Beri Kami Ruang!

Terkenang oleh saya masa kanak-kanak dulu. Saya menikmatinya di wilayah Kebon Jeruk, Jakarta Barat, pada era tahun '80-an. Kebon Jeruk, waktu itu, adalah daerah yang (masih lumayan) sejuk. Banyak pepohonan besar. Air tanahnya pun bagus dan segar. Hampir setiap pulang sekolah, di siang hari, hingga sore hari saya dan teman-teman bermain di lapangan. Rumah kontrakan kami dikepung oleh banyak tanah lapang. Kami bisa memilih di lapangan mana kami mau bermain. Sepak bola, layang-layang, galasin (atau gobak sodor), bola kasti, petak lari, petak kadal, petak umpet, lomba tujuh belasan, hingga nonton layar tancep, dilakukan di lapangan-lapangan itu. Saya berbahagia bisa menikmati masa-masa itu. Masa di mana kami berinteraksi secara langsung dengan teman-teman. Tidak hanya anak-anak, orang-orang dewasa pun juga demikian.

Seiring waktu, tanah-tanah lapang itu kini lenyap. Sebagai gantinya berdiri sejumlah bangunan rumah, baik rumah mewah maupun rumah petak kontrakan. Tanah-tanah lapang yg kecil ukurannya pun sudah ditumbuhi oleh bangunan-bangunan. Kebun yang cukup besar di dekat tempat tinggal saya dulu, yang sinar mentari seolah tak mencapai tanahnya karena rimbun dedaunan dari pohon-pohonnya, sudah tinggal setengah. Separuh kebun itu berganti sejumlah bangunan rumah. Pohon-pohon durian dan melinjo sudah dibabat. Gantinya adalah tembok dari bata dan semen. Di gang-gang kini berbaris rumah-rumah petak kontrakan yang (nyaris) kumuh. Dulunya di tepi gang-gang itu banyak tanah lapang. Ada yang dijadikan lapangan badminton, ada pula yang berupa halaman dari sebuah rumah. Bekas rumah kontrakan saya dulu kini dikepung rumah-rumah. Kini (cukup) sulit mencari anak-anak bermain layang-layang, teriakan polosnya, tawa lepasnya, keceriaan wajahnya di bawah terpaan mentari, dan drama persahabatan, yang semuanya terjadi di tanah lapang atau kebun.

Berkurangnya tanah lapang, bahkan kini (seolah) dikompensasi dengan "arena virtual". Ya, video game, internet, blackberry, SMS, iPad, dan lain-lain. Dunia digital kini menyedot keramaian nyata tanah lapang. Sisi negatif perkembangan teknologi digital adalah semakin tidak diperlukannya ruang dan tatap muka. Sisi positifnya di antaranya adalah: saya bisa menulis ini di blog. Orang-orang memang secara fisik ramai berkumpul di pusat-pusat game digital. Tapi mereka menyerahkan perhatian dan pikiran mereka ke layar monitor. Fisik mereka berdampingan satu sama lain, tapi "nyawa" mereka tersekap di lapangan bola virtual, arena balap mobil virtual, atau di arena pertarungan virtual. Berjam-jam mereka duduk di sana dengan perhatian tercurah ke alam virtual. Tidak peduli betapa sumpeknya ruangan tempat mereka tekun bervideo game itu.

Di satu sisi, ada seorang kawan yang memuji-muji kecerdasan orang lain yang memanfaatkan lahan kosong (di Jakarta) dengan membangun rumah-rumah kontrakan. Orang itu dipuji karena dengan memiliki rumah kontrakan, maka ia telah memiliki bisnis property yang menguntungkan dan tidak perlu repot mencari uang dengan bekerja. Cukup punya beberapa rumah kontrakan, maka si empunya kontrakan bisa ongkang-ongkang kaki sementara tiap bulan uang sewa mengalir ke kantongnya. Tapi saya jadi miris. Apakah tidak terbersit dalam fikiran untuk menanami lahan kosong itu dengan pepohonan besar? Tidakkah ia lihat di Jakarta sudah sedemikian padat dan sumpek? Tidak inginkah ia meyaksikan pemandangan hijau nan asri di tanahnya itu? Mengapa ia lebih senang dengan batu bata dan semen serta gemerincing uang? Di dekat tempat tinggal saya sekarang, di Rawa Belong, Jakarta Barat, masih ada secuil tanah kosong yang ditumbuhi beberapa pohon rindang. Tapi belakangan saya kecewa, karena si empunya tanah hendak membangun kontrakan di tanahnya. Saya termangu menyaksikan asap pembakaran sisa akar pohon besar yang ditebangnya. Sedih.

Ya, lagi-lagi uang. Menghilangnya tanah-tanah lapang disebabkan oleh ketatnya persaingan dalam mencari (dan menguasai) rupiah (atau keserakahan?). Semakin banyak uang yang dimiliki, maka semakin terjamin dapur mengepulkan asap. Kalau begitu, ini bukan masalah uang, tapi masalah isi perut! Tragis. Kearifan bisa dinego dengan alat tukar untuk pengisi perut. Ruang tidak penting. Rasa nyaman tidak utama. Yang penting perut kenyang. Pohon-pohon ditebang, sawah dan rawa diurug, dan hutan bakau dibabat habis, demi berdirinya tembok-tembok.

Pemandangan kita sekarang jadi sempit. Di rumah bertemu tembok, keluar rumah bertemu tembok lagi, di jalan bertemu asap knalpot dan padatnya kendaraan, di kantor bertemu dengan sekat-sekat cubicle. Kita hanya menyaksikan kepadatan. Di televisi pun mata kita dipadati dengan jargon-jargon hipnosis materialisme dan konsumerisme. Mata letih, otak lelah, dan rasa lesu. Kearifan pantas jadi buntu. Kita (sepertinya) sedang dipaksa menjadi manusia kota yang individualis dan hampa. Apakah nikmat hidup seperti ini?

Kita butuh ruang. Saya dan anda butuh tatap muka dengan sesama. Saya kadang memimpikan punya uang yang banyak, lalu saya akan beli sejumlah tanah dan gedung di Jakarta dan akan saya jadikan taman-taman dan hutan-hutan kota. Semoga mimpi saya ini juga dimimpikan oleh orang kaya raya betulan.

Kita membutuhkan ruang untuk bertatap muka, bercengkerama, tegur sapa, bercanda, ngobrol, dan berolah raga dalam suasana yang akrab, penuh kekeluargaan, nyaman, dan asri di bawah naungan pepohonan. Taman-taman seperti Taman Menteng atau Taman Suropati harus diperbanyak di seantero Indonesia. Saya bermimpi di setiap kelurahan ada taman seperti itu. Ide untuk menutup jalan protokol di Jakarta pada hari ahad tertentu adalah ide bagus. Rakyat butuh ruang untuk mengekspresikan diri dan bersosialisasi. Ruang-ruang terbuka yang sudah adapun harus juga dirawat dengan baik.

Atas nama kearifan, beri kami ruang!

Wallahua'lam bisshowab.

Tomy Saleh. Kalibata. 4 Mei 2010. 16:17WIB

Tidak ada komentar: