Para Penyeru Atau Pengeruk Keuntungan Duniawi?

Abdullah bin Ummi Maktum adalah seorang yang sederhana. Walaupun beliau tuna netra, tapi spiritnya untuk mengabdi kepada Allah SWT dan mengikuti Rasulullah SAW begitu dahsyat. Buta bukan halangan bagi beliau untuk meraih ridho Allah dan RasulNya. Abdullah bin Ummi Maktum sangat cinta kepada Allah dan RasulNya. Beliau seolah tidak ingin melewatkan setiap moment untuk mendengarkan taushiyah dari firman-firman Allah SWT, karena hal itulah yang akan menerangi pandangan mata batinnya, menguatkan dirinya, dan menenangkan jiwanya. Semangat belajarnya luar biasa. Maka ketika didengarnya informasi bahwa Rasulullah SAW akan menyampaikan firman Allah SWT di suatu tempat, beliau begitu antusias mendatanginya. Tapi, ketika beliau tiba di lokasi, air muka Rasulullah SAW terlihat seperti agak kurang berkenan. Bukan karena Rasulullah SAW tidak mencintai Abdullah bin Ummi Maktum, tapi karena kehadiran Abdullah bin Ummi Maktum bukan pada waktu dan tempat yang tepat. Saat ini, target market Rasulullah SAW adalah para tokoh dan para pembesar. Jadi forum itu khusus untuk mereka. Forum untuk masyarakat biasa akan ada lagi nanti. Apa yang dilakukan Rasulullah SAW, sepintas adalah wajar. Da'wah yang segmented. Da'wah yang sasarannya khusus. Jadi Rasulullah SAW hanya bermaksud memberikan treatment da'wah yang spesial untuk golongan tokoh dan pembesar. Untuk golongan mustadh'afin, ada lagi pola-nya. Maka itu kehadiran Abdullah bin Ummi Maktum di forum tersebut dirasa kurang pas, karena bukan segmennya.

Namun, Allah SWT justru membimbing dan mengarahkan bagaimana seharusnya penyikapan Rasulullah SAW tersebut terhadap hal ini, melalui firmanNya dalam surat Abasa sebagai berikut, "(1) Dia (Muhammad) bermuka masam dan berpaling, (2) karena telah datang seorang buta kepadanya. (3) Tahukah engkau barangkali ia ingin membersihkan dirinya (dari dosa), (4) atau dia (ingin) mendapatkan pengajaran, lalu pengajaran itu memberi manfaat kepadanya? (5) Adapun orang yang merasa dirinya serba cukup, (6) maka kamu melayaninya. (7) Padahal tidak ada (celaan) atasmu kalau dia tidak membersihkan diri (beriman). (8) Dan adapun orang yang datang kepadamu dengan bersegera (untuk mendapatkan pengajaran), (9) sedang ia takut kepada (Allah), (10) maka kamu mengabaikannya. (11) Sekali-kali jangan (demikian)! Sesungguhnya ajaran-ajaran Tuhan itu adalah suatu peringatan, (12) maka barangsiapa yang menghendaki, tentulah ia memperhatikannya, (13) di dalam kitab-kitab yang dimuliakan, (14) Yang ditinggikan lagi disucikan, (15) di tangan para penulis (utusan), (16) Yang mulia lagi berbakti......".

Di sisi Allah SWT, manusia manapun sama saja. Yang membedakannya hanyalah ketaqwaan. Surat Abasa memberikan kita pelajaran mahal, bahwa kita hendaknya tidak memperlakukan manusia hanya berdasarkan pada apa yang dimilikinya (harta dan tahta). Manusia yang imannya menyala-nyala dan semangat jihadnya berkobar-kobar (seperti sahabat Rasulullah, Abdullah bin Ummi Maktum) sekalipun ia miskin dan bertampang jelek, jauh lebih baik di sisi Allah dari pada para tokoh yang kaya raya lagi rupawan tapi belum beriman. Begitu pula dengan aktivitas da'wah yang bersifat universal, dalam pengertian da'wah ditujukan ke siapapun jua. Tidak melihat gender, ras, tingkat kesejahteraan, dan warna kulit. Semuanya berhak untuk mendapatkan da'wah. Inilah salah satu bukti keuniversalan ajaran Islam. Juru da'wah (da'i) yang profesional tidak akan pilih kasih dalam menyampaikan da'wahnya. Rasulullah SAW telah memberikan teladan yang sempurna akan hal ini.

Rasulullah SAW adalah contoh da'i sejati. Siapapun akan didatanginya untuk menyampaikan kabar gembira dari Allah SWT. Rakyat jelata hingga penguasa tak luput dari perhatian dan kasih sayangnya dalam menyampaikan da'wah. Hanya Allah SWT yang Maha Mengetahui berapa banyak harta yang telah dikeluarkan oleh Rasulullah untuk mendukung aktivitasnya itu. Feed back yang beliau terima seringkali tidak mengenakkan: caci maki, dituduh tukang sihir, wajahnya dilempari pasir hingga beliau kesulitan melihat, dilumuri kotoran unta saat sedang sholat, dilempari batu, diludahi, diracuni, diguna-guna, diancam pembunuhan, hingga diboikot. Di samping, tentu saja, orang-orang yang hatinya tercerahkan lalu menjadi pengikut setia beliau.

Sudah sepatutnyalah para juru da'wah yang bertugas menyampaikan ajaran Islam itu mencontoh Rasulullah SAW. Mereka, para juru da'wah itu, adalah orang-orang yang mengamalkan perintah Rasulullah, "Sampaikanlah dariku walaupun cuma satu ayat". Para da'i meneruskan "pekerjaan warisan" Rasulullah SAW yaitu berda'wah mengajak manusia kembali ke jalan Allah SWT. Mengajak manusia untuk hidup secara Islami (hidup yang sesuai dengan Al Qur-an dan As Sunnah). Pada hakikatnya, sungguh mulia pekerjaan tersebut dan sungguh mulia orang-orang yang melakukannya.

Namun fenomena kekinian justru agak mengganggu pandangan kemuliaan tersebut. Apa pasal? Hal ini disebabkan oleh segelintir kecil kelakuan para da'i yang kurang baik dalam menjalankan tugas sucinya itu. Jika dulu Rasulullah SAW menyampaikan da'wah kepada siapa saja dengan menanggung segala resikonya dan semua dilakukan tanpa mengharap bayaran atau harta benda duniawi, kini justru ada juru da'wah yang meminta bayaran atas jasanya menyampaikan da'wah (ceramah). Bahkan ada yang memasang tarif tertentu yang besarnya bisa puluhan juta untuk sekali tampil menyampaikan ceramah.

Ada pula juru da'wah yang menyampaikan sejumlah syarat jika kita hendak mengundang yang bersangkutan untuk berceramah. Misalnya (selain tarif tertentu) syarat standard sound system yang dipergunakan harus sekian watt, tata panggung dengan ukuran tertentu, posisi kursi atau tempat berdiri sang penceramah, dan lain-lain. Jika sudah sepakat, maka utusan si penceramah akan datang untuk melakukan "audit" lokasi dan konfirmasi kepastian acaranya.

Oleh karena sudah pasang tarif ceramah, maka juru da'wah tipe ini akan memilih-milih target audiens ceramahnya. Orang-orang kaya atau ceramah yang diselenggarakan oleh lembaga bonafide akan menjadi prioritas utamanya dalam menyampaikan ceramah. Sering terjadi sang penceramah membatalkan ceramah di suatu tempat hanya karena pada waktu yang sama dia diundang berceramah di tempat lain yang menawarkan "isi amplop" yang lebih tebal (tempat bonafide tadi). Padahal di tempat yang "isi amplop"-nya lebih "tipis" sudah mengkonfirmasi jauh-jauh hari kehadrian sang penceramah. Apa boleh buat. Uang bersuara lebih keras dan lebih menarik.

Penceramah seperti ini sungguh cepat dalam hal pencapaian materi duniawinya. Mereka mampu bermobil mewah, berpakaian mahal, beraksesoris luks, dan tinggal di rumah atau apartemen yang megah. Rasulullah SAW berda'wah mengeluarkan biaya yang sangat mahal untuk kelancaran da'wahnya, sementara da'i matre mengambil keuntungan dari da'wahnya. Masya Allah. Rasulullah SAW berpakaian sederhana dan tampil tidak berbeda dengan ummatnya, sementara para da'i duniawi tersebut tampil sama dengan para pemuja duniawi lainnya. Saya bertanya-tanya dalam hati apakah da'wahnya ini akan mampu menyentuh hati banyak manusia? Ataukah ceramahnya diperlakukan sebagai hiburan belaka? Semacam talk show atau stand-up comedy atau entertainment. Kalau begitu bukankah mereka lebih layak disebut sebagai entertainer yang menghibur banyak orang daripada da'i atau juru da'wah? Sebenarnya, siapakah yang lebih hebat, Rasulullah SAW atau para penceramah bayaran tersebut?

Selain itu ada lagi yang memanfaatkan salah satu aspek ajaran Islam dalam mengambil keuntungan. Misalnya sholat. Saya pribadi pernah membaca iklan mengenai "pelatihan sholat" yang biaya partisipasinya mencapai angka tujuh digit. Saya teringat kisah Rasulullah SAW yang mengajarkan dan mengajak orang untuk sholat hingga beliau diludahi, dilempari batu, diancam pedang, dan diludahi. Sedirham pun beliau tidak meminta bayaran. Mengajarkan sholat adalah sebuah kewajiban dari Allah SWT untuk beliau SAW sampaikan kepada manusia. Tugas tersebut adalah tugas suci. Bayarannya adalah rahmat Allah SWT. Tapi kini ada orang-orang yang mengaku telah mengetahui rahasia dan teknik sholat secara baik, benar, dan khusyu lalu mencoba mengajarkan kepada orang lain, namun memungut biaya tertentu (yang bagi sebahagian orang cukup mahal). Bagi saya hal ini sangat aneh dan belum bisa diterima akal sehat saya. Rasulullah SAW mengajarkan sholat tidak meminta bayaran, bahkan beliau mengeluarkan biaya sendiri dan tak jarang beliau mendapatkan intimidasi. Tapi kini ada sebahagian kecil orang yang mematok biaya tertentu untuk mengajarkan teknik sholat. Aneh. Sholat dijadikan lahan mata pencaharian. Sebenarnya siapakah yang lebih hebat, Rasulullah SAW atau orang-orang pengutip uang dari training sholat tersebut?

Lalu ada pula yang mencoba mengajarkan orang-orang untuk memahami rukun iman dan rukun islam. Hal ini tentu baik. Tapi jika mengutip biaya hingga tujuh atau delapan digit, tentu hal ini kurang baik. Bagaimana mungkin bisa menebarkan pemahaman rukun iman dan rukun Islam secara meluas, jika biaya yang dikutip sungguh mahal? Tidak semua orang memiliki anggaran sebanyak itu. Padahal semua orang berhak untuk disampaikan kepada mereka nilai-nilai iman dan Islam. Lagipula Rasulullah SAW juga tidak mencontohkan mengutip biaya atas penyampaian atau penjelasan mengenai rukun iman dan rukun Islam. Yang dicontohkan oleh beliau SAW adalah menyampaikan nilai-nilai Iman dan Islam secara gigih dan tanpa pamrih, kecuali ridho Allah SWT. Motivasi untuk menyampaikan pemahaman iman dan Islam seharusnya adalah ridho Allah SWT, bukan kekayaan duniawi (yang diperoleh dengan mengutip sejumlah uang dari audiens yang disampaikan kepada mereka pemahaman iman dan Islam tersebut). Sebenarnya siapakah yang lebih hebat, Rasulullah SAW atau orang-orang pengutip uang dari "jasa" mereka menyampaikan pemahaman iman dan Islam?

Kemudian ada lagi yang menjadikan aspek ajaran Islam lainnya dalam rangka popularitas dan mencari keuntungan duniawi. Mulai dari sedekah, puasa, zakat, jihad, dan (apalagi) haji. Nyaris semua ajaran Islam bisa dijadikan alat untuk mengeruk keuntungan duniawi. Menyiarkan ajaran Islam tentu perbuatan baik dan mulia. Itu adalah pekerjaan Nabi kita tercinta, Muhammad SAW. Tujuan dari penyebaran itu adalah agar manusia menjadikan ajaran Islam sebagai gaya hidupnya. Menjadikan ajaran Islam sebagai bagian integral dari kehidupannya. Sehingga dengan demikian akan datang rahmat Allah SWT ke seluruh negeri. Namun, apabila niatnya telah terkotori oleh keinginan-keinginan popularitas dan harta benda duniawi, maka bukan ajaran tersebut yang populer melainkan sang penyerunya. Ajaran tersebut hanya sekedar pelekat identitas sang penyeru. Apa yang diserunya tidak membekas di hati manusia. Bila tidak membekas, bagaimana mungkin bisa meresap dan menjadi bahagian dari kehidupan manusia? Rasulullah SAW adalah manusia hebat. Apa yang diserukannya adalah ajaran yang hebat (Islam). Beliau menyerukan manusia untuk beriman kepada Allah dan RasulNya serta menjalankan kehidupan berdasarkan ajaran Islam. Manusia pun menyambut seruannya dan menjadikan Islam sebagai jalan hidup. Rasulullah SAW telah berhasil. Namun ketika wafat, beliau tidak meninggalkan warisan harta benda sedikitpun. Padahal jika beliau mau, bisa saja beliau mengeruk keuntungan duniawi dari aktivitasnya itu. Tapi itu tidak dilakukannya. Misi beliau yang telah digariskan oleh Allah SWT adalah memperbaiki akhlaq manusia, menjadikan manusia semuanya menyembah Allah SWT, dan menjadi rahmat bagi makhluk Allah SWT. Belia cukuplah berbahagia dengan apa yang ada dari sisi Rabb-nya. Hebat. Allahumma sholli 'ala Muhammad, wa 'ala alihi wa shohbihi ajma'in.

Wallahu a'lam bisshowab

Tomy Saleh. Kalibata. 18 Desember 2008. 13:50WIB

Tidak ada komentar: