Pilihan Dan Konsekuensi

Saya mendapati fakta menarik dalam kehidupan saya, setelah saya amati sekian lama. Saya tinggal di sebuah rumah kontrakan di sebuah daerah permukiman di Jakarta Barat. Rumah itu terletak di salah satu sudut yang dikelilingi tembok tinggi rumah para tetangga. Cukup tersembunyi dan relatif jauh dari kebisingan. Tidak ada kendaraan umum yang melalui jalan di depan rumah. Jalan di depan rumah termasuk jalan permukiman yang tidak banyak dilalui kendaraan. Ujung jalan tersebut bertemu dengan jalan besar yang, belakangan ini, sering macet. Kendaraan umum berseliweran 24 jam di jalan besar tersebut. Setiap hendak bepergian, saya kerap melalui jalan besar tersebut, karena di jalan itulah ada kendaraan umum. Jarak dari rumah hingga jalan besar (melalui jalan permukiman tadi) kira-kira 300 m. Pada jarak 100 m dari rumah saya, jalan permukiman itu bercabang membentuk pertigaan; lurus akan mengarah ke jalan besar, belok kiri akan mengarah ke jalan permukiman lain. Di pertigaan inilah ada satu-satunya kendaraan umum yang melintas: mikrolet (angkutan umum dari modifikasi mobil minibus/MPV; umumnya Toyota Kijang, belakangan ini ada pula yang dari Isuzu Panther, Suzuki Carry, dan Daihatsu GrandMax). Salah satu rutenya adalah menuju ujung jalan yang bertemu jalan besar. Jarak dari pertigaan menuju jalan besar kira-kira 200 m. Untuk menuju jalan besar, saya mesti melalui pertigaan tersebut.

Jika saya MEMILIH naik mikrolet menuju jalan besar, maka KONSEKUENSINYA saya harus keluar uang Rp 2000, TAPI lebih cepat tiba di jalan besar dan lebih santai. Jika saya MEMILIH berjalan kaki menuju jalan besar itu, maka KONSEKUENSINYA saya harus mengeluarkan energi ekstra dan butuh waktu lebih lama untuk tiba di jalan raya (kira-kira 7 hingga 10 menit lebih lama dibanding naik kendaraan), TAPI hemat uang Rp 2000.

Dari jalan besar itu saya masih harus naik kendaraan umum lain untuk tiba di tujuan, katakanlah kantor. Saya harus naik mikrolet lain menuju perempatan jalan raya propinsi (ongkos: Rp 2500). Dari perempatan jalan raya propinsi itu saya masih harus naik bus kota menuju kantor (ongkos: Rp 2500). Bus kota itu akan berhenti di ujung jalan permukiman di kawasan Jakarta Selatan. Jarak ujung jalan menuju kantor kira-kira 200 m. Jika saya MEMILIH jalan kaki dari rumah menuju jalan besar lalu naik mikrolet menuju perempatan jalan raya propinsi dan naik bus kota menuju kantor, maka KONSEKUENSINYA, seperti di atas, saya harus keluar ekstra energi dan sedikit lebih lama, TAPI saya hanya perlu keluar uang Rp 5000 (sampai tiba di kantor), walaupun mungkin kondisi bus kota sudah penuh (karena perempatan tersebut hanyalah salah satu perhentian saja dari sekian perhentian sejak bus meluncur dari terminal)

Sebenarnya, mikrolet yang melintas di jalan permukiman dekat rumah saya itu bisa juga membawa saya menuju jalan raya propinsi untuk kemudian saya menyambung lagi naik bus kota menuju kantor. Saya hanya perlu membayar mikrolet itu Rp 2500. Rutenya adalah melewati jalan besar seperti saya sebut di atas lalu berkelok-kelok memasuki jalan permukiman lain hingga tiba di sebuah pasar di pinggir jalan raya propinsi. Tapi bus kota yang saya perlukan ada di seberang jalan raya propinsi itu. Maka saya harus menaiki tangga penyeberangan jalan lalu berjalan kaki lagi kira-kira 100 m menuju halte bus. Jika saya MEMILIH opsi ini (naik mikrolet hingga pasar) lalu saya naik bus kota menuju kantor (dengan ongkos bus Rp 2500), maka KONSEKUENSINYA saya harus keluar energi ekstra naik jembatan penyeberangan dan berjalan lagi 100 m menuju halte, TAPI saya hanya perlu keluar uang Rp 5000 (sampai di kantor) dan mendapati bus yang tidak terlalu padat (dibandingkan bila harus naik bus tersebut di perempatan jalan raya propinsi, sebagaimana saya sebut di atas).

Hal-hal di atas adalah dengan asumsi saya berangkat ke kantor jam 6 pagi. Jika saya berangkat jam 6:30 atau lebih dari itu, maka PILIHAN dan KONSEKUENSINYA akan berubah lagi. Dari pertigaan di jalan permukiman, saya harus naik mikrolet ke ujung jalan besar (ongkos: Rp 2000) lalu naik mikrolet lagi menuju perempatan jalan raya propinsi (ongkos: Rp 2500). Dari situ saya mungkin tidak akan memilih naik bus kota yang langsung menuju lokasi kantor, karena bus tersebut kemungkinan sudah penuh atau harus menunggu lebih lama lagi hingga bus berikutnya tiba karena saya sudah tertinggal jadwal bus pagi. Oleh sebab itu saya akan memilih naik bus lain hingga ke salah satu perempatan lain lalu menyambung lagi naik bus kecil menuju kantor. Masing-masing ongkosnya Rp 2000. Sehingga total saya harus keluar ongkos Rp 8500. Tapi saya bisa sedikit antisipasi datang terlambat ke kantor.

Kemudian saya berfikir bagaimana kalau saya MEMILIH pindah rumah ke pinggir jalan besar? Segera saya dapati KONSEKUENSI bahwa harga sewanya lebih mahal plus saya akan memperoleh suasana bisingnya jalan raya. Atau saya mungkin bisa MEMILIH pindah rumah ke dekat kantor? Tapi KONSEKUENSINYA belum tentu ada rumah dengan harga sewa yang sama dengan rumah yang sekarang saya tempati dan hampir dapat dipastikan saya harus keluar ongkos ekstra lagi, karena sebahagian besar aktivitas dan amanah saya (aktivitas luar kantor, seperti sosial) ada di Jakarta Barat.

Lalu ada opsi lain: membeli sepeda motor. KONSEKUENSINYA adalah saya akan 'terikat' dengan motor tersebut: harus mencucinya, tune up rutin, bayar pajak, dan lain-lain. Belum lagi ruang di rumah akan menjadi lebih sempit dengan kehadiran motor tersebut. Bagaimana dengan mobil? Biaya cicilan mobil yang paling murah sama dengan seluruh gaji bulanan saya tanpa tersisa sedikitpun untuk membiayai makan dan tagihan rutin. Plus tidak ada tempat untuk meletakkan mobil tersebut.

Saya sebenarnya bukan tipe orang yang suka curhat. Maksud saya menulis di atas adalah hendak menyampaikan bahwa setiap pilihan ada konsekuensinya. Kata orang, hidup itu adalah pilihan. Setiap kita menjalani kehidupannya masing-masing. Pola atau bentuk kehidupan tersebut sesuai dengan apa yang dipilihnya sebagai jalan hidup. Setiap pilihan itu memberikan konsekuensi dalam wujud yang khas. Kita dituntut untuk mempergunakan akal fikiran dan hati nurani yang sehat dalam menentukan pilihan karena hal ini terkait erat dengan kesiapan menanggung konsekuensinya. Setiap pilihan hendaklah "diterawang", diteliti dengan seksama, check and re-check, dan berkaca pada pengalaman (pribadi maupun orang lain). Sehingga setiap pilihan di pilih dengan bijaksana, ikhlas, sadar, paham, dan siap dengan konsekuensinya. Ketika menjalani pilihan tersebut pun dengan rasa senang, tenang, nyaman, dan penuh perhitungan dan perencanaan.

Mari kita simak firman Allah SWT dalam surat Asy Syams ayat 8 berikut ini:

"maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya,"

Allah SWT memberikan pilihan kepada kita: fasiq (jahat, munkar) dan taqwa. Setiap pilihan ada konsekuensinya. Jika memilih taqwa, maka konsekuensinya tertera di ayat berikutnya (ayat 9):

"sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu,"

Dan jika memilih fasiq, maka konsekuensinya ada di ayat selanjutnya (ayat 10):

"dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya."

Di surat dan ayat yang lain Allah SWT juga banyak memberikan pilihan beserta konsekuensinya kepada manusia. DiberikanNYA kita akal fikiran dan nurani untuk dipergunakan menimbang-nimbang dan memilih pilihan yang tepat. Tidak cukup hanya itu, Allah SWT memberikan pula sejumlah contoh kasusnya dalam kehidupan nyata (yaitu dari kisah-kisah kaum terdahulu) untuk dijadikan pelajaran bagi kita.

Pilihan-pilihan beserta konsekuensinya masing-masing akan turut menentukan bentuk dan kualitas hidup kita. Orang yang memilih banyak bersantai-santai di waktu muda, maka konsekuensinya ia akan bodoh dan miskin di waktu tuanya. Orang yang memilih banyak bekerja keras dan berbagi dengan sesama di waktu muda, maka konsekuensinya ia akan hidup damai dan makmur di hari tuanya. Orang yang memilih memperkaya diri sewaktu menjabat sebagai pemimpin, padahal rakyatnya ada yang kelaparan, maka konsekuensinya ia akan kehilangan kehormatan dirinya dan dikutuk Allah SWT. Orang yang memilih beribadah, jujur, tekun, dan berjuang di jalan Allah, maka konsekuensinya ia akan memperoleh salah satu dari dua: hidup mulia atau mati sebagai syuhada. Jadi, apa pilihan hidup anda? Tentukan dari sekarang dan JANGAN SALAH PILIH.

Semoga Allah SWT memasukkan kita ke dalam golongan orang yang memilih ridhoNYA. Aamiin.

Tomy Saleh. Kalibata. 30 Desember 2009. 13:06WIB