupan rakyat?
  4. Menjadi wakil rakyat harus siap dengan kritik dan pertanyaan dari rakyat. Ibaratnya, menjadi wakil rakyat adalah berdiri telanjang di atas panggung dan semua mata tertuju kepadanya. Setiap jengkal tubuh akan terlihat, termasuk cacatnya. Seolah-olah nyaris tidak ada hak privasi. Ini semua adalah sebuah bentuk konsekuensi menjadi wakil rakyat. Pertanyaan dan kritik yang diajukan juga sangat beragam. Mulai dari yang biasa sampai yang paling tajam dan meledak-ledak. Mentalitas haruslah kokoh. Ingatlah bagaimana kisah khalifah Umar bin Khaththab yang suatu ketika rakyatnya bertanya dari mana ia bisa memakai pakaian baru? Pakaian baru pun dipertanyakan asal-usulnya. Bagaimana mungkin bisa ada pihak-pihak yang mengatakan bahwa tidak perlu mempertanyakan harta benda milik orang lain, sementara sejarah para sahabat Rasul SAW mencontohkan hal ini sebagai sebuah bentuk kontrol rakyat terhadap wakil rakyatnya?
  5. Menjadi wakil rakyat haruslah menjadi manusia pembelajar. Manusia yang selalu belajar setiap detik dari siapa saja dan di mana saja. Wawasannya harus selalu diperbaharui. Akses informasinya haruslah luas dan lancar. Wakil rakyat seharusnya adalah orang yang haus akan ilmu pengetahuan. Ilmu dan wawasan adalah landasan dalam setiap kata dan tindakannya. Dengan bekalan ilmu dan wawasan ini akan sangat membantunya dalam menangkap aspirasi dan membantu memecahkan problem rakyat.

Wakil rakyat seperti itulah yang insya Allah akan mampu membawa kebaikan bagi bangsa ini. Dengan demikian ia akan menjadi perantara turunnya rahmat dan berkah dari langit. Wakil rakyat seperti itulah yang kelak akan mendapat naungan di hari di mana tidak ada naungan lagi kecuali naungan dari Allah SWT. Semoga para wakil rakyat kita bisa seperti itu. Amin ya Rabbal 'alamin.

Wallahu a'lam bishshawab.

Tomy Saleh. Kalibata. 15 Agustus 2008. 11:25WIB

Mengapa ahli maksiat justru kaya dan berkuasa?

Saya sempat khawatir dan risau dengan orang-orang kaya dan orang-orang yang punya kekuasaan tapi jauh dari nilai-nilai Islami. Apa pasal? Saya meyaksikan sendiri bagaimana kehidupan mereka itu. Mereka nyaris tidak pernah sholat, istri-istri mereka belum menutup auratnya dengan baik, anak-anak mereka jarang sekali yang mampu membaca al qur-an, mereka hampir tidak pernah menunaikan zakat. Tidak jarang pula mereka melakukan tindakan yang merugikan orang lain seperti korupsi, mencaplok tanah yang bukan miliknya, menyuap para pejabat untuk melancarkan urusan mereka, selingkuh dengan pasangan orang lain, dan lain-lain. Mereka meraih kekuasaan dengan jalan kekerasan atau manipulasi suara dalam pemilihan pemimpin.

Atau kehidupan para selebriti yang glamour; berpesta setiap pekan di tempat-tempat yang mahal, tinggal di rumah mewah atau di apartemen lux, mengendarai mobil yang sangat bagus, memakai pakaian baru dan mahal setiap hari, tidur di kasur yang empuk dan kamar yang sejuk dan luas. Lalu mereka mengucapkan puji syukur kepada Allah SWT (di depan kamera infotainment) atas "rezeki" yang diberikan kepada mereka. Padahal "rezeki" itu didapat dari buka-bukaan aurat (tuntutan profesi yang harus dijalani secara profesional, katanya) dan goyang porno. Sering pula sebagai manifestasi rasa "syukur" itu mereka mengundang wartawan untuk meliput perjalanan "wisata rohani" mereka yaitu umroh atau haji. Meskipun selepas haji atau umroh itu mereka kembali menjalani kehidupan sebagaimana sebelum haji atau umroh. Seolah tidak ada dampak dari haji atau umrohnya. Terkadang pula mereka mengundang sejumlah anak yatim dari panti asuhan untuk disantuni. Bahkan ada artis yang sudah sayup-sayup karyanya (yang otomatis secara logika pemasukannya juga kecil), tapi tidak pernah absen untuk memiliki barang-barang mewah yang sedang trend dan hidup bak putri bangsawan kaya raya.

Dengan segala macam hal itu, mengapa mereka bisa memiliki harta yang berlimpah? Dengan mengambil jarak yang jauh dengan ajaran Islam dalam kehidupannya, mengapa mereka bisa dengan mudah mendapatkan dan menguasai sumber-sumber ekonomi? Dengan wajah yang nyaris tidak pernah terbasuh air wudhu maupun debu tayamum, mengapa mereka bisa membeli apapun yang mereka inginkan karena memang uang mereka seolah tidak ada nomor serinya? Mengapa banyak orang-orang yang rajin sholat, tidak pernah absen ke masjid, menutup auratnya dengan baik, malah hidup dalam standard ekonomi yang rendah.

Apakah Allah tidak adil? Apa maksudnya Allah membukakan pintu-pintu kenikmatan duniawi yang luas kepada kaum yang tidak bersedia untuk mengenal Allah SWT? Mengapa Allah SWT justru mempersempit perekonomian kaum 'abid? Apakah ini semacam ujian bagi 'alim wal 'abid? Apakah untuk menjadi 'alim dan 'abid harus menjalani hidup melarat?

Lika-liku sungai kebingungan saya akhirnya menemukan muaranya di salah satu lautan ilmuNya setelah saya menyimak pengajian yang saya ikuti. Guru saya, Ustadz H. Muhammad Ridwan, dalam salah satu kajian rutinnya mengatakan bahwa semua kenikmatan yang mereka genggam itu adalah istidraj, bukan rezeki. Apa itu istidraj? Ustadz Ridwan mengatakan dalam bahasa Jakarta, "Istidraj itu ibarat kate dikasih tapi diambulin. Misalnye ente lapar dan pengen makan roti dan ane ngasih roti ke ente, tapi ngasihnye ane lempar ke muke ente sembari ngomong "lu makan 'tuh roti... lu abisin 'tuh... nih lagi nih lu makan semuenye...!" dan muke ane cemberut. Nah itu istidraj. Dikasih tapi diambulin..." Jika kita tidak punya nurani, maka roti itu pun tetap di makan. Lain halnya jika punya nurani dan harga diri, tentu akan kita buang juga roti tersebut. Bayangkan, bagaimana jika Allah SWT yang melakukan hal itu? Masya Allah. Kenikmatan rezeki diperoleh dengan jalan yang halal, sementara kenikmatan istidraj diperoleh dengan jalan yang haram dan syubhat.

Allah SWT terus memberikan kenikmatan kepada mereka dengan sangat mudah dan berlimpah. Sementara manusia-manusia lalai itu terus menikmatinya, berleha-leha, bersenang-senang, tertawa dengan keras dan penuh kepuasan, berpesta pora, dan terus menghambur-hamburkan "rezeki" yang mereka peroleh. Dan sesekali mereka mengucapkan puji syukur atas "rezeki" tersebut. Mereka menganggap ini adalah pemberian Allah SWT. Memang betul itu adalah pemberian Allah SWT tapi bukan lewat jalan yang bernama rezeki, melainkan istidraj. Semakin banyak kenikmatan mereka, maka semakin jauh pula mereka dari Allah SWT dan semakin dekat dengan kebinasaan. Allah SWT berfirman,
"Nanti Kami akan menarik mereka dengan ber­angsur-angsur (ke arah kebinasaan) dari arah yang tidak mereka ketahui dan Aku memberi tangguh kepada mereka. Sesungguhnya rencana-Ku amat teguh." (QS. Al Qalam ayat 44 - 45).

Mereka tidak sadar bahwa mereka tersesat dari jalan yang lurus. Mereka berjalan dengan langkah pasti menuju pada kebinasaan, dengan semua kenikmatannya itu. Mereka telah tertipu oleh hawa nafsunya. Kenikmatan istidraj itu dianggapnya sebagai kebaikan. Allah SWT berfirman,

"Apakah mereka mengira bahwa harta dan anak-­anak yang Kami berikan kepada mereka itu (berarti bahwa) Kami bersegera memberikan kebaikan-­kebaikan kepada mereka? Tidak, sebenarnya mereka tidak sadar." (QS. Al Mukminun ayat 55 - 56).

Kerisauan saya di atas makin terjawab dengan firman Allah SWT berikut ini,

"Maka tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kamipun membuka­kan semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka; sehingga apabila mereka gembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong, maka ketika itu mereka terdiam berputus asa." (QS. Al An'aam ayat 44).

Justru dengan tindakan kemaksiatan yang semakin menjadi-jadi yang bisa kita saksikan langsung 24 jam sehari, pintu-pintu kenikmatan semakin Allah buka lebar untuk mereka.

Hasilnya? Mereka menjadi orang yang paling menikmati kemewahan hidup, tapi jauh dari rahmat, berkah, dan ampunan Allah SWT. Kekayaan dan kekuasaan mereka hanya akan semakin membuat mereka lupa akan Allah dan RasulNya. Kenikmatan dan kemewahan yang mudah dan banyak itu akan menjadikan mereka manusia-manusia yang terasing dari Al Qur-an dan As Sunnah. Kehidupan duniawi itu membuat mereka hidup bagaikan dalam impian dan angan-angan. Rasulullah SAW bersabda,

"Sesungguhnya Allah memanjangkan angan-angan orang yang zhalim, sehingga ketika Allah ambil bagian mereka, tak ada yang tersisa sedikitpun."

Kehidupan dunia ini tidaklah kekal. Harta dan kekuasaan yang kita miliki tidaklah kekal. Ketika kita mati, maka harta dan kekuasaan itu tidak ikut serta ke dalam lubang kubur bersama-sama kita. Bahkan tak jarang, sebelum kita mati, justru harta dan kekuasaan itu sudah berpindah ke tangan orang lain. Allah SWT berfirman,

"...yang mengumpulkan harta dan menghitung-hitungnya, dia mengira bahwa hartanya itu dapat mengekalkannya. Sekali-kali tidak! Sesungguhnya, dia benar-benar akan dilemparkan ke dalam Huthamah. Dan tahukah kamu apa Huthamah itu? (yaitu) api (yang disediakan) Allah yang dinyalakan." (QS. Al Humazah ayat 2-6).

Padahal Allah SWT sudah memberikan sebuah early warning dalam firmanNya,

"Ketahuilah bahwa sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah antara kamu serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu." (QS. Al Hadiid ayat 20)

dan juga firmanNya,

"Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia dan di sisi Allahlah tempat kembali yang baik (surga). Katakanlah, 'Inginkah aku kabarkan kepadamu apa yang lebih baik dari yang demikian itu?' Untuk orang-orang yang bertaqwa (kepada Allah), pada sisi Tuhan mereka ada surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya. Dan (mereka dikaruniai) istri-istri yang disucikan serta keridhaan Allah. Dan Allah Maha Melihat akan hamba-hamba-Nya." (QS. Ali Imran ayat 14-15).

Lantas, bagaimana seharusnya kita mengambil sikap? Allah SWT berfirman, "Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan." (QS. Al Qashash ayat 77).

Kenikmatan dunia tidak terlarang. Tapi Allah mengingatkan bahwa hal itu bisa membuat kita terlupa akan tujuan kita : akhirat yang kekal abadi. Oleh karenanya kita ambil bahagian kenikmatan dunia kita sebagai batu loncatan untuk menuju kehidupan akhirat kita. Kita ambil bahagian kita itu dengan jalan yang halal dan seperlunya, maka itulah rezeki. Allah berikan berkah dan rahmat serta pahala atas rezeki itu. Hal itu akan membantu membuat hati kita menjadi bersih dan tenang. Allah SWt berfirman,

"Wahai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam jamaah hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam surga-Ku." (QS. Al Fajr ayat 27 - 30).

Wallahu a'lam bishawab.

Tomy Saleh. Kalibata. 12 Agustus 2008. 11:56WIB

Pendidikan Yang Tidak Serius

Salah satu guru saya, Ustadz H. Abdul Aziz Matnur, Lc., pernah mengatakan bahwa bangsa ini masih main-main dengan urusan pendidikan. Belum serius. Beliau lalu membandingkan dengan kondisi di Mesir, negeri tempat beliau kuliah syariah (Al Azhar University). Di Mesir, kata beliau, kuliah jenjang sarjana (S1) itu adalah hal yang biasa. Bukan istimewa. Sudah seperti sekolah SMU di sini. Di sana "mainannya" adalah kuliah doktoral (S3). Bukupun seabreg-abreg. Bahkan saya ingat mendiang Cak Nur (Dr. Nurcholish Madjid) dalam salah satu acara debat di Masjid Amir Hamzah (tahun 1992 silam) pernah mengatakan bahwa dari segi intelektual kita kalah tertinggal dari Mesir. Di sana mungkin miskin secara ekonomi tapi kaya secara intelektual. Demikian Ust. Matnur dan mendiang Cak Nur.

Kemudian, pagi ini (kamis, 7 agustus 2008) saya menyimak berita di tv mengenai sebuah gedung SD negeri di daerah Pondok Kopi, Jakarta Timur, yang atapnya ambruk. Gambar yang ditayangkan oleh tv itu memperlihatkan kondisi sekolah yang sangat memprihatinkan. Salah satu guru yang diwawancarai menyatakan kesedihannya atas kondisi ini dan bahkan mereka (pengelola sekolah) sudah lama mengajukan surat permohonan untuk renovasi gedung sekolah ke pihak berwenang, tapi tidak pernah ada tanggapan. Gedung SD itu dibangun tahun 1977 lalu, sehingga cukup wajar jika ada permintaan renovasi. Sangat memalukan hal ini terjadi di Jakarta, daerah yang (katanya) paling diperhatikan, paling dibangun, dan (karenanya) paling maju di seantero Indonesia.

Berita ambruknya bangunan sekolah ini bukan cuma satu atau dua kali saya dengar. Tapi sudah sekian kali. Dan sekian kali pula pihak yang berwenang tidak melakukan tindakan preventif apapun, sehingga muncul kasus di atas. Apabila dikonfirmasi ke pihak yang berwenang, mereka selalu membantah bahwa hal itu tidak diperhatikan atau mereka menjawab tidak ada dana memadai untuk renovasi.

Itu baru bicara mengenasi fasilitas pendidikan. Belum lagi jika ditinjau dari segi kurikulum pendidikan kita yang belum mampu menjadi solusi bagi masalah rendahnya kualitas kompetensi manusia Indonesia. Plus biaya pendidikan yang mahal. Dada saya terasa sesak menyaksikan ini semua. Kesal, sedih, kaget, bingung bercampur aduk.

Pendidikan adalah hak mendasar setiap warga negara. Dengan pendidikan yang berkualitas (dari sisi kurikulum dan fasilitas), maka (insya Allah) akan mampu menghasilkan manusia dengan basis intelektual yang bagus. Jika manusia-manusia intelek ini memenuhi setiap sudut negeri, maka akan tercipta sebuah budaya intelek dalam kehidupan masyarakat. Masyarakat yang cerdas akan menjadi pilar sebuah negeri yang kokoh dan maju. Masyarakat yang cerdas akan mampu menjawab tantangan zaman, mengembangkan dirinya, dan hidup dengan penuh rasa syukur dalam kemakmuran.

Pendidikan adalah investasi untuk dipetik hasilnya di masa yang akan datang. Kondisi bangsa kita yang carut marut ini adalah hasil perbuatan manusia-manusianya yang merupakan hasil dari investasi pendidikan di masa lalu. Money politics, korupsi massal, kerusuhan, tawuran pelajar, birokrasi tidak efektif dan efisien, pornografi dan pornoaksi, kekerasan, dan bentuk-bentuk negatif lainnya yang selama ini menghiasi kehidupan keseharian kita adalah sebuah akibat dari buruknya pengelolaan pendidikan negeri ini.

Para pengambil keputusan (pemerintah pusat maupun daerah) seolah tidak mempedulikan pendidikan rakyatnya. Apakah faktor pendidikan ini dianggap kurang penting dibanding faktor ekonomi, politik, dan militer? Padahal jika aspek pendidikan diabaikan atau tidak digarap secara serius, siapa pula yang kelak akan memiliki kemampuan mengelola negeri ini di masa depan? Jika kebodohan merajalela, maka keburukan akan melanda. Jika keburukan melanda, maka kehidupan sebuah peradaban akan segera berakhir.

Saya ingat salah satu hadits Rasulullah SAW yang menyatakan bahwa Allah akan mencabut ilmu dari manusia dengan cara mewafatkan ulama (orang-orang yang berilmu), bukan dengan mencabut ilmu dari dada-dada manusia. Sehingga kelak yang akan tersisa hanyalah orang-orang yang bodoh. Maka manusia akan mengangat orang-orang bodoh sebagai pemimpin mereka. Jika hal ini terjadi maka dampaknya seperti sudah saya sebutkan di atas.

Saya juga ingat perkataan salah satu guru saya yang lain, DR. K.H. Muslih Abdul Karim, dalam salah satu ceramah beliau yaitu, "negara adil makmur cuma dua cirinya, sekolah gratis dan rumah sakit gratis.".

Apakah aspek lain (politik, ekonomi, militer, dan lain-lain) tidak penting? Tentu saja tidak begitu cara melihatnya. Pendidikan adalah aspek asasi yang harus mendapatkan perhatian khusus. Saya kutip perkataan seorang ulama, Prof. DR. Ali Abdul Halim Mahmud dalam bukunya "Wasa-ilut tarbiyyah 'indal ikhwanul muslimun" (edisi terjemahannya berjudul "Perangkat-perangkat Tarbiyah Ikhwanul Muslimin", Era Intermedia, Solo, 2002) : "Pendidikan bukan segala-galanya. Tapi segala-galanya bermula dari pendidikan." Sebuah kesimpulan yang cerdas dari seorang praktisi pendidikan.

Menurut saya, pada level pembuat kebijakan, langkah-langkah untuk menyelamatkan (ya, menyelamatkan. Karena pendidikan kita sangat kritis kondisinya) pendidikan adalah:
  1. Konsisten menyediakan anggaran pendidikan sesuai amanat UUD '45. Bagaimanapun sulitnya ekonomi bangsa, menurut saya anggaran pendidikan tidak boleh dipotong atau dikurangi.
  2. Menyediakan fasilitas pendidikan berupa gedung sekolah yang manusiawi dan berkualitas. Pengawasan ketat sangat diperlukan di sini.
  3. Memperbaiki kurikulum pendidikan sehingga bisa menghasilkan pribadi yang memiliki kompetensi kelas internasional.
  4. Menyediakan buku murah sebanyak-banyaknya.
  5. Memurahkan biaya pendidikan, kalau perlu digratiskan.
Semoga bangsa kita bisa menjadi manusia cerdas, berakhlakul karimah, dan mandiri, sehingga bisa membawa negeri ini keluar dari krisis multidimensi, menuju baldatun thayyibatun warabbun ghafur. Amin ya Rabbal 'alamin.

Wallahu a'lam bisshowab

Tomy Saleh. Kebon Jeruk. 9 Agustus 2008. 18:29WIB

Kerinduan

Tetes-tetes kerinduanku kini telah berubah menjadi lautan
menenggelamkan perahuku dalam badai kebimbangan
adakah kau juga dilanda kerinduan yang sama
seperti apa yang kurasakan ?

Ahmad Feisal. Cikarang. 30 Januari 2002. 08:20 WIB
*ini syair ditulis satu setengah bulan sebelum merit..

Tentang Cinta 1

Kau tahu apa kata mereka tentang cinta yang tertahan?
Udara tak lagi mengantar harumnya kasih
Karena ia menguap sebelum sampai kepada yang menahan

Kau tahu apa kata mereka tentang cinta yang bertepuk sebelah tangan?
Seperti cintanya Brisseis kepada seluruh dewa di tanah negeri Troy yang makmur itu
Berharap akan ketiadaan
Dan ia menemukannya kasihnya kepada manusia setengah dewa yang mati karena sebuah anak panah
The brave Archilles

Kau tahu apa kata mereka tentang mimpi indah yang tertunda?
Senyumnya seperti gila yang kasmaran
Hanya sedikit yang memahami, karena pernah mengalami

Kau tahu tentang pengorbanan wanita cinta?
seperti cintanya perempuan setengah malaikat bijak nan anggun Arwen kepada ksatria Aragorn dalam dunia Lord of The Rings
Karena melepas keabadian, dan memilih kematian yang bersembunyi di balik kehidupan
I give my mortality to whom i want, as my heart . . . . .

Kau tahu tentang hasrat cinta yang tak kunjung tiba?
Seperti memori yang membuat kita tertawa sendiri
Begitulah Santiago mencintai Fatima, dalam alam The Alchemist

Kepada diri yang cintanya tertunda
semoga bahagialah akhirnya . . . . .

Azrul Fadjri. 30 Desember 2005

Menghentikan Cegukan/Tersedak

Anda pernah mengalami cegukan atau tersedak? Itu lho, secara tiba-tiba tenggorokan anda menyempit dan menghalangi aliran udara, sehingga muncul bunyi khas, "hik.... hik.... !" dibarengi sedikit guncangan pada bahu anda. Bahasa kedokterannya "hiccups". Berikut ini cara untuk menghentikannya tanpa harus ke dokter atau minum macam-macam obat:
  1. duduk dengan punggung tegak dan rileks
  2. tarik nafas dalam-dalam dan simpan di perut (perut anda akan menggembung)
  3. tahan nafas selama yang anda mampu (30 detik rasanya juga sudah cukup)
  4. keluarkan nafas perlahan-lahan lewat mulut yang dibuka sedikit sehingga berbunyi mendesis (bukan bunyi "fiuuhh..!", tapi "sssshhhh...!")
Insya Allah cegukan itu akan berhenti. Tips ini sudah saya praktekkan berkali-kali dan alhamdulillah berhasil. Tips ini saya peroleh dari sahabat saya Edi Junaedi dan beliau mendapatkan tips ini dari seorang perawat. Selamat mencoba.