Ekstase Secangkir Kopi Tubruk

Sebagaimana pernah saya ceritakan di sini, saya adalah penikmat kopi. Bahkan (sebenarnya) saya tidak cuma sekadar menikmati cairan hitam itu dari cangkirnya belaka, melainkan juga keseluruhan proses penyajiannya.

Saya mulai dari pembelian biji atau bubuknya. Membeli kopi adalah sebuah proses awal saya untuk menikmati kopi. Membeli, karena saya belum punya kebun kopi sendiri. Saya mulai merasakan getaran-getaran kenikmatan itu sejak melangkahkan kaki keluar rumah untuk membeli kopi. Saya sudah membayangkan jenis-jenis dan merek-merek kopi yang tertata di rak supermarket atau membayangkan bau bijinya yang terpanggang, jika saya membelinya di toko kopi. Tapi saya lebih sering membelinya di supermarket, karena tersedia banyak pilihan. Walau banyak pilihan, tapi sebenarnya saya sudah menetapkan kopi favorit saya: arabica, apapun merek kemasannya. Harganya memang di atas kopi robusta yang mendominasi pasaran tanah air. Sungguh keasyikkan tersendiri bagi saya menyaksikan deretan kemasan kopi beragam merek. Saya senang berlama-lama di rak kopi, mengamati bungkusan itu satu per satu.

Setelah membawa pulang sebungkus kopi (dengan perasaan sumringah), maka tahapan "ritual ngopi" saya berikutnya adalah menyiapkan panci atau ceret untuk menjerang air. Suara air bening bersih yang menyentuh dasar panci atau ceret terasa indah. Lalu saya letakkan wadah itu di atas tungku kompor. Api segera membakar pantat wadah itu. Walaupun belum pernah mencobanya, tapi saya terkadang suka membayangkan bahwa rasanya memasak air hingga mendidih dengan api dari tungku kayu bakar jauh lebih nikmat, daripada kompor gas atau listrik.

Sambil menunggu api mendidihkan air, saya siapkan cangkir keramik. Bagi saya inilah sarana yang paling tepat untuk menikmati kopi. Saya suka berkelakar bahwa minuman kopi cair dalam kemasan kaleng atau kemasan karton kotak atau kemasan gelas plastik (ala air mineral) adalah bentuk "penistaan" terhadap kopi. Pilihan saya adalah cangkir keramik berkapasitas antara 180 ml hingga 200 ml. Cangkir dengan kapasitas di atas itu lebih cocok untuk minum cokelat atau susu hangat (yang juga salah satu minuman favorit saya).

Kemasan kopi arabica saya buka dengan penuh perasaan. Saya menyaksikan bubuk hitam itu duduk manis di dalam kemasannya. Kemudian saya sendok hati-hati sebanyak tiga sendok teh menjulang bubuk kopi itu ke dalam cangkir tadi. Saya angkat sebentar cangkir itu dan saya dekatkan mulutnya ke hidung saya. Saya hirup perlahan wangi kopi itu. Aaah...

Saya tidak terlalu suka kopi pahit dan saya juga tidak suka jika kopi saya terlalu manis. Maka sebagai jalan tengah, saya tambahkan setengah atau satu sendok teh gula. Sekadar sebagai syarat saja. Kalau di cafe, saya lebih suka macchiato daripada espresso.

Dan saat itupun hampir tiba. Air mendidih. Perlahan saya tuang air panas itu ke dalam cangkir. Butiran halus bubuk kopi dan sedikit gula itu seolah bergumul dengan air panas. Pergumulan makin ramai dengan hadirnya sendok teh yang saya pergunakan untuk mengaduk cairan nikmat itu. Bunyi dentingannya begitu khas dan seketika, semerbak wangi kopi menyeruak memenuhi ruangan. Aduhai...

Lalu dimulailah "acara puncak" dari rangkaian "ritual ngopi" tersebut: saya menyesap perlahan kopi panas itu. Sluuuurrrps... aaah... Subhanallah... Sungguh nikmat. Walaupun istri tercinta suka membuatkan saya kopi tubruk kesukaan saya, tapi sesungguhnya, jika disuruh memilih, saya pribadi lebih suka membuatnya sendiri. Seluruh rangkain prosesnya itu semakin menambah kenikmatan ngopi.

Mari kawan, angkat cangkir kopimu itu. Selamat ngopi. Jangan lupa bersyukur kepadaNya.

Tomy Saleh. Kalibata. 6 Oktober 2011. 13:04

Tidak ada komentar: