Risalah Ta’alim sebagai petunjuk taktis pembinaan kader da’wah

Pendahuluan

Risalah Ta’alim (RT) merupakan salah satu risalah Imam syahid Hassan Al Banna yang termuat dalam buku Majmu’atu Rosa-il. RT ini boleh dikatakan memiliki keistimewaan karena RT berisi petunjuk taktis dalam hal membina kader-kader da’wah. Secara umum isi RT dibagi ke dalam 2 (dua) bagian yaitu: rukun bai’ah dan kewajiban seorang kader. Rukun bai’ah merupakan landasan ideologis dari RT sedangkan kewajiban seorang kader merupakan implementasi nilai-nilai yang terkandung dalam rukun bai’ah tersebut.

Hendaklah RT ini dibaca dengan seksama, ditelaah dengan serius, dan diimplementasikan dengan konsisten. Ini menjadi bekalan kader da’wah dalam membentuk aqidah, akhlaq, tsaqofah, serta militansi. Hal-hal inilah yang akan menjadi basis kepribadian kader yang kokoh dan tahan banting dalam menjalankan amanah risalah da’wah.

Mengapa RT?

Allah SWT berfirman, “(103) Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah menjinakkan antara hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk. (104) Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung. (105) Dan janganlah kamu menyerupai orang yang bercerai berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka. Mereka itulah orang-orang yang mendapat siksa yang berat.” (Ali Imran: 103-105)

Ayat-ayat di atas merupakan petunjuk yang jelas dari Allah SWT mengenai pentingnya soliditas, pentingnya aktivitas da’wah secara berjama’ah, dan tercelanya perpecahan. Inilah nilai-nilai penting bagi da’wah kita. Setiap person yang terlibat dalam da’wah ini harus memahami hal ini untuk kemudian direalisasikan. Mengapa da’wah harus dilakukan secara berjama’ah dan membutuhkan soliditas internal jama’ah tersebut? Jawabnya adalah karena da’wah memiliki karakteristik sebagai berikut:

  1. Thuulut thariq. Jalannya amat panjang dan melelahkan dalam menempuhnya. Dibutuhkan kebersamaan dalam menapaki jalan yang panjang. Kebersamaan yang saling menguatkan dalam kasih sayang, kebenaran, dan kesabaran. Tatkala ada al akh yang merasakan keletihan, akan ada al akh lain yang menyemangatinya. Jika ada al akh yang kurang sabar, akan ada al akh lain yang mengingatkannya. Jika ada al akh yang berjalan lambat tak seirama langkahnya, akan ada al akh lain yang menggamit lengannya dengan lembut namun cukup kokoh untuk meluruskan dan menyeiramakan langkahnya.
  1. Katsrotul ‘aqobat. Banyak rintangan. Tidak cukup dengan jalan yang amat panjang dan melelahkan, di jalan da’wah tersebut juga terdapat berbagai macam rintangan dan jebakan. Baik itu rintangan dan jebakan yang manis maupun yang pahit. Yang manis di antaranya godaan harta benda, tahta, dan syahwat terhadap lawan jenis. Sementara yang pahit di antaranya penyiksaan fisik, intimidasi psikis, pemboikotan sosial, bahkan pembunuhan. Segala macam rintangan itu bisa diatasi dengan saling melindungi sesama al akh.
  1. Qillatur rijaal. Sedikitnya sumber daya manusia. Amat sedikit manusia (rijaal, secara bahasa berarti lelaki, tapi dalam konteks ini, secara maknawi berarti manusia yang ideologis, baik itu pria maupun wanita) yang bersedia bersusah payah menempuh jalan ini. Kalaupun di awal perjalanan ada begitu banyak peminatnya, tapi seiring waktu akan ada tamhish ilahiyah. Di tengah jalan ada yang tidak sabar dalam menempuh panjangnya jalan, ada pula yang tergoda dan terlena oleh syahwat, dan ada pula yang mati muda. Sehingga yang melanjutkan perjalanan telah berkurang jumlahnya. Akan tetapi dengan jaringan jama’ah yang solid dan terporgram rapi, maka akan ada iron stock baru yang siap menggantikan generasi yang sudah berlalu.

Sehingga jelaslah bagi kita akan pentingnya pesan dalam surat Ali Imran tersebut di atas. Yang kini menjadi perhatian penting adalah bagaimana menyiapkan sebuah barisan rijaal yang akan mengusung amanah ini. Da’wah adalah pekerjaan serius, yang hanya bisa dilaksanakan oleh orang-orang yang serius. Oleh karena beratnya beban ini, maka Imam syahid Hassan Al Banna menyusun sebuah risalah yang berisikan panduan dalam membentuk karakter rijaalud da’wah. Itulah RT.

Dinamakan RT karena pembinaan adalah hal asasi yang tidak bisa ditinggalkan atau dianggap sekadarnya saja. Sebuah jama’ah yang mengabaikan aspek pembinaan ini, cepat atau lambat, akan mengalami jumud bahkan hancur. Aspek pembinaan yang dimaksud adalah pembinaan yang menyeluruh dan menyentuh semua aspek kepribadian manusia serta terprogram secara rapi dan jelas. Tanpa adanya pembinaan yang benar maka tidak akan dihasilkan rijaal yang tangguh. Padahal rijaal yang tangguh ini merupakan tulang punggung kokoh bagi tubuh jama’ah. RT mencakup semua aspek tadi dan memiliki arahan yang jelas, tanpa bertele-tele. Itulah mengapa RT penting bagi setiap kader da’wah.

Rukun bai’ah dan Landasan Pembinaan

Bai’ah bermakna janji setia. Setiap muslim wajib hukumnya berbai’ah. Syahadatain adalah sebuah bentuk bai’ah yang menjadi rukun Islam yang pertama. Tanpa syahadatain, maka tidak sah keislaman seseorang. Sebaliknya, dengan syahadatain yang diucapkan, dipahami dan diwujudkan dengan baik dan benar, akan menghasilkan muslim yang mu’min. Oleh karena itulah setiap muslim wajib berbai’ah. Bahkan bai’ah ini diulang-ulang dalam sholat. Selain itu, dalam sejarah kita juga mengenal ada bai’atul ‘aqobah, bai’atur ridhwan, bai’at kepada khalifah, dan lain-lain. Jadi bai’ah bukanlah merupakan hal yang asing dalam kehidupan muslim.

Perjuangan menegakkan kebenaran dan membasmi kemungkaran membutuhkan kader-kader yang istiqamah. Selain itu diperlukan juga barisan yang mantap. Maka dibutuhkanlah bai’ah sebagai salah satu unsur pengokohnya. Bai’ah yang benar dalam konteks perjuangan ini akan memberikan jaminan kader-kader yang setia dengan manhaj, bersabar dalam berjuang, serta rela berkorban. Hal ini sangat penting dalam jama’ah da’wah.

Bai’ah yang dimaksudkan dalam jama’ah da’wah bukanlah bai’ah buta, yaitu bai’ah yang asal-asalan di mana sesiapapun bisa berbai’ah dalam perjuangan ini. Imam syahid Hassan Al Banna memberikan arahan yang jelas dalam urusan bai’ah ini di RT, sebab bai’ah bukan perkara sembarangan. Beliau menuliskan sepuluh landasan/rukun dari bai’ah yang setiap kader da’wah wajib menghafalkannya (sesuai urutannya), yaitu:

  1. Al Fahmu (pemahaman)
  2. Al Ikhlash (keikhlasan)
  3. Al ‘Amal (perbuatan/aktivitas)
  4. Al Jihad (jihad)
  5. At Tadh-hiyah (pengorbanan)
  6. Ath Tho’at (ketaatan)
  7. Ats Tsabat (keteguhan)
  8. At Tajarrud (totalitas/kemurnian)
  9. Al Ukhuwah (persaudaraan)
  10. Ats Tsiqah (kepercayaan)

Bai’ah ditegakkan di atas kesepuluh dasar tersebut. Salah satu saja rukun tersebut tidak terpenuhi, maka bai’ah akan lemah dan mudah goyah, bahkan bisa menjadi batal.

Arkanul bai’ah ini dijelaskan satu persatu maksud dan tujuannya oleh Imam syahid Hassan Al Banna dalam RT agar menjadi suatu gambaran yang jelas dan bisa dipahami. Arkanul bai’ah merupakan bagian pertama dalam RT. Ini merupakan landasan pembinaan pribadi kader da’wah. Kader yang terbina berbasiskan hal inilah yang layak berbai’ah untuk memikul beban perjuangan.

Al Fahmu dituliskan oleh Imam syahid Hassan Al Banna sebagai rukun pertama. Jika kita melihat tradisi penulisan kitab-kitab hadits atau fiqih, maka yang pertama kali diulas oleh para ulama adalah mengenai Al Ikhlash. Namun Imam syahid Hassan Al Banna justru menempatkan Al Fahmu sebagai rukun pertama.

Allah SWT berfirman, “Katakanlah: “Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui” Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran.” (Az Zumar: 9)

Dari ayat di atas kiranya cukup jelas mengapa diambil Al Fahmu sebagai rukun pertama. Perjuangan ini membutuhkan orang-orang yang bisa bergerak dengan baik dan benar. Ini membutuhkan wawasan. Orang-orang yang berjuang tanpa wawasan akan mudah dihancurkan atau mudah melenceng dari garis perjuangannya. Suatu amal ibadah yang dikerjakan asal-asalan atau tidak sesuai kaidahnya (dikarenakan si pengamalnya tidak memiliki pemahaman akan hal itu) akan tertolak, seikhlas apapun hatinya.

Al Fahmu (setidaknya) akan memastikan hal-hal berikut:

  1. Tetap pada jalur yang benar
  2. Tidak tertipu oleh berbagai godaan
  3. Cepat mengambil keputusan
  4. Luwes dalam bergerak
  5. Bijaksana

Imam syahid Hassan Al Banna, kemudian menetapkan sbuah standard pemahaman bagi kader da’wah. Inilah yang dikenal sebagai ushul ‘isyrin atau dua puluh prinsip Islam. Ini adalah pemahaman paling mendasar bagi setiap kader da’wah. Keduapuluh prinsip Islam ini adalah hal-hal yang menjadi kesepakatan seluruh ummat muslim di manapun mereka berada dan kapanpun masa mereka. Tidak ada perbedaan pendapat dalam hal ini. Ini bukan perkara furu yang padanya terbuka ruang interpretasi yang amat luas, sehingga menimbulkan keberagaman pemikiran. Tapi ushul isyrin tidak demikian. Ia merupakan nilai-nilai dasar dari Islam.

Dengan memahami ushul isyrin, maka akan muncul kader da’wah yang bijak dalam berda’wah di tengah ummat, karena tidak mengutamakan urusan furu’ dan sebaliknya justru mengutamakan hal-hal prinsip, di mana semua muslim sepakat dalam hal ini. Kader-kader da’wah yang memahami ushul isyrin diharapkan bisa menjadi agen perekat ukhuwah ummat muslim, di mana di masa sekarang ini issu perpecahan di tubuh ummat muslim masih menghangat. Da’wah ikhwan adalah da’wah yang menyatukan. Basisnya adalah ushul isyrin.

Al Ikhlash akan mencegah seorang al akh dari niat selain lillahi ta’ala. Ikhlash akan menjadikan langkah ringan. Ikhlash akan mengikis penyakit hati berupa riya’ dan sum’ah. Ikhlash juga pada akhirnya akan menghapuskan penyakit al wahn. Barang siapa yang punya niatan lain selain ridho dan rahmat Allah SWT, seperti ingin jabatan dan harta benda, niscaya akan segera mengalami tasaquth, baik cepat atau lambat.

Dari Amirul Mu’minin, Abi Hafs Umar bin Al Khattab radhiallahuanhu, dia berkata, "Saya mendengar Rasulullah shallahu`alaihi wa sallam bersabda: Sesungguhnya setiap perbuatan tergantung niatnya. Dan sesungguhnya setiap orang (akan dibalas) berdasarkan apa yang dia niatkan. Siapa yang hijrahnya karena (ingin mendapatkan keridhaan) Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada (keridhaan) Allah dan Rasul-Nya. Dan siapa yang hijrahnya karena menginginkan kehidupan yang layak di dunia atau karena wanita yang ingin dinikahinya maka hijrahnya (akan bernilai sebagaimana) yang dia niatkan. (HR Bukhari - Muslim).

Al Amal mendapat perhatian khusus oleh Imam syahid Hassan Al Banna. Di dalam RT beliau menuliskan marotibul ‘amal. Bahkan beliau juga menulis sebuah risalah tersendiri yaitu “Hal Nahnu Qaumun ‘Amaliyun”. Jama’ah ini dibentuk bukan untuk sekadar adu gagasan dan wacana, namun jauh lebih penting adalah berbuat nyata. Karena inilah yang diperintahkan oleh Allah SWT.

Allah SWT berfirman, “Dan Katakanlah: "Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan". (At Taubah 105)

Namun ‘amal yang dimaksud bukanlah sekadar menggugurkan kewajiban. Tapi amal yang terarah dan konsisten. Maka itu beliau menyusun marotibul ‘amal yang menjadi prioritas program kerja gerakan. Dengan marotibul ‘amal ini akan menjadi jelas apa yang harus dikerjakan, siapa saja yang bisa terlibat, apa saja yang perlu dipersiapkan, dan bagaimana mewujudkannya.

Al Jihad dimasukkan ke dalam rukun bai’ah karena jihad inilah yang boleh dikatakan sebagai unsur yang menggerakkan. Tanpa adanya jihad, niscaya tidak akan ada gerakan ataupun gebrakan. Jihad pula yang akan membentengi perjuangan ini dari berbagai fitnah. Jihad juga akan menumbuhkan dan menjaga harga diri ummat. Ditambahkan pula oleh Imam syahid Hassan Al Banna, bahwa jihad ini adalah kewajiban yang telah termaktub gamblang di Al Qur-an dan As Sunnah. Sehingga tidak boleh lagi ada pertentangan mengenai hal ini.

At Tadh-hiyah adalah modal inti untuk mencapai tujuan. Tanpa tadh-hiyah, maka pencapaian tujuan hanyalah angan-angan belaka. Tadh-hiyah akan menghapuskan perilaku santai dan berleha-leha dalam perjuangan. Imam syahid Hassan Al Banna bahkan menganggap perilaku santai-santai ini sebagai sebuah dosa dalam gerakan da’wah. Da’wah Islam ini, dengan semua pencapaiannya, masih berlanjut hingga saat ini adalah karena pengorbanan para pendahulunya.

Ath Tho’at memegang peranan penting dalam jama’ah. Taat memberikan kepastian setidaknya dalam hal-hal berikut:

  1. Terlaksananya perintah
  2. Kesatuan langkah
  3. Kokohnya barisan

Terkait kadar ketaatan dan arti pentingnya bagi gerakan, Imam syahid Hassan Al Banna memberikan catatan mengenai tahapan da’wah yaitu:

  1. Ta’rif (pengenalan). Di fase ini taat belum bersifat mutlak. Masih berupa cukup pada rasa hormat dan cinta pada sistem dan prinsip umum jama’ah.
  2. Takwin (pembentukan). Di fase ini taat bersifat totalitas, tanpa ragu dan bimbang lagi. Hal ini dikarenakan sistem da’wah telah bersifat tasawauf murni untuk urusan ruhiyah dan militer murni dalam urusan operasional.
  3. Tanfizh (pelaksanaan). Di fase ini ketaatan mencapai puncaknya. Karena di fase ini da’wah adalah jihad, tanpa kenal sikap plin-plan, kerja terus menerus untuk mencapai tujuan, dan kesiapan menanggung cobaan yang berat.

Ats Tsabat merupakan nilai yang penting dalam gerakan. Setiap al akh diminta untuk terus menerus bekerja menjalankan program-program da’wah hingga akhir hayatnya. Tidak mundur sedikitpun dan tidak pula tergoda oleh godaan duniawi. Tsabat ini merupakan pengejawantahan dari sifat sabar. Menurut Syaikh Yusuf Al Qaradhawi sabar ini merupakan sebuah prinsip dasar dalam gerakan.

At Tajarrud juga merupakan hal penting. Ini merupakan rukun yang akan mengarahkan pada militansi. Tajarrud akan mengembalikan setiap individu kader pada fikrah yang satu dan tidak bercampur-campur. Apabila suatu fikrah telah tercampur-campur, maka bisa dipastikan tidak akan ada pihak yang akan berpegang teguh dan memperjuangkannya, karena fikrah tersebut meragukan. Fikrah yang ragu-ragu atau tidak kokoh akan menghasilkan kader yang ragu-ragu pula. Maka itu, Imam syahid Hassan Al Banna meminta setiap akh untuk membersihkan hati dan fikirannya dari fikrah lain selain fikrah yang sesuai dengan Al Qur-an dan As Sunnah.

Al Ukhuwah sangat diperlukan karena da’wah ini diusung secara berjama’ah oleh individu-individu kader yang diikat oleh kesatuan aqidah. Ukhuwah yang dimaksudkan bukanlah berlandaskan pada materi atau slogan-slogan kosong. Namun berlandaskan pada aqidah islamiyah. Imam syahid Hassan Al Banna bahkan menegaskan bahwa ukhuwah merupakan salah satu realisasi keimanan. Iman dan ukhuwah ibarat sekeping mata uang logam. Di mana ada keimanan, maka di baliknya ada ukhuwah. Sebaliknya beliau mencela perpecahan, karena perpecahan adalah saudara kandung kekufuran dan akan menyebabkan hancurnya bangunan jama’ah. Dengan adanya ukhuwah ini maka akan muncul rasa senasib sepenanggungan serta bahu membahu dalam memperjuangkan da’wah. Unsur-unsur penting dalam ukhuwah di antaranya:

  1. Taushiyah dalam kasih sayang, kebenaran, dan kesabaran
  2. Ta’awun dalam kebaikan dan ketaqwaan
  3. Ruhama bainahum
  4. Saling mengutamakan saudaranya

Ats Tsiqah melengkapi rangkaian rukun bai’ah ini. Tsiqah erat kaitannya dengan urusan kepemimpinan. Hubungan tentara dan komandan akan langgeng dan mulus dengan adanya tsiqah ini. Jalur komando ini penting, karena dalam da’wah pada hakikatnya adalah peperangan antara haq dan bathil. Diperlukan kedisiplinan yang tinggi. Disiplin ini muncul dari rasa tsiqah tadi. Imam syahid Hassan Al Banna menuliskan beberapa pertanyaan sebagai syarat dari tsiqah. Di antaranya:

  1. Apakah sejak dulu ia mengenal pemimpinnya dan telah mempelajari riwayatnya?
  2. Apakah ia percaya pada kapsitas dan keikhlasannya?
  3. Apakah ia siap menganggap semua instruksinya harus dilaksanakan tanpa reserve, tanp aragu, tanpa dikurangi atau ditambahi, dengan dibarengi keberanian memberi nasehat dan peringatan untuk tujuan yang benar?
  4. Apakah ia siap menganggap dirinya salah dan pemimpinnya benar dalam hal terjadi pertentangan dalam urusan ijitihadiyah yang tidak ada teks yang tegas dalam syariah?
  5. Apakah ia siap meletakkan seluruh aktivitasnya dalam kendali da’wah? Apakah pemimpin berhak untuk mentarjih antara maslahat dirinya dan maslahat da’wah secara umum?

Jawaban dari pertanyaan-pertanyaan di atas akan menentukan kadar kepercayaan dan ketaatan kepada pemimpin.

Implementasi Rukun Bai’ah

Sepuluh rukun bai’ah adalah landasan bagi pembentukan karakter kader da’wah. Imam syahid Hassan Al Banna kemudian juga menyusun teknis operasional rukun bai’ah itu untuks etiap individu kader da’wah. Teknis itu disebut sebagai wajibatul akh (kewajiban seorang kader) yang berisi 38 buah kewajiban indvidu yang mencakup semua aspek dalam kehidupannya. Wajibatul akh ini adalah bukti bahwa seseorang telah benar dalam berbai’ah. Dan ia akan menjelma menjadi seorang kader da’wah yang bisa diandalkan.

Wallahu a’lam bishshowab

Tomy Saleh. Kalibata. 5 Juni 2009.

3 komentar:

Unknown mengatakan...

boleh berikan nama kitab rujukannya?

Tomy Saleh mengatakan...

Risalah pergerakan Ikhwanul Muslimin karya Hassan Al Banna dan Membina angkatan mujahid karya Said Hawwa

Unknown mengatakan...

Bisa ditambahkan referensi dari buku Nazharat fi Risalah Ta'alim karya Syeikh Muhammad Abdullah Al-Khathib.