Tiga Hal Yang Dilihat Ummat Terhadap Ulama

Ulama adalah pewaris Nabi. Demikian bunyi salah satu hadits yang terkenal dan sudah sama-sama kita hafal. Menurut Prof. Dr. Ahmad Satori Ismail, Guru besar UIN Jakarta, "...ulama adalah orang yang memiliki ilmu yang mumpuni sehingga ilmu tersebut membawa dirinya memiliki sifat khasyyah atau rasa takut hanya kepada Allah saja..." (dikutip dari: http://www.kebunhikmah.com/article-detail.php?artid=429). Allah SWT berfirman, "innama yakhsyallaha min ‘ibadihil ‘ulama’u......Sungguh, yang takut kepada Allah, di antara hamba-hambaNya, hanyalah para ulama.” (QS. Fathir (35): 28). Ulama adalah pewaris Nabi dalam hal iman, ilmu, dan amal. Nabi melakukan tabligh dan ta'lim kepada ummat. Begitu pula Ulama. Nabi adalah pembela dan pengayom ummat (murobbi). Begitu pula Ulama. Nabi menyampaikan kebenaran dan memerangi kemunkaran. Begitu pula ulama. Dengan wawasan keilmuan dan hikmah yang dimilikinya, Ulama adalah sosok manusia yang (sebenarnya) istimewa, di sisi Allah SWT dan RasulNya dan juga di sisi manusia.

Ummat (sadar atau tidak sadar) membutuhkan Ulama untuk saling membantu dalam menjalani kehidupan yang sesuai dengan fitrah manusia dan syari'atNya dalam naungan rahmat dan ridho Allah SWT. Ulama akan membantu mengarahkan, menasehati, membimbing, dan memberikan pengetahuan serta keteladanan kepada manusia untuk hal tersbut di atas. Namun, ummat sebenarnya hanya melihat tiga hal dari Ulama, yaitu keluasan ilmunya, akhlaqnya yang solid, dan keberanian dan ketegasannya.

1. Keluasan Ilmu
Ulama, sesuai definisi bahasanya adalah orang-orang yang berilmu. Orang-orang yang bodoh tidak disebut sebagai Ulama. Ilmu yang dimiliki Ulama adalah ilmu untuk menjalani kehidupan sesuai petunjuk Allah SWT dan RasulNya. Ulama adalah sosok manusia yang merasa dirinya bodoh sepanjang waktu yang oleh karenanya tidak pernah berhenti untuk terus belajar. Belajar ilmu-ilmu tekstual dan kontekstual. Ulama berhenti belajar ketika ia wafat. Oleh karena itulah Ulama memiliki ilmu di atas rata-rata manusia pada umumnya. Ulama adalah pembelajar sejati. Dengan kandungan ilmunya, maka pantaslah ia menjadi rujukan bagi manusia dalam menjawab berbagai pertanyaan dalam hidupnya.

Ulama juga manusia yang open minded. Bersedia menerima masukan (ilmu, hikmah, dan nasehat) dari siapa saja. Walaupun belakangan ada pula terjadi distorsi terhadap makna kata Ulama. Prof. Dr. Ahmad Satori Ismail menulis, "...Ada seorang yang baru bisa berceramah dan belum mendalam ilmu keislamannya sudah disebut ulama. bahkan di sebuah kampung terpencil, ada tokoh masyarakat yang biasa memimpin doa dalam berbagai acara keagamaan sudah disebut ulama dan diangkat sebagai anggota majlis ulama kecamatan padahal bacaan Al Qurannya masih blepotan..." (dikutip dari : http://www.kebunhikmah.com/article-detail.php?artid=429). "Ulama" macam ini yang perlu kita tinggalkan, tak peduli semenarik apapun gaya retorikanya, sebanyak apapun massa pengagumnya, dan sesering apapun dia tampil. Di salah satu televisi swasta bahkan ditayangkan show seorang dukun sesat (yang sangat kentara kemusyrikannya) yang diberi gelar "Ustadz". Dia memimpin acara yang diklaimnya sebagai dzikir dan sholawat yang dihadiri oleh ratusan bahkan ribuan orang, mulai dari orang-orang miskin, orang kaya, selebriti, tokoh masyarakat, dan pejabat. Si dukun sesat itu mengklaim bisa memindahkan penyakit yang diderita manusia ke medium telur atau hewan. Sekali lagi, kita harus menghindari "ulama" macam ini.

2. Akhlaq Yang Solid
Ilmu yang luas akan membuat ulama semakin tawadhu'. Seperti prinsip padi, makin berisi makin merunduk. Ulama akan rendah hati, bukan rendah diri. Ilmunya akan menumbuhkan akhlaq yang solid pada dirinya. Akhlaq yang solid adalah suatu sikap yang telah begitu menyatu dengan kepribadiannya. Akhlaq itu adalah dirinya dan dirinya adalah akhlaq itu. Solid. Akhlaqnya bukan sekedar topeng dan pemanis ketika tampil di podium atau di tv. Ulama memiliki sopan santun yang sangat bagus. Ulama menghormati sesama manusia. Ulama menyayangi dan menyantuni yang lemah. Ulama juga menjaga lingkungan hidup, karena hal itu bagian dari sifat kasih sayangnya.

Akhlaqnya kepada Allah, kepada RasulNya, kepada sesama manusia, dan kepada alam di sekitarnya, begitu luar biasa. Ummat membutuhkan Ulama yang seperti itu. Jangan sampai kita tertipu oleh Ulama yang berakhlaq abal-abal. Halusnya tutur bahasa, tetesan airmatanya, fasih ucapannya, yang ternyata hanya keperluan show di hadapan manusia. Akhlaq itu bukan bagian dari dirinya. Dan jangan pula kita manut pada Ulama yang gemar menebar fitnah, gossip, rumor, dan tuduhan tanpa bukti. Ucapan dan perilakunya kasar. Begitu pula Ulama yang sombong dan merasa dia sudah sangat pandai dan berilmu dibandingkan seluruh manusia. Bahkan orang seperti itu sangat patut kita pertanyakan keulamaannya.

3. Keberanian dan Ketegasan
Salah satu tugas Ulama (yang sebenarnya juga merupakan tugas kita semua) adalah menyampaikan kebenaran dan memerangi kemunkaran. Nabi bersabda, "Sampaikanlah kebenaran walapun pahit rasanya". Berbekal ilmunya, Ulama memiliki landasan ilmiah untuk memperkuat amaliyah dalam ammar ma'ruf nahi munkar. Oleh karenanya Ulama memiliki keberanian dan ketegasan. Ulama berani menyampaikan bahwa yang benar adalah benar dan yang bathil adalah bathil kepada seluruh manusia, mulai dari wong cilik, orang kaya, pejabat, penjahat, dan lain-lain sesuai dengan bahasa mereka masing-masing. Nabi bersabda, "Jihad yang paling afdhol adalah menyampaikan kebenaran di depan penguasa". Dan kita telah menyaksikan deretan Ulama yang telah melakukan jihad yang afdhol tersebut. Dengan gagah berani mereka menyuarakan kebenaran kepada penguasa yang zalim. Ulama menyampaikan aspirasi ummat yang tertindas kepada penguasa penindas. Ulama bersuara lantang membela aqidah kepada penguasa yang membiarkan kesesatan tumbuh subur.

Abdullah bin Umar, Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Mas'ud, Sa'id bin Jubair, Ahmad bin Hanbal, Abu Hanifah, Ibnu Taimiyyah, Hasan Al Banna, Sayyid Quthub, Muhammad Natsir, dan lain-lain, adalah sebahagian kecil contoh nama para Ulama pembela kebenaran. Ummat amat membutuhkan Ulama yang berani dan tegas, tanpa harus meninggalkan rasa penghormatan terhadap sesama. Ummat tidak membutuhkan Ulama penakut. Ummat tidak butuh Ulama yang berselingkuh dengan kekuasaan zalim. Ummat tidak memerlukan Ulama tukang stempel yang senantiasa memberikan dalil penguat bagi kebijakan penguasa yang menindas rakyat. Ummat harus menjauhi Ulama yang lembek terhadap sogokan duniawi untuk meredam kerasnya suara dalam membela kebenaran. Ummat memerlukan pembelaan dari Ulama pemberani.

Ulama yang memiliki (setidaknya) ketiga hal di atas adalah pewaris Nabi yang sejati. Ulama yang didambakan kehadirannya dan ditangisi kepergiannya oleh ummat. Ada sebuah puisi pendek yang merupakan suara hati salah satu komponen ummat terhada Ulama:

Kami Masih Percaya

Kami yang terbelenggu di sini hanya menelan ludah
Ketika engkau terdiam belaka menyaksikannya :
Para setan menghina akal dan membunuh nurani

Kami yakin engkau bukan kuda perang gagah
Yang cuma memanggul pedang ilmu di punggungnya
Tanpa pernah bisa menghunusnya untuk menegakkan kebenaran

TomySaleh.Kalibata.18Jul2007.20:00wib


Ditulis oleh: Tomy Saleh. Kalibata. 28 Juli 2008. 16:23WIB (Selamat kepada Majelis Budaya Rakyat atas Premiere film "Sang Murabbi", Ahad, 27 Juli 2008, sebuah film tentang biografi Ulama yang memiliki ilmu yang luas, akhlaq yang solid, dan berani: Allahyarham Ustadz H. Rahmat Abdullah)

Tidak ada komentar: