Mengapa ahli maksiat justru kaya dan berkuasa?

Saya sempat khawatir dan risau dengan orang-orang kaya dan orang-orang yang punya kekuasaan tapi jauh dari nilai-nilai Islami. Apa pasal? Saya meyaksikan sendiri bagaimana kehidupan mereka itu. Mereka nyaris tidak pernah sholat, istri-istri mereka belum menutup auratnya dengan baik, anak-anak mereka jarang sekali yang mampu membaca al qur-an, mereka hampir tidak pernah menunaikan zakat. Tidak jarang pula mereka melakukan tindakan yang merugikan orang lain seperti korupsi, mencaplok tanah yang bukan miliknya, menyuap para pejabat untuk melancarkan urusan mereka, selingkuh dengan pasangan orang lain, dan lain-lain. Mereka meraih kekuasaan dengan jalan kekerasan atau manipulasi suara dalam pemilihan pemimpin.

Atau kehidupan para selebriti yang glamour; berpesta setiap pekan di tempat-tempat yang mahal, tinggal di rumah mewah atau di apartemen lux, mengendarai mobil yang sangat bagus, memakai pakaian baru dan mahal setiap hari, tidur di kasur yang empuk dan kamar yang sejuk dan luas. Lalu mereka mengucapkan puji syukur kepada Allah SWT (di depan kamera infotainment) atas "rezeki" yang diberikan kepada mereka. Padahal "rezeki" itu didapat dari buka-bukaan aurat (tuntutan profesi yang harus dijalani secara profesional, katanya) dan goyang porno. Sering pula sebagai manifestasi rasa "syukur" itu mereka mengundang wartawan untuk meliput perjalanan "wisata rohani" mereka yaitu umroh atau haji. Meskipun selepas haji atau umroh itu mereka kembali menjalani kehidupan sebagaimana sebelum haji atau umroh. Seolah tidak ada dampak dari haji atau umrohnya. Terkadang pula mereka mengundang sejumlah anak yatim dari panti asuhan untuk disantuni. Bahkan ada artis yang sudah sayup-sayup karyanya (yang otomatis secara logika pemasukannya juga kecil), tapi tidak pernah absen untuk memiliki barang-barang mewah yang sedang trend dan hidup bak putri bangsawan kaya raya.

Dengan segala macam hal itu, mengapa mereka bisa memiliki harta yang berlimpah? Dengan mengambil jarak yang jauh dengan ajaran Islam dalam kehidupannya, mengapa mereka bisa dengan mudah mendapatkan dan menguasai sumber-sumber ekonomi? Dengan wajah yang nyaris tidak pernah terbasuh air wudhu maupun debu tayamum, mengapa mereka bisa membeli apapun yang mereka inginkan karena memang uang mereka seolah tidak ada nomor serinya? Mengapa banyak orang-orang yang rajin sholat, tidak pernah absen ke masjid, menutup auratnya dengan baik, malah hidup dalam standard ekonomi yang rendah.

Apakah Allah tidak adil? Apa maksudnya Allah membukakan pintu-pintu kenikmatan duniawi yang luas kepada kaum yang tidak bersedia untuk mengenal Allah SWT? Mengapa Allah SWT justru mempersempit perekonomian kaum 'abid? Apakah ini semacam ujian bagi 'alim wal 'abid? Apakah untuk menjadi 'alim dan 'abid harus menjalani hidup melarat?

Lika-liku sungai kebingungan saya akhirnya menemukan muaranya di salah satu lautan ilmuNya setelah saya menyimak pengajian yang saya ikuti. Guru saya, Ustadz H. Muhammad Ridwan, dalam salah satu kajian rutinnya mengatakan bahwa semua kenikmatan yang mereka genggam itu adalah istidraj, bukan rezeki. Apa itu istidraj? Ustadz Ridwan mengatakan dalam bahasa Jakarta, "Istidraj itu ibarat kate dikasih tapi diambulin. Misalnye ente lapar dan pengen makan roti dan ane ngasih roti ke ente, tapi ngasihnye ane lempar ke muke ente sembari ngomong "lu makan 'tuh roti... lu abisin 'tuh... nih lagi nih lu makan semuenye...!" dan muke ane cemberut. Nah itu istidraj. Dikasih tapi diambulin..." Jika kita tidak punya nurani, maka roti itu pun tetap di makan. Lain halnya jika punya nurani dan harga diri, tentu akan kita buang juga roti tersebut. Bayangkan, bagaimana jika Allah SWT yang melakukan hal itu? Masya Allah. Kenikmatan rezeki diperoleh dengan jalan yang halal, sementara kenikmatan istidraj diperoleh dengan jalan yang haram dan syubhat.

Allah SWT terus memberikan kenikmatan kepada mereka dengan sangat mudah dan berlimpah. Sementara manusia-manusia lalai itu terus menikmatinya, berleha-leha, bersenang-senang, tertawa dengan keras dan penuh kepuasan, berpesta pora, dan terus menghambur-hamburkan "rezeki" yang mereka peroleh. Dan sesekali mereka mengucapkan puji syukur atas "rezeki" tersebut. Mereka menganggap ini adalah pemberian Allah SWT. Memang betul itu adalah pemberian Allah SWT tapi bukan lewat jalan yang bernama rezeki, melainkan istidraj. Semakin banyak kenikmatan mereka, maka semakin jauh pula mereka dari Allah SWT dan semakin dekat dengan kebinasaan. Allah SWT berfirman,
"Nanti Kami akan menarik mereka dengan ber­angsur-angsur (ke arah kebinasaan) dari arah yang tidak mereka ketahui dan Aku memberi tangguh kepada mereka. Sesungguhnya rencana-Ku amat teguh." (QS. Al Qalam ayat 44 - 45).

Mereka tidak sadar bahwa mereka tersesat dari jalan yang lurus. Mereka berjalan dengan langkah pasti menuju pada kebinasaan, dengan semua kenikmatannya itu. Mereka telah tertipu oleh hawa nafsunya. Kenikmatan istidraj itu dianggapnya sebagai kebaikan. Allah SWT berfirman,

"Apakah mereka mengira bahwa harta dan anak-­anak yang Kami berikan kepada mereka itu (berarti bahwa) Kami bersegera memberikan kebaikan-­kebaikan kepada mereka? Tidak, sebenarnya mereka tidak sadar." (QS. Al Mukminun ayat 55 - 56).

Kerisauan saya di atas makin terjawab dengan firman Allah SWT berikut ini,

"Maka tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kamipun membuka­kan semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka; sehingga apabila mereka gembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong, maka ketika itu mereka terdiam berputus asa." (QS. Al An'aam ayat 44).

Justru dengan tindakan kemaksiatan yang semakin menjadi-jadi yang bisa kita saksikan langsung 24 jam sehari, pintu-pintu kenikmatan semakin Allah buka lebar untuk mereka.

Hasilnya? Mereka menjadi orang yang paling menikmati kemewahan hidup, tapi jauh dari rahmat, berkah, dan ampunan Allah SWT. Kekayaan dan kekuasaan mereka hanya akan semakin membuat mereka lupa akan Allah dan RasulNya. Kenikmatan dan kemewahan yang mudah dan banyak itu akan menjadikan mereka manusia-manusia yang terasing dari Al Qur-an dan As Sunnah. Kehidupan duniawi itu membuat mereka hidup bagaikan dalam impian dan angan-angan. Rasulullah SAW bersabda,

"Sesungguhnya Allah memanjangkan angan-angan orang yang zhalim, sehingga ketika Allah ambil bagian mereka, tak ada yang tersisa sedikitpun."

Kehidupan dunia ini tidaklah kekal. Harta dan kekuasaan yang kita miliki tidaklah kekal. Ketika kita mati, maka harta dan kekuasaan itu tidak ikut serta ke dalam lubang kubur bersama-sama kita. Bahkan tak jarang, sebelum kita mati, justru harta dan kekuasaan itu sudah berpindah ke tangan orang lain. Allah SWT berfirman,

"...yang mengumpulkan harta dan menghitung-hitungnya, dia mengira bahwa hartanya itu dapat mengekalkannya. Sekali-kali tidak! Sesungguhnya, dia benar-benar akan dilemparkan ke dalam Huthamah. Dan tahukah kamu apa Huthamah itu? (yaitu) api (yang disediakan) Allah yang dinyalakan." (QS. Al Humazah ayat 2-6).

Padahal Allah SWT sudah memberikan sebuah early warning dalam firmanNya,

"Ketahuilah bahwa sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah antara kamu serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu." (QS. Al Hadiid ayat 20)

dan juga firmanNya,

"Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia dan di sisi Allahlah tempat kembali yang baik (surga). Katakanlah, 'Inginkah aku kabarkan kepadamu apa yang lebih baik dari yang demikian itu?' Untuk orang-orang yang bertaqwa (kepada Allah), pada sisi Tuhan mereka ada surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya. Dan (mereka dikaruniai) istri-istri yang disucikan serta keridhaan Allah. Dan Allah Maha Melihat akan hamba-hamba-Nya." (QS. Ali Imran ayat 14-15).

Lantas, bagaimana seharusnya kita mengambil sikap? Allah SWT berfirman, "Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan." (QS. Al Qashash ayat 77).

Kenikmatan dunia tidak terlarang. Tapi Allah mengingatkan bahwa hal itu bisa membuat kita terlupa akan tujuan kita : akhirat yang kekal abadi. Oleh karenanya kita ambil bahagian kenikmatan dunia kita sebagai batu loncatan untuk menuju kehidupan akhirat kita. Kita ambil bahagian kita itu dengan jalan yang halal dan seperlunya, maka itulah rezeki. Allah berikan berkah dan rahmat serta pahala atas rezeki itu. Hal itu akan membantu membuat hati kita menjadi bersih dan tenang. Allah SWt berfirman,

"Wahai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam jamaah hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam surga-Ku." (QS. Al Fajr ayat 27 - 30).

Wallahu a'lam bishawab.

Tomy Saleh. Kalibata. 12 Agustus 2008. 11:56WIB

Tidak ada komentar: