Dua Sumber Bencana Kehidupan

Setiap hari kita disuguhkan berbagai macam informasi atau berita mengenai kekerasan: suami membunuh istri, istri menganiaya anak, anak memukuli orang tua, tawuran antar kampung, konflik berdarah dalam pilkadal, anggota gangster melakukan kebrutalan terhadap warga, pelajar putri SMP melakukan aborsi, penipuan, korupsi, ancaman bom, selebriti selingkuh, dan lain-lain. Semuanya itu menjadi sampah pemikiran yang terus menerus mengisi pikiran kita setiap pagi, siang, sore, dan malam. Kita bangun tidur dengan jiwa yang gelisah dan tidur dengan hati yang letih. Begitu setiap hari. Kejahatan melakukan regenerasi dan kaderisasi setiap detik. Negeri ini dipenuhi oleh aroma hati yang membusuk dan pikiran kriminil. Kebathilan mendominasi atmosfir opini tanah air tercinta.

Apabila kemudian terjadi segala macam bencana, maka rasanya kehadiran "tamu" tersebut adalah wajar belaka. Allah SWT berfirman dalam surat Ar Rum ayat 41, "Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia; Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagaian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)”.

Jika ditilik lebih mendalam lagi, pada hakikatnya penyebab semua malapetaka dunia ini (setidaknya) ada dua, yaitu Kebodohan dan Kesombongan. Semua ragam kejahatan, kenistaan, keburukan, dan malapetaka bersumber dari dua hal tersebut.

Sumber pertama adalah kebodohan. Kebodohan yang dimaksud adalah keterasingan dari wawasan wahyu suci. Hati dan fikirannya jauh dari pemahaman terhadap petunjuk Allah SWT dan RasulNya. Sehingga semua tindakan, ucapan, tulisan, kebijakan, dan hasil pemikirannya tidak memiliki dasar referensi dan bingkai Islami yang rahmatan lil 'alamin. Segala yang berasal dari dirinya tidak dimaksudkan dan tidak dalam kerangka pengabdian kepada Allah SWT. Lebih semata-mata karena kemauan hawa nafsunya.

Ketiadaan wawasan ini akan mengakibatkan manusia tidak lagi mengindahkan kaidah halal - haram dan juga kaidah manfaat-mafsadat dalam berfikir dan bertindak. Apapun yang diinginkannya dan yang muncul di fikirannya akan (bahkan harus) diwujudkan. Seringkali tidak memperdulikan ekses yang (mungkin) timbul dari hal tersebut (baik positif maupun negatif). Maka kita bisa saksikan parade pertunjukan malapetaka itu: korupsi yang dianggap halal dan lumrah, kebijakan pemerintah yang kontra rakyat dan lingkungan hidup, pembunuhan, perselingkuhan, skandal, pornografi dan pornoaksi di media cetak dan elektronik, kampanye dan sosialisasi budaya permissive, tayangan sinetron yang amoral, kerusuhan sara, pertikaian berdarah dalam ajang pilkadal, dan sebagainya. Rakyat diajak untuk menjadi bodoh. Kurikulum pendidikanpun lebih cenderung ke arah menghasilkan robot-robot untuk memenuhi kebutuhan industri kapitalis. Itupun masih ditambah dengan biaya pendidikan yang sangat mahal. Bayangkan, bahkan untuk menjadi robot miskin nurani pun harus mengeluarkan biaya tinggi. Sungguh dahsyat tayangan peradaban bar-bar ini.

Akibat kebodohan ini yang terus menerus diperdengarkan dan dipertontonkan, maka perlahan tapi pasti akan terbentuk suatu iklim kebodohan massal. Tercipta sebuah masyarakat yang bodoh. Kalaupun ada pihak-pihak yang sadar akan hal ini, sebahagian besar mereka hanya diam saja dan bersikap apatis. Hanya sedikit dari mereka yang berjuang sepenuh hati untuk memerangi kebudayaan bodoh ini.

Bila iklim kebodohan ini dibiarkan terus, maka ummat semakin asing dari firman Allah SWT dan sunnah RasulNya. Maka adzab Allah SWT tiba dan menimpa siapapun juga. Allah SWT berfirman dalam surat Al Anfaal ayat 25, "Takutlah kalian kepada fitnah/bencana yang tidak hanya menimpa orang-orang zalim di antara kalian". Kebodohan berujung pada bencana.

Sumber kedua adalah kesombongan. Sombong adalah menolak kebenaran dan merendahkan orang lain. Iblis adalah pionir sifat sombong ini. Dia merasa lebih mulia dari Adam 'alaihissalaam, karena dia diciptakan dari api, sedangkan Adam 'alaihissalaam diciptakan dari tanah. Karena perasaan itulah Iblis menolak perintah Allah SWT untuk sujud kepada Adam 'alaihissalaam. Menolak perintah Allah SWT adalah sebuah bentuk penolakan terhadap kebenaran, karena Allah SWT adalah Maha Benar dan sumber kebenaran mutlak satu-satunya. Iblis merasa lebih hebat dan lebih mulia, padahal tidak ada yang lebih hebat dan lebih mulia kecuali Allah SWT.

Manusia yang sombong adalah manusia yang meneladani Iblis. Manusia sombong merasa dirinya lebih hebat. Merasa memiliki kemampuan diri sendiri untuk melakukan apapun yang diinginkannya. Senantiasa mengklaim setiap pencapaian prestasinya, keberhasilannya, kekayaannya, dan kekuasaannya adalah berasal dari kerja keras otak dan ototnya semata. Mata hatinya tertutup oleh rasa takjub atas apa yang telah dihasilkan oleh dirinya sendiri berupa pikiran dan perbuatan, sehingga lupa bahwa Allah SWT-lah yang mendatangkan segala kemanisan, kesuksesan, kecemerlangan, kekayaan, dan juga kekuasaannya.

Seperti Qarun yang kaya raya tapi lupa kepada Allah SWT dengan mengklaim bahwa kekayaannya itu bersumber dari hasil kecerdasan dan kerja kerasnya semata. Tidak ada rasa syukur. Pada akhirnya Allah SWT menurunkan adzab kepada Qarun: bumi menelan Qarun beserta seluruh harta benda kebanggaannya itu.

Manusia memang sudah Allah berikan akal fikiran dan sudah pula dihamparkan alam semesta untuk diolah. Tapi pengolahan ini semata-mata sebagai bentuk pengabdian. Allah SWT berfirman dalam surat Adz Dzariyat ayat 56, "Tidaklah aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepadaku". Pengolahan alam semesta dengan bekal karunia Allah SWT pada diri manusia adalah sebuah batu loncatan untuk mencapai ridho dan rahmat Allah SWT. Bukan untuk fokus ke pengolahan itu sendiri.

Namun manusia sombong memiliki karakteristik pandangannya sendiri. Karunia Allah SWT yang hebat itu justru dipergunakan untuk mengolah alam bagi kejayaan pribadi dan diakui sebagai hasil upaya pribadi. Bukan untuk mengabdi kepada Allah SWT. Karena melihat kesuksesan demi kesuksesan yang diraih dengan optimalisasi potensi dirinya (yang merupakan karunia Allah SWT) dalam mengolah alam, maka hawa nafsu semakin berperan dalam mengendalikan diri manusia sombong. Tidak ada kata puas dalam meraih segala macam bentuk kenikmatan yang ditawarkan dunia. Benarlah sabda Rasulullah SAW, "Jika manusia diberi emas setinggi gunung uhud, maka dia akan menginginkan lebih lagi".

Maka terjadilah persaingan dalam merebut sumber-sumber kenikmatan duniawi. Saling berlomba (munafasah, bukan musabaqoh) dalam menguasai harta dan tahta. Segala macam cara ditempuh untuk meraihnya. Maka kita saksikan kembali parade pertunjukan malapetaka: semburan lumpur lapindo, tanah longsor akibat pembalakan liar, banjir, kebakaran hutan, kerusuhan sosial berdarah akibat pertarungan perebutan kekuasaan secara tidak fair, kongkalikong pengusaha dan penguasa yang merugikan rakyat, peperangan, dan sebagainya.

Kemanusiaan dinomorduakan. Hawa nafsu diutamakan. Syariat Allah SWT diinjak-injak dan dihinakan, sementara aturan carut-marut yang menindas harkat dan martabat manusia dijunjung tinggi. Sejumlah alasan dipergunakan untuk pembenaran aksi-aksi kesombongan ini: demokrasi, toleransi, liberalisme, pluralisme, dan hak asasi manusia. Kesombongan berujung pada bencana.

Semua upaya untuk memerangi segala macam petaka itu harus dimulai dari pemberantasan akar masalahnya. Berantas kebodohan dan kesombongan. Secara sederhana dan garis besar, obat dari kebodohan adalah belajar, sedangkan obat kesombongan adalah dzikrul maut. Hal ini disadari masih memerlukan penjabaran yang lebih detail dan teliti. Tentunya setiap perjuangan memerlukan tahapannya sendiri yang harus dirumuskan dengan seksama dan dilaksanakan dengan sungguh-sungguh dalam suasana ukhuwah Islamiyah. Setidaknya kita bisa memulainya dari diri kita sendiri.

Wallahu a'lam bisshowab.

Tomy Saleh. Kalibata. 29 Juli 2008. 15:29WIB

Tidak ada komentar: