Perang Terminologi Terhadap Islam: Bagaimana Muslim Bersikap?

Peristiwa penghancuran gedung kembar World Trade Center di Amerika Serikat pada 11 November 2001 lalu, seolah menjadi tonggak munculnya babak baru dalam peta konflik dunia. Buntut dari peristiwa itu adalah penetapan dan penegasan identitas "musuh tunggal" peradaban dunia, yaitu "terorisme". Arti kata teror (menurut Merriam-Webster) adalah "violent or destructive acts (as bombing) committed by groups in order to intimidate a population or government into granting their demands.". Sedangkan terorisme diartikan sebagai "the systemic use of terror especially as a means of coercion." (Merriam-Webster). Pada Webster’s New World College Dictionary (1996), Terorisme diartikan sebagai "the use of force or threats to demoralize, intimidate, and subjugate.". Dalam sekejap saja kosa kata itu segera menjadi primadona media. Kata-kata "terorisme" digemakan ke seluruh dunia. Televisi, radio, internet, koran, dan majalah amat ramai menggaungkan kata-kata tersebut. Masyarakat dunia diperdengarkan dan diperlihatkan apa itu terorisme. Sehingga terbentuk sebuah opini umum dan stigma terhadap subyek terorisme.

Sayang beribu sayang. Sebelum 'kata sakti' itu disebarluaskan ke seluruh penjuru dunia, Amerika Serikat (mewakili dunia barat), terlebih dahulu merumuskan dan membakukan apa definisi dan wujud atau wajah dari terorisme, yaitu Islam. Melalui media massa, makna terorisme itu dicoba untuk "dikonfirmasi" dengan menampilkan para "teroris". Ditampilkanlah semua hal yang selama ini dianggap terkait dengan Islam atau ajaran Islam. Mulai dari nama-nama "teroris" yang sangat akrab dan identik dengan nama-nama muslim seperti Ahmad, Muhammad, Abdullah, Abdurrahman, dan sebagainya. Kemudian juga ditampilkan identitas khas muslim seperti berjanggut, berjilbab, sholat, dan mengaji. Tak ketinggalan disebut-sebut pula (dalam pemberitaan tentang terorisme) itu terminologi khas ummat Islam, seperti jihad, syahid, Al Qur-an, As Sunnah, ustadz, pesantren, dan lain-lain. Akhirnya terbentuklah sebuah opini bahwa terorisme itu adalah Islam. Kata terorisme diberikan makna baru, yaitu Islam. Di berita-berita memang tidak disebut secara eksplisit "terorisme Islam". Tapi semua penyebutan itu akan menciptakan nuansa asosiasi di benak publik. Ditambah lagi opini yang ditampilkan confirmed dgn realita berita (ada sebahagian kecil kelompok dalam tubuh ummat Islam yang memang melakukan tindakan yang didefinisikan sebagai teror, sebagaimana disebutkan di atas).

Wal hasil, jika tersuara kata "terorisme" langsung terbetik (refleks) dalam benak publik gambaran janggut, jubah, sorban, jilbab, jihad, masjid, pengajian, Al Qur-an, dan sebagainya. Kata terorisme telah berhasil diasosiasikan dengan Islam. Inilah semantic game. Inilah perang terminologi terhadap Islam dan kaum muslimin.

Sebelumnya, menilik kembali ke era '80an hingga '90an, perang terminologi ini sudah ada. Mungkin perang ini mulai mengemuka sejak berakhirnya era perang dingin (USA vs USSR). Fundamentalisme, ekstrimisme, dan radikalisme adalah sebahagian dari 'amunisi' favorit perang terminologi tersebut. Kata-kata itu juga terasosiasi dengan Islam. Ada pula: konservatif, kuno, fanatik, garis keras, intoleran, militan, anti kemajuan, anti keberagaman, dan lain-lain. Semua kata-kata itu diasosiasikan dengan Islam dan dicitrakan sebagai hal yang negatif. Sehingga Islam (dan kaum Muslimin) adalah negatif.

Bagaimana Sikap Muslim?

Selain melakukan invasi militer terhadap negeri-negeri muslim, perang juga dilancarkan di ranah sosial budaya dan informasi. Harus diakui bahwa pihak barat unggul dalam perang sosial budaya dan informasi ini. Mereka memegang kendali pembentukan opini publik. Secara militer, sejarah telah membuktikan, ummat Islam tidak bisa ditumpas habis. Cara efektif adalah mencabut muslim dari Islam melalui perang sosial budaya tadi. Hasilnya sungguh luar biasa. Jika di masa lalu kita dicontohkan dengan keruntuhan imperium Utsmaniyah yang disebabkan (utamanya) oleh degradasi hebat muslim terhadap Islam, kini muncul fenomena baru: liberalisme. Liberalisme bagai virus penyakit di tubuh ummat Islam. Tujuan utamanya adalah membuat tafsir baru terhadap seluruh ajaran Islam. Tafsir baru ini akan mengarah pada deislamisasi muslim. Orisinalitas Islam akan dijauhkan dari muslim. Muslim akan rancu terhadap Islam. Sehingga muslim tidak lagi berislam secara baik dan benar sebagaimana yang diajarkan dan dicontohkan oleh Rasulullah SAW. Kaum liberal inilah yang kemudian menjadi "pasukan" terdepan dalam melancarkan salah satu "cabang" perang sosial budaya ini: perang terminologi.

Kosa kata-kosa kata sebagaimana tersebut di atas digemakan kembali dan semakin dibuat terang warnanya. Ummat Islam kesulitan menyerang balik dengan mengembalikan "peluru" kosa kata itu kepada mereka. Opini umum sudah kadung dibentuk. Sulit untuk menyematkan terminologi itu kepada mereka. Tapi Allah SWT dan Rasulullah SAW sudah memberikan kita "peluru" khusus. Jika mereka memiliki terminologi di atas yang dipaksakan untuk diterima oleh publik, maka (sesungguhnya) Islam sudah memiliki terminologi untuk itu. Ada kafir, munafiq, fasiq, zindiq, zholim, dan mufsidun. Namun, tidak seperti terminologi mereka yang sangat subyektif dan tidak adil (serampangan disematkan), terminologi-terminologi itu memiliki sejumlah persyaratan khusus yang telah ditetapkan oleh Allah dan RasulNya. Jadi, dalam perang terminologi pun, muslim tetap berlaku adil, ilmiah, dan obyektif. Ini boleh disebut sebagai salah satu keunggulan Islam.

Terhadap perang terminologi ini, sebagai muslim kita dituntut untuk tetap cool, namun waspada. Kita harus membantah semua stigma terminologi itu dengan menjadi muslim sejati, yaitu muslim yang berakhlaqul karimah, 'anfa'uhum linnaas' dan 'rahmatan lil 'alamin'. Batalkan terminologi itu di ranah realitas. Putuskan konfirmasi palsu opini media dengan kenyataan hidup sehari-hari seorang muslim. Kita harus cerdas dalam bermain di perang ini. Kita tidak perlu takut atau malu dalam berislam. Tunjukkan bahwa semua terminologi itu keliru. Jika memang diperlukan, kita bisa menyerang balik dengan 'peluru' yang sudah Allah SWT dan RasulNya berikan sebagaimana disebutkan di atas. Tentunya dengan bijak, baik, dan benar, berlandaskan ilmu. Ingat, kita tidak seperti mereka-mereka, para pelontar perang terminologi yang kerap berjubah kaum intelektual, tapi pada hakikatnya adalah manusia-manusia bodoh.

Laa tahzan, wa laa khauf. Innallaha ma'ana...

Tomy Saleh. Kalibata. 22 Oktober 2010. 15:51WIB

Tidak ada komentar: