Wanita Rumahan Yang Mulia

Istri saya adalah wanita yang, menurut pengakuannya sendiri, simpel. Sederhana. Memang itulah yang saya lihat sehari-hari, mulai dari pola pikir, cara berpakaian, tutur kata, pilihan bacaan dan tontonannya, hingga perilaku. Ia adalah tipe wanita rumahan. Atas kemauannya sendiri, jauh sebelum menikah, ia memutuskan untuk berhenti bekerja. Ia tidak lagi memiliki gairah untuk jadi wanita karir. Ia ingin jadi wanita rumahan. Saya perhatikan, seolah gerak panca inderanya sudah mencerminkan hal itu. Tangannya prigel mengerjakan berbagai pekerjaan khas ibu rumah tangga. Ia tampak senang dengan pilihannya itu.

Rutinitas yang dilakukannya terhadap saya adalah menyediakan sarapan, menyediakan bekal makan siang, menyediakan segelas teh hijau tubruk tiap pagi dan sore, dan lain-lain. Hal-hal itu dilakukannya begitu saja. Seolah sudah include dalam dirinya. Sudah terprogram. Saya tidak memintanya. Apakah saya senang? Saya rasa hanya orang kurang waras yang tidak bahagia dengan hal-hal yang seperti saya alami di atas. Saya bahagia. Tenang tenteram. Doa saya untuknya dan ungkapan cinta kepadanya seperti wirid harian yang wajib saya lakukan. Apakah ini karena kami masih pengantin baru? Saya berdoa, bersama istri saya, semoga hal-hal seperti ini berlangsung sampai kami wafat.

Istri saya juga bukan seorang public speaker. Ia pemalu. Bukan aktivis perempuan yang mampu mengorganisir dan mengelola masyarakat. Bukan pula seorang penulis hebat atau penyair. Ia hanya ingin mengelola rumah tangga dengan sempurna. Ia ingin anak-anaknya, kelak, jadi anak-anak yang saleh, hafal Al Qur-an, dan berguna bagi bangsa. Ia ingin memastikan seluruh anggota rumah tangganya tidak kurang suatu apapun, seperti penampilannya, kebersihannya, dan kesehatannya. Keterampilannya dan harapannya itu, menurut saya, bertemu. Klop. Saya berdoa semoga cita-citanya itu dapat terwujud.

Mengapa saya "narsis" menyebut-nyebut "keberuntungan" saya itu? Ada "kegelisahan" saya membaca sebuah tweet di twitter. Isinya menyatakan bahwa esensi dari peringatan hari Kartini adalah untuk membebaskan wanita dari domestifikasi. Bagi si penulis tweet itu, tampaknya ia beranggapan bahwa wanita rumahan adalah bentuk lain dari perendahan derajat wanita. Baginya (mungkin) wanita harus dibebaskan. Penyamaan hak dan kewajiban wanita dan pria dalam pengertian yang seluas-luasnya. Topik seperti ini sebenarnya sudah banyak sekali dibahas di berbagai forum, tulisan, dan media. Saya hanya ingin mengatakan bahwa menjadi wanita rumahan bukanlah hal yang rendah dan hina. Saya bisa bilang begitu karena saya sudah membuktikannya. "Derajat" istri saya sama sekali tidak "jatuh". Saya pun sama sekali tidak tergerak untuk lantas memanfaatkan kultur melayani istri saya itu untuk menunjukkan ego saya. Tidak terbersit keinginan untuk "memperbudak" istri saya. Memerintah ini itu, meminta ini itu, memaksakan kehendak ini itu. Tidak. Saya justru menaruh rasa hormat dan sayang pada istri saya. Kesederhanaannya sebagai wanita rumahan justru memunculkan ketakjuban dan rasa syukur saya kepada Allah SWT. Bagi saya ia adalah wanita mulia. Tidak jadi soal bagi saya, kalau istri saya bukan aktivis, public speaker, penulis, analis, organisatoris, dan wanita karir. Cukup ia di rumah dan memastikan semuanya dalam keadaan baik, bahagialah saya. Ini pun mendorong saya untuk melakukan kewajiban saya terhadap istri saya sepenuh hati: perhatian, perlindungan, nafkah lahir batin, berbagi wawasan, dan ungkapan cinta kasih.

Menjadi wanita domestik adalah mulia. Asalkan tidak dengan tekanan. Tidak dengan unsur pemanfaatan untuk menjajah wanita. Dan tidak dikekang untuk mendapatkan hak-hak dasarnya seperti pendidikan, kasih sayang, perhatian, dan perlindungan. Apakah wanita rumahan tidak memiliki nilai guna bagi bangsa? Ini jelas keliru! Dunia kita ini sarat dengan para pahlawan hebat yang dilahirkan dan dididik oleh wanita rumahan yang sederhana. Wanita rumahan bisa mencurahkan perhatian penuh pada anak-anak mereka. Setiap episode pertumbuhan anak-anaknya tidak luput dari pengamatannya. Ia hadir di sana, dalam arti harfiah maupun batiniah. Anak-anak (dan suami) menjadi tenang. Mereka bisa tumbuh bersama menjadi manusia-manusia hebat, dalam naungan kasih sayang ibu.

Jadi tidak perlu meng-under estimate wanita rumahan, sebagaimana juga tidak perlu terlalu mengelu-elukan gagasan pembebasan wanita seluas-luasnya. Hak dan kewajiban pria dan wanita harus dipenuhi secara adil dan terjamin. Selamat hari Kartini!

Tomy Saleh. Kalibata. 21 April 2010. 11:19WIB
*Apresiasi terhadap wanita hebat dlm rangka kontribusi lomba menulis yang diadakan http://blogdetik.com

Tidak ada komentar: