Catatan Kecil Mengenai "Insya Allah"

Perkara janji dalam Islam mendapatkan perhatian serius. Bahkan sangat serius. Syahadatain, yang merupakan landasan paling inti dari ajaran Islam pada hakikatnya juga merupakan sebuah perjanjian. Di dalam Al Qur-an dan As Sunnah banyak dijelaskan mengenai perkara yang satu ini. Salah satunya adalah pengucapan lafal "Insya Allah" ketika kita berjanji. Mari kita lihat contoh berikut ini:

Contoh 1:
Rina : "Rin, minggu depan kamu jangan lupa datang ke acara syukuran rumah baruku ya."
Rini : "Mmm... waduh... gimana ya? Saya insya Allah aja deh ya Rin."
Rina : "Kamu ada acara?"
Rini : "Kosong sih, tapi takut kalau2 nanti mamaku mengajak aku belanja ke luar kota."
Rina : "Oh gitu, ya sudah deh."

Contoh 2:
Andi : "To, radionya kapan mau dikirim?"
Anto : "Besok pasti saya kirim ke tempat kamu di. Tenang aja."
Andi : "Bener ya to. Soalnya besok saya mau pakai radio itu."
Anto : "Beres di. Besok pasti itu radio itu sudah di tangan kamu."

Contoh 3:
Hasan : "Hutang kamu ke Husain kapan kamu lunasi?"
Ihsan : "Hmmm... uang saya sih sudah ada. Tadi pagi sudah ditransfer. Besok saya bayar hutang
saya ke husain. Insya Allah."
Hasan : "Alhamdulillah. Baik kalau begitu."

Pada contoh pertama, kita bisa lihat Rini ragu-ragu untuk bisa memenuhi undangan Rina. Tapi Rini berupaya berjanji supaya tidak terlalu mengecewakan Rina. Maka ia mengucapkan "Insya Allah deh". Hal ini memperlihatkan kepada kita mengenai ketidakyakinan diri pada janji. Ucapan "Insya Allah deh" adalah sebuah upaya apologia bahkan sebuah kamuflase atas sebuah kelemahan tekad untuk memenuhi janji. Ini cukup sering kita temui. Alasan mereka adalah kalau berjanji harus ucapkan "Insya Allah". Tentu saja hal ini kita sepakati. Tapi pengucapan tersebut seolah sebuah kamuflase bahwa kalaupun ia toh tidak memenuhi janjinya baik sengaja ataupun tidak sengaja itu adalah taqdir Allah. Sudah ketentuan dari Allah bahwa ia tidak bisa memenuhi janji. Maka hal itu wajar saja, karena sudah mengucapkan "Insya Allah". "Berlindung" dengan nama Allah atas ketidakmauan untuk menunaikan kewajiban (memenuhi janji adalah kewajiban). Pengertian ini justru akan membuat kalimat "Insya Allah" diremehkan. Saya pernah mendengar percakapan di sebuah angkutan umum antara supir angkutan dengan temannya. Teman si supir menceritakan kisahnya dalam hal perjanjian dengan seseorang. Salah satu kalimat yang saya ingat adalah "jangan ngomong 'Insya Allah', karena 'Insya Allah' artinya bohong...". Astaghfirullah. Sering berjanji dengan mengucapkan "Insya Allah" padahal ia sendiri tidak ada tekad untuk memenuhi janji tersebut adalah perbuatan yang kurang berakhlaq. Perbuatan itu bisa disamakan dengan meremehkan Allah SWT. Betul bahwa Allah-lah yang berkuasa atas taqdir, tapi kita diperintahkan olehNya untuk bertekad dan berikhtiar.

Pada contoh kedua, kita bisa lihat Anto begitu yakin akan bisa memenuhi janjinya pada Andi. Begitu yakinnya, hingga ia mengucapkan "Pasti saya kirim...". Contoh ini memperlihatkan sebuah kepercayaan diri akan bisa memenuhi janji. Dia begitu yakin dengan dirinya sendiri, bahkan cenderung agak over confidence. Ucapan "pasti" menunjukkan kekuatan tekad tapi sekaligus menunjukkan sebuah rasa jumawa. Sekuat-kuatnya manusia, tetap saja makhluk yang memiliki keterbatasan. Merasa yakin dengan kemampuan diri sendiri tentu baik. Tapi rasa percaya diri jangan malah menjerumuskan kita pada sebuah "syirik" terselubung yaitu "menuhankan" diri sendiri. Bukankah keperkasaan diri kita dibatasi oleh usia dan maut yang selalu mengintai dan tanpa pernah kita ketahui kapan akan datang menjemput? Ucapan "pasti" ketika berjanji akan menjadi kering dan hampa bila ternyata ketika tiba waktunya untuk menunaikan janji berlaku ketentuan Allah SWT yang menyebabkan ia terhalang untuk menunaikan jani. Kredibilitas bisa menurun. Kepercayaan diri yang baik hendaknya berupa bersandar pada kemampuan diri sendiri dan sekaligus tawakal pada Allah SWT.

Pada contoh ketiga, kita bisa lihat Ihsan mantap dengan janjinya, tapi ia terlebih dahulu memperhitungkan persiapannya dalam memenuhi janji. Lalu ia ucapkan "Insya Allah". Ini memperlihatkan sebuah upaya memenuhi syarat menunaikan janji. Sebelum berjanji, ia meyakinkan dirinya dulu untuk bisa mengkonfirmasikan syarat-syarat yang bisa dilakukannya. Setelah yakin dengan syarat-syarat pemenuhan janji itu, maka tumbuh perasaan yakin bisa memenuhi janji. Tapi terucaplah kalimat "Insya Allah", sebagai tanda bahwa ia tetap bersandar pada sesuatu yang bisa membantunya memenuhi janji yaitu Allah SWT. Setidaknya ada empat unsur penting dalam perjanjian tipe ketiga ini, yaitu: niat yang tulus, tekad yang kuat untuk menunaikan janji, ikhtiar yang mantap, dan tawakal pada Allah SWT (ucapan "Insya Allah"). Perjanjian yang seperti inilah yang melapangkan dada dan menenangkan jiwa. Jika tertunaikan janji itu, rasa syukur kepada Allah terucap dan kredibilitas meningkat. Jika ternyata gagal tertunaikan, maka rasa sabar dan maklum muncul dalam diri, karena memang sebelumnya sudah mengkonfirmasikan dengan ucapan "Insya Allah". Kekuatan diri berpadu dengan rendah hati. Orang-orang tipe ini apabila tidak yakin bisa memenuhi janji akan menghindari mengucapkan "Insya Allah". Ia tetap berupaya menjaga kesakralan kalimat itu.

Kita seringkali menyaksikan ketiga contoh di atas dalam kehidupan sehari-hari. Bahkan mungkin kita pernah mengalaminya sendiri. Tipe manakah kita dari ketiga tipe di atas, hanya Allah dan diri kita sendiri yang tahu. Semoga kita semua termasuk dalam golongan orang-orang yang bisa memenuhi janji kepada Allah, kepada RasulNya, kepada orang-orang beriman, dan kepada manusia di muka bumi. Insya Allah.

Tomy Saleh. Kalibata. 17-18 Nov 2008. 09:31WIB

1 komentar:

Ariyanti W mengatakan...

Tulisannya bagus mas.. Bahasanya Akrab dan mudah dimengerti. Mas tomy top markotop deh... di tunggu tulisan lainnya ^_^