Kombinasi Tepat: Ammar Ma’ruf Dan Nahi Munkar

Apakah padi bisa tumbuh sempurna,

sementara dia dikitari oleh rerumputan dan serangga?

Jangan lagi bicara indahnya kelak buah bulir emasnya,

bahkan hatiku meyakini ia akan mati muda


Alam fikiran publik kita akhir-akhir ini diisi oleh berbagai hal, sebagai dampak kebebasan informasi, yang kontroversi. Fenomena yang bertentangan dengan “mainstream” sosio-kultural bangsa, mengemuka dengan telanjang dan dalam eskalasi yang cukup tajam.

Jika di Jakarta ada ‘balita’, banjir lima tahunan (yang sekarang bahkan bisa setiap tahun), maka sesungguhnya bangsa ini juga mengalami banjir bandang informasi. Hal ini mencuat terutama sejak era reformasi di mana segala peraturan yang mengekang kebebasan publik untuk mengakses dan menyebarkan informasi, mulai direvisi bahkan dihapus. Bagaikan air yang dibendung lalu bendungannya jebol, maka air tumpah ruah merambah segala arah, itulah arus kebebasan informasi di negeri kita. Kebebasan dijadikan atas nama.

Sisi positifnya tentu ada. Khususnya bagi kaum muslimin di mana pada masa lalu termasuk pihak yang paling banyak dirugikan dengan pengekangan ini. Sudah menjadi hal umum diketahui bahwa aktivitas keagamaan seperti pengajian atau ceramah diawasi dengan ketat. Ummat terhalang secara sistemik untuk mendapatkan pencerahan cahaya ilmu agama. Namun kini kondisinya sudah berbalik. Setiap stasiun televisi berlomba memasukkan tayangan keagamaan dalam programnya. Radio, koran, majalah, dan internet juga sangat ramai diisi oleh suara-suara da’wah. Ummat kini memiliki banyak pilihan untuk mendapatkan pencerahan tersebut di atas. Tidak hanya itu, ummat juga bisa menyuarakan atau menyatakan hak atau pendapatnya melalui media massa (termasuk kritik dan saran kepada pemerintah).

Sisi negatifnya adalah para pengusung kebathilan dan penggemar pengumbar nafsu syahwat juga memiliki hak yang sama untuk menyebarkan informasi (tentu saja informasi yang bathil). Media cetak porno sekarang bebas terbit dan beredar di mana saja. Bahkan anak-anak di bawah umur pun bisa mengaksesnya. Yang paling fenomenal adalah maraknya (kembali) era filem-filem syur di bioskop. Atas nama kebebasan berekspresi dan tuntutan skenario dan profesionalisme, para produser, artis, dan sutradara berkolaborasi membuat produk-produk berbasis syahwat untuk dikonsumsi oleh publik. Dunia maya? Jangan ditanya ! Di sana tidak ada sensor sama sekali dan semua kalangan tanpa terkecuali bisa mengaksesnya dengan bebas lepas.

Selain pornografi, ada pula fenomena kebebasan menyatakan pendapat, tetapi dalam versi yang amat sangat liberal: apapun bisa disuarakan atau diekspresikan selama tidak ada yang terganggu secara fisik. Maka bermunculanlah para “pemikir dan filosof” instan yang menjajakan logika nyleneh, juga muncul para “nabi” baru, para “malaikat” baru, juga “Tuhan” baru. Sebagai “pelengkap penderita”, berkembang pula paham pemikiran SEPILIS, Sekulerisme-Pluralisme-Liberalisme, yang beberapa waktu lalu telah difatwakan haram oleh MUI karena merusak aqidah Islam.

Maraknya kebathilan di tengah-tengah kehidupan kaum muslimin di Indonesia saat ini justru mendapatkan pembelaan. Dalihnya adalah HAM dan kebebasan berekspresi. Bahkan ada pula yang menambahkan logika berfikir bahwa “yang penting adalah bagaimana orangnya, jika lingkungannya rusak, tapi orangnya baik, maka ia akan tetap baik.”. Logika ini sering digemakan melalui corong media massa dan disaksikan dan disimak oleh jutaan ummat. Tujuannya hendak membiasakan dan membudayakan kebathilan di tengah-tengah kehidupan ummat. Hingga tertanam di benak ummat bahwa semua hal boleh adanya dan setiap orang boleh memilih (juga menyediakan pilihan). Boleh jadi, jika logika dan keadaan ini dibiarkan, di masa yang akan datang adalah hal yang lumrah jika persis di samping masjid dan sekolah ada toko miras dan rumah bordil. Film-film porno akan jauh lebih merajalela dan kehidupan permisif akan lebih massif merasuk ke struktur ummat.

Dengan berbekal logika ini, banyak orang yang tidak peduli lagi dengan nasib lingkungan yang sudah mulai rusak akhlaqnya. Sektor kebathilan, secara real ekonomis, mendatangkan materi dengan cepat. Ini menjadi faktor yang menarik hati banyak pihak. Ujungnya selalu kembali kepada kebendaan atau materialisme. Produsen kebathilan semakin merajalela dan masyarakat umum terbuai menjadi penikmat produknya atau malah memilih bersikap apatis. Hanya sedikit yang kritis dan lebih sedikit lagi yang bersikap kritis-solutif.

Bagaimana Islam memandang hal ini? Allah SWT berfirman:

Dan janganlah kamu campur adukkan yang haq dengan yang bathil dan janganlah kamu sembunyikan yang haq itu, sedang kamu mengetahui. QS. al-Baqarah (2) : 42

“Yang Haq” adalah kebenaran, nilai-nilai kehidupan luhur yang robbani (yang ‘memanusiakan’ manusia), akhlaqul karimah, dan sistem kehidupan yang berlandaskan pada Al Qur-an dan As Sunnah. Yang haq tersebut harus ditegakkan dengan sempurna tanpa ada gangguan dari yang bathil (kerusakan, permisif, perampasan hak orang lain, pengumbaran nafsu syahwat, penindasan, penistaan terhadap ayat-ayat Allah, SEPILIS, dan lain-lain). Maka itu, yang haq harus ditampilkan dan dikokohkan. Jangan dicampur dengan yang bathil. Setiap muncul yang bathil, maka harus ada tindakan yang sistemik penuh hikmah untuk mengeliminasinya agar ummat bisa selamat.

Rasulullah SAW bersabda:

"Barang siapa di antara kalian melihat kemungkaran, hendaklah ia mengubahnya dengan tangannya. Jika tidak bisa melakukannya dengan tangannya, hendaklah ia mengubahnya dengan lisannya. Jika tidak bisa melakukannya dengan lisannya, hendaklah ia melakukan dengan hatinya. Itulah iman yang paling lemah." (Diriwayatkan Muslim)

Oleh karena itulah, di dalam Islam itu ada ajaran “Ammar Ma’ruf, Nahi Munkar” yang sering diartikan dengan “Menyeru/mengajak pada kebenaran, dan mencegah dari yang keburukan”. Mengapa kebenaran dinamakan “Ma’ruf”? Secara akar kata, ma’ruf juga memiliki makna “dikenal”, jadi pada hakikatnya (nilai-nilai) kebenaran adalah sesuatu yang sudah dikenal oleh (fitrah) manusia. Bukan barang asing. Hati nurani terdalam manusia sudah mengenal kebenaran. Dosa-dosa serta kemalasan dan kebodohanlah yang menutupinya sehingga seolah-olah tidak mengenalnya. Mengapa pula keburukan dinamakan “munkar”? Secara akar kata, munkar juga memiliki makna “tertolak”, jadi pada hakikatnya, segala hal yang buruk itu adalah tertolak oleh fitrah manusia. Ketika manusia melakukan keburukan atau dosa maka hal itu sama dengan membohongi hati nurani terdalamnya (fitrahnya). Ajaran “ammar ma’ruf, nahi munkar” adalah ajaran yang sesuai dengan fitrah manusia. Misinya adalah untuk melestarikan dan mengembangkan kehidupan manusia yang luhur bernafaskan nilai-nilai robbaniyah. Fitrah manusia akan terjaga, dengan kata lain “memanusiakan manusia”.

Kombinasi keduanya adalah kemestian. Tidak bisa kita memilih salah satunya. Misalnya kita memilih hanya point “ammar ma’ruf” saja dan mengabaikan “nahi munkar”. Ini tak ubahnya seperti para rahib yahudi pada zaman dahulu kala. Mereka mengasingkan diri di dalam biara-biara mereka. Mereka mengutuk kemunkaran, tapi tidak ada suatu tindakan apapun untuk mencegahnya. Mereka merasa cukup aman dengan masuk ke biaranya lalu beribadah dengan sangat khusyu’. Sementara lingkungan sekitarnya mengalami kerusakan akhlaq dan kebathilan sangat kokoh berdiri. Pada akhirnya mereka dikutuk oleh Allah SWT, karena membiarkan manusia lain rusak. Mari kita lihat firman Allah SWT:

Dan peliharalah dirimu dari pada siksaan yang tidak khusus menimpa orang-orang yang zalim saja di antara kamu. Dan ketahuilah bahwa Allah amat keras siksaan-Nya. QS. al-Anfal (8) : 25

Ayat ini meperingatkan kita bahwa ketika ada yang berbuat zholim (munkar) maka dampak siksaan atau bencana yang ditimbulkannya akan mengenai semua pihak, baik yang berbuat zholim maupun yang tidak. Jadi, jangan ambil resiko, cegahlah kezholiman atau kemunkaran dengan segala cara, sebagaimana hadits di atas.

Atau kita memilih point “nahi munkar” saja dan mengabaikan “ammar ma’ruf”. Maka kita akan memasuki dunia yang (mungkin) tertib, tapi kaku dan tidak akan ada keberanian untuk melakukan kreatifitas. Potensi kita untuk mengembangkan kehidupan boleh jadi akan mati. Hidup bagaikan robot atau patung. Padahal Allah SWT menghamparkan bumi ini plus memberikan karunia akal fikiran adalah untuk dioptimalkan dalam rangka ibadah kepadaNya.

Kombinasi ammar ma’ruf dan nahi munkar adalah sebuah aksioma. Keduanya adalah satu paket, bukan pilihan. Dengan demikian akan tercipta kehidupan manusia yang akan mendatangkan rahmat bagi semesta (rahmatan lil ‘alamin).


Sungguh elok singsingkan lengan baju

Halau serangga dan singkirkan rerumput

Lalu tebar pupuk dan aliri air tanpa jemu

Pepadi bernas jua kelak yang kau jumput


Wallahu a’lam bishowab.

Tomy Bustomy. Kalibata. 25 Feb 2010. 14:18WIB

Tidak ada komentar: